6 - MTM

Windy menggunakan waktu yang dimiliki untuk bisa merenungi sikapnya. Apa yang dilakukannya memang sangat berlebihan. Padahal semua ini juga terjadi karena keputusannya. Jika sibuk menyalahkan Raikal, yang ada hubungan mereka semakin memburuk. Windy tidak berniat untuk memiliki hubungan yang buruk dengan Raikal setelah memiliki hubungan tak masuk nalar dengan keluarga pria itu. Jangan sampai, ketika anak mereka lahir, situasi menjadi sangat tidak harmonis bagi anak mereka kelak. 

Windy tak mau melihat anaknya tumbuh dengan kondisi orang tua yang saling bermusuhan. Justru dengan perceraian, Windy berharap tidak menjadi gila menjalani pernikahan hingga berimbas pada anak kelak. Jadi, sepertinya pertengkaran yang kemarin itu jangan sampai dibawa hingga hari baru menyapa. 

Untungnya, Windy sudah sangat tenang karena sudah meluapkan kemarahannya. Pagi ini, Windy akan membuka mata dan memulai harinya dengan meminta maaf pada mantan suaminya. 

Namun, ketika akan mengubah posisi, Windy merasakan sesuatu yang menahan tubuhnya. Matanya terbuka dan menyadari ada tangan yang memeluk perutnya erat. Ini tangannya Ical, kan? Windy yakin dia tidak salah mengenali tangan seseorang yang memeluknya kini. Dia mendapati bahwa memang Raikal sedang mendengkur halus di belakangnya dan tidak terbangun meski Windy melepaskan pelukan pria itu. 

"Ngapain dia malah tidur di sini?" gumam Windy sendiri. 

Yang bisa dilakukan oleh perempuan itu adalah mengamati wajah Raikal yang sedang lelap. Mencoba meresapi apa yang sudah dilakukannya pada pria yang sebenarnya tak tahu apa-apa itu. Ketika Raikal bergerak dalam tidurnya dan perlahan mencari keberadaan Windy dengan tangannya, pria itu terbangun. "Dy--"

"Aku di sini," ucap Windy yang tak mau mendengar teriakan pria itu. 

"Kamu udah bangun duluan? Aku kira kamu kabur karena ... kemaren."

"Aku bukan anak kecil, kok, Cal. Justru aku mau minta maaf sama kamu soal kemaren. Harusnya emang nggak sampe sehisteris itu. Aku kebawa emosi dan hormon kehamilan kayaknya berperan penting banget sampe bikin aku kelepasan begitu kemaren."

"Nggak, nggak. Aku yang harus dapet maaf kamu."

Windy tertawa singkat. "Udahlah, nggak usah banyak minta maaf gini. Lagian masalahnya juga udah berlalu. Aku mau kita fokus sama masa sekarang dan nanti setelah anak kita lahir. Aku nggak mau nyimpen dendam atau apa pun ke kamu dan keluarga kamu supaya anak kita nggak merasa jadi pihak yang bingung."

"Jadi ... kamu nggak ninggalin aku ke kampung?"

Windy terlihat berpikir dan akhirnya menggelengkan kepala. Raikal terlihat sangat bahagia hingga berseru senang. "Yes! Yes! Yes!"

"Jangan terlalu seneng gitu juga, Cal. Aku emang nggak kepikiran buat pulang kampung karena aku mau kerja lagi nantinya."

"Kerja?" tanya Raikal dengan terkejut. "Aku udah bilang bakalan menjamin kamu--"

"Nggak bisa gitu. Kamu boleh menjamin kehidupan anak kita, tapi nggak untuk aku. Kelak, setelah anak ini lahir aku akan cari rumah dan nggak tinggal di sini sama kamu." 

"Apa?! Kenapa harus pindah? Kamu bisa--"

Windy tidak mengizinkan Raikal untuk semakin mengutarakan kalimat penolakan. "Aku nggak bisa terus menerus bersama kamu dan membiarkan perasaan aku semakin nggak aman di sini."

Raikal terlihat semakin tidak terima, tapi Windy mengacungkan jemarinya agar pria itu diam. 

"Aku nggak akan menjauhkan kamu sama anak kita, Cal. Aku cuma pindah rumah dan itu masih di daerah Jakarta. Aku cuma nggak mau dinilai buruk dengan tinggal bareng mantan suami."

"Apa bedanya dengan sekarang? Kita tinggal bareng dan nggak ada orang yang mempermasalahkannya, Dy."

"Ya, iya. Bagi kamu emang nggak ada yang peduli, tapi kamu denger sendiri tanggapan ibuku gimana. Jadi, aku bakalan pindah rumah setelah anak ini lahir. Kamu nggak boleh protes atau aku bakalan pindah rumah sekarang juga."

"Jangan! Jangan!" Raikal langsung panik. "Oke, setelah kamu melahirkan ... aku akann bantu kamu cari rumah baru."

Windy tersenyum dan yakin bahwa hari ini akan dimulai dengan baik. Raikal tidak menyulitkan keputusan Windy dan mau membantu mencarikan rumah. Ini pasti akan menjadi pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya. Semoga saja. 

***

Seperti yang sudah Windy niatkan dalam hati, dia tidak akan membuat drama lagi dan memilih untuk fokus pada kualitas hubungannya dan Raikal sebagai orang tua bayi mereka. Meski hingga hari ini ibu Windy masih enggan menerima telepon, setidaknya sudah mau membalas pesan yang Windy kirimkan. Seorang ibu tidak akan pernah meninggalkan anaknya meski kemarahan memenuhi jiwa. Windy juga mungkin akan seperti itu ketika nanti anaknya lahir. 

"Ngomong-ngomong soal kamu yang bilang mau kerja lagi, kamu udah ada rencana mau lamar di mana, Dy?"

Raikal tahu bahwa ini mungkin kesempatannya untuk bisa berada di satu perusahaan yang sama dengan Windy jika kelak anak mereka lahir dan Raikal harus terpisah rumah dengan wanita itu. 

"Um ... belum tahu, sih. Aku masih hamil begini, jadi kayaknya belum ada yang mau nerima pegawai baru dan harus kasih cuti melahirkan dalam waktu beberapa bulan lagi."

"Kamu nggak mau balik ke kantor ...." Raikal hampir saja memasukkan pembahasan mengenai kantor papanya yang sekarang menjadi bagian dari perusahaan yang dipimpin oleh Raikal sendiri. "Maaf, Dy. Aku nggak bermaksud bahas itu lagi."

"Nggak apa-apa. Aku ngerti maksud kamu, Cal. Tapi aku kayaknya bakalan milih aman aja, dari pada ketemu papa atau mama kamu nantinya. Ini aku jujur aja, aku nggak bermaksud bikin kamu tersinggung. Kamu jangan marah juga sama aku karena ngomong begini, ya?"

Raikal menggeleng dan meyakinkan Windy bahwa pria itu tidak masalah sama sekali. "Aku paham, Dy."

Windy memang tidak berniat untuk berada di lingkungan yang  bisa membuatnya bertemu dengan orang tua Raikal. Dia akan mencari perusahaan lain yang lebih mampu membuatnya nyaman dengan tidak mengenal siapa pun orang di dalamnya. Toh, Windy juga tak mau dinilai masuk perusahaan mantan suaminya karena menggunakan orang dalam.

"Mau aku bantu cariin? Aku bisa minta Gutama juga rekomendasiin kamu ke perusahaanya atau temennya gitu."

Windy menggelengkan kepala tanda tak setuju. "Aku lebih suka berusaha sendiri, Cal. Lagian kamu udah bakalan bantuin aku cariin rumah, kan? Jadi urusan kerjaan biar aku yang putuskan sendiri. Kalo emang aku buta banget sama perusahaannya, aku mungkin akan tanya-tanya ke kamu."

Raikal tersenyum lega. Pria itu merasa senang karena Windy masih mau melibatkan Raikal untuk mencari tahu latar belakang perusahaan yang akan perempuan itu jadikan incaran. 

"Iya, kamu tanya aja sama aku."

Windy hanya mengangguk dengan ucapan Raikal, karena sebenarnya Windy tidak benar-benar berniat bertanya pada pria itu. Sebab jika Windy melakukannya, maka Raikal akan berusaha mencari tahu orang penting di perusahaan yang akan menjadi incaran Windy dan membuat segalanya lebih mudah. Maafin aku Cal, aku nggak mau pake jasa orang dalam melalui kamu. 

Raikal menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh. "Aku harus berangkat sekarang, nih, Dy. Semoga nggak kena macet supaya bisa sampe kantor tanpa hambatan."

Windy mengangguk dan memasukkan bekal yang dibuatkannya untuk Raikal. "Aku cuma bikin sandwich lagi males masak yang berat gitu. Nggak masalah, kan?"

Raikal tidak pernah mempermasalahkan bekalnya sama sekali. Apalagi bekal yang dibuatkan oleh Windy. "Mana pernah, sih, aku ribet sama bekal yang kamu kasih? Aku nggak ribet sama sekali orangnya. Kamu masih inget itu, kan, Dy?"

Windy tertawa dengan pertanyaan itu. "Inget, Cal. Aku cuma mastiin aja supaya kamu beli makanan lain karena aku cuma bawain seadanya aja. Nggak bakal kenyang makan roti ditumpuk-tumpuk gitu doang."

Raikal menikmati obrolan ringan mereka dan berpamitan setelah dirasa mereka sudah menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bicara. 

"Aku berangkat, Dy."

"Iya, hati-hati."

Raikal berniat untuk maju dan mengecup kening Windy, tapi perempuan itu langsung menghindar dan mendorong bahu mantan suaminya agar segera menuju mobil.

"Hati-hati di jalan, Cal."

Raikal hanya bisa mengangguk karena rasanya ada yang kurang jika tidak mencium kening Windy. 

"Masa cium kening aja nggak boleh?" gumam Raikal yang merasa sangat hampa dan kecewa.

Sayangnya, kalimat itu tidak didengar oleh Windy yang sudah masuk ke rumah tanpa berbalik arah lagi. 

*** 

"Lian!" panggil Windy yang mendapati sahabatnya mencari-cari keberadaannya.

Begitu pandangan Lilian menangkap seseorang yang sudah agak lama tidak ditemui, perempuan itu langsung berjalan cepat dan menarik anaknya agak keras. 

"Mommy!" protes anak itu yang langsung Lilian tatap dengan rasa bersalah.

"Maaf, ya, Sena. Mommy seneng banget soalnya ketemu sama tante Didi lagi."

Windy menatap anak Liliana yang kini sudah besar. "Hai, Nawasena! Ini tante Didi. Kamu pasti lupa, ya?"

Putra Liliana itu memang sempat tinggal bersama neneknya di Bandung selama beberapa tahun. Tentu saja karena ekonomi Liliana dan suaminya sedang bermasalah saat itu. Nawasena bahkan sempat memanggil ayahnya 'Om' karena suami Liliana lebih banyak bekerja ketimbang menjenguk putra mereka ke Bandung. Ya, Windy paham bagaimana hebohnya rumah tangga Liliana dan suami yang terus bertengkar hingga Liliana memilih mengamankan Nawasena di rumah ibunya. 

"Bilang 'hai juga tante Didi', gitu Sena."

Nawasena menjadi pribadi yang tidak banyak bicara dan enggan menuruti kemauan orang tuanya. Windy tebak, anak itu mau diajak ke sini karena ada paksaan dari Liliana.

"Kayaknya Sena marah, Lian."

"Ya, dia emang nggak suka diajak pergi. Tapi dia terpaksa ikut aku karena ada ayahnya di rumah."

Windy melebarkan matanya dan memberi kode pada Liliana bahwa dia tidak akan membahas apa pun mengenai Nawasena yang masih tak nyaman dengan ayahnya sendiri. 

"Duduk, Sena! Tante Didi mau pesenin banyak makanan buat kamu. Kamu mau apa?" Windy segera mengalihkan topik pembicaraan.

Anak itu menatap Windy dengan sangat serius. Lalu, tatapan Nawasena berlabuh di perut Windy yang memang sengaja diperlihatkan dengan dres yang terdapat pita di antara dada dan perut. 

"Perutnya besar," ucap bocah lelaki itu.  

Liliana tertawa. "Kamu dulu di perut Mommy juga seperti itu."

Nawasena hanya melirik mamanya sejenak dan turun dari kursinya untuk duduk di samping Windy. Tentu saja dua perempuan itu kebingungan. Bocah berusia empat tahun itu tidak berkata apa-apa dan langsung menyentuh perut Windy. 

"Sena, kamu harus izin dulu sama tante Didi. Boleh atau nggak pegang perutnya."

Nawasena mendongak pada Windy. "Boleh pegang?" tanya anak itu dengan wajah datar dan tangan yang masih berada di permukaan perut Windy. 

Liliana menepuk keningnya sendiri karena kelakuan putranya yang sebenarnya persis seperti sang ayah. 

"Boleh, dong, Sena! Kamu boleh pegang perut tante."

Karena Sena terlalu fokus pada perut Windy, maka dua orang perempuan itu memilih sibuk memulai obrolan. 

"Udah lama kita nggak ketemuan, loh, Di." 

"Iya. Kamunya sibuk, sih."

"Ya, gimana. Sekarang Sena udah tinggal sama aku dan ayahnya. Aku harus ngurusin mereka berdua dan kerjaan."

Windy tidak bisa seenaknya mengajak Liliana bertemu seperti sebelumnya karena tanggung jawab yang dimiliki. Jadi, mereka baru sekarang bisa kembali bertemu. 

"Jadi, kamu mau nanya-nanya soal apa, Di?"

"Hm ... ada kerjaan nggak? Rencananya aku mau kerja setelah melahirkan."

Liliana mengernyit. "Raikal udah nggak mau biayain kamu?"

"Bukan. Aku yang memang mau kerja aja. Aku mau punya penghasilan sendiri dan akan pindah rumah setelah melahirkan."

"Loh, aku kira mau rujuk. Ternyata nggak, ya?"

Rujuk? Windy tidak tahu apakah itu mungkin, tapi saat ini dia tidak berpikir demikian. 

"Kalo aku nggak bahas soal itu berarti memang nggak, Lian."

Liliana menatap dengan wajah kecewa. "Aku pikir kalian bakalan rujuk, melihat ada bayi yang akan lahir dan cinta yang masih segitu besarnya diantara kalian."

Windy tidak berkomentar mengenai tanggapan Liliana itu. "Nggak usah bahas itu kali, ya? Lanjutin pertanyaanku aja, ada kerjaan nggak? Sama kalo bisa kasih tahu aku tips dan trik biar nggak stres sendiri menjelang melahirkan."

Liliana tahu bahwa temannya itu menyimpan banyak beban pikiran hingga saat ini. Bagi Liliana, nasib yang Windy alami tidak lebih baik dari yang Liliana punya. Meski begitu, sebagai teman yang baik Liliana akan mendukung dan memberikan semangat pada Windy. Jika perlu, Liliana akan mencarikan kandidat pria yang bisa membantu Windy move on nantinya. Tidak ada salahnya, kan, membuka hati bagi orang lain setelah perpisahan yang menyesakkan?

[Bab 9 sudah aku up di Karyakarsa, ya. Kenalan sama nama mamanya Raikal, deh. Wkwk]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top