5 - MTM
Jika Raikal pikir-pikir, ini adalah pertama kalinya pertengkaran antara dirinya dan Windy benar-benar besar. Ketika Windy meminta cerai, mereka justru lebih banyak diam dan tidak meledak-ledak. Mereka lebih banyak bergulat dengan pikiran sendiri ketimbang saling berteriak seperti pasangan yang tidak bisa mengendalikan emosi. Sungguh, Raikal tidak tahu bahwa sekacau itu perasaan yang mantan istrinya itu punya. Cara Windy berteriak menjelaskan betapa frustrasinya Windy dengan semua hal yang mengendap hanya di dalam kepalanya. Raikal merasa sangat gagal menjadi seorang suami karena tidak bisa benar-benar mengerti suasana hati Windy semasa masih berstatus suami dan istri.
Raikal kini menatap pintu kamar istrinya yang tertutup. Dia tahu masih banyak tangisan yang Windy tuangkan tanpa kehadiran Raikal di sisinya. Windy menghindari hal-hal semacam ini. Mungkin bagi perempuan itu, menangis dengan disaksikan Raikal akan membuat beban baru. Yang tidak pernah Raikal sadar, semasa menikah dulu Windy selalu menjadi penyumbang semangat Raikal. Tidak sedikit pun Windy menambah beban pikiran Raikal sepulang kerja. Windy tidak repot memikirkan menu apa yang bisa perempuan itu buat untuk Raikal yang agak pemilih dengan makanan. Windy tidak akan mengeluh untuk membuat menu berbeda untuk Raikal dan diri perempuan itu sendiri yang hobi makan sambal terasi. Windy tidak pernah menuntut Raikal untuk membawanya makan malam romantis, karena Windy lebih suka makan berdua di rumah mereka yang bagi perempuan itu sudah melebihi restoran mahal.
Rupanya memang Raikal tidak tahu apa-apa mengenai istrinya yang begitu baik. Rupanya Raikal hanya mau dimengerti tanpa repot-repot mau mengerti posisi Windy yang menahan terjangan dari beban pikirannya sendiri. Mungkin untuk sesaat, Windy memang tidak memikirkan apa pun mengenai keluarga Raikal ketika mereka hanya tinggal berdua. Namun, tidak ada bentuk perhatian yang keluarga Raikal berikan selama Windy sendirian di Jakarta bisa saja menjadi bagian paling menyakitkan. Perempuan itu hanya sendirian, tidak ada keluarga yang mengikutinya di Jakarta, dan keluarga Raikal tidak memiliki waktu untuk bercengkerama dengan Windy sebagai anggota baru keluarga mereka. Tidak ada yang menguatkan Windy ketika berulang kali melihat hasil tes kehamilan yang kembali negatif. Tidak ada yang mendengarkan cerita Windy dengan benar dan perempuan itu semakin menahan dirinya sendiri.
Raikal berkutata dengan ucapan Gutama yang menyatakan kejujuran dalam setiap kalimatnya. Sahabat Raikal saja tidak mengenal dengan baik siapa, sih, sosok istri Raikal yang tidak diungkapkan dengan terang-terangan itu? Gutama lebih aware keberadaan Tiara yang notabene hanya mantan kekasih Raikal yang sudah jauh meninggalkan pintu di hati Raikal sendiri. Nama Tiara tidak berkesan banyak, tapi bagi orang lain yang melihatnya, tampaknya berbeda makna. Seperti yang Gutama katakan juga, mama Raikal lebih akrab dengan Tiara ketimbang menantunya sendiri. Bagaimana orang bisa mengetahui keberadaan Windy yang sangat sederhana dan biasa saja, dimana keberadaannya bagaikana gajah di pelupuk mata? Jika mertuanya saja lebih menyayangi mantan kekasih putranya, ketimbang menunjukkan pada dunia bahwa ada menantu yang harus diakui keberadaannya.
Raikal diam-diam hanya bisa mengatakan kata maaf atas kebodohannya selama ini. Dia baru tersadar dari semua ini setelah meruntuhkan egonya mengenai tidak ada orang lain yang boleh menilai atau memandang buruk keluarganya. Raikal seolah baru terbangun dari kenyataan bahwa keluarganya bukan kumpulan orang yang bisa diraih dan didekati dengan mudah. Keluarganya mungkin bukan orang jahat, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa keluarganya bisa menyakiti orang lain dan bahkan bisa menjadi peran antagonis dalam cerita orang lain tanpa disadari.
Lalu, Raikal mengingat ucapan Windy kemarin. Jika hanya menyalahkan keluarga Raikal, maka tidak akan ada jalan keluar yang bisa mereka dapatkan. Percuma Raikal menentang atau melayangkan protes pada keluarganya setelah perceraiannya dan Windy terjadi. Sebab kemarahan itu tidak akan membuat keluarganya berubah dan mau mengemis pada Windy untuk mau menerima Raikal kembali.
***
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Raikal masih senantiasa duduk di depan kamar Windy, menunggu perempuan itu keluar. Namun, dia tidak mendapati mantan istrinya itu mau keluar sama sekali. Apa perempuan itu tahu Raikal menunggu tepat di depan pintu kamar? Padahal Raikal sudah berusaha seminim mungkin mengeluarkan suara agar bisa melihat Windy keluar dari kamarnya.
Raikal menunggu perempuan itu untuk makan dan minum. Sayangnya, Windy masih tidak mau keluar. Menyadari perutnya membutuhkan makanan untuk bisa membuatnya kenyang, Raikal lebih memilih ke dapur dan memberikan waktu pada mantan istrinya berpikir di dalam kamarnya sendiri.
Windy memang pintar memasak, mungkin karena terbiasa tinggal di kampung dan begitu merantau apa-apa serba masak sendiri. Raikal harus mengakui bahwa dirinya lebih suka masakah Windy ketimbang chef di rumah orang tuanya. Hal sekecil ini akan membuat Raikal semakin merindukan Windy jika keputusan bulat perempuan itu adalah kembali ke kampung halaman. Raikal mungkin akan mencari cara untuk bisa tetap dekat dengan Windy dan anak mereka ketika jarak memisahkan. Mungkin Raikal harus mulai membuka lapangan kerja di sana agar memiliki alasan untuk bertandang.
Semua hal itu membuat Raikal menjadi sedih. Membayangkan perpisahan dengan Windy dalam arti sebenarnya membuat pria itu menitikkan air mata disela kunyahannya. Membuat pria itu tidak menyadari bahwa Windy sedang mengamati punggung sang mantan suami yang bergetar.
***
Pada malam harinya, Raikal tidak bisa beristirahat. Matanya tak mau menutup meski dipaksa. Dia memikirkan segala hal dan ujungnya, Raikal berjalan keluar kamar untuk mencoba membuka pintu kamar Windy. Pria itu berpikir bahwa Windy pasti menguncinya, tapi ternyata tidak. Raikal bisa melihat dengan secukupnya wajah mantan istrinya yang tertidur. Mungkin karena pencahayaan yang mengintip dari celah pintu membuat perempuan itu membalikkan tubuh dan Raikal hanya bisa menatap punggung perempuan itu.
Semula niatannya hanya menatap Windy, tapi kakinya melangkah dengan mudahnya hingga memilih duduk di sisi ranjang yang kosong. Raikal mengambil posisi tidur dan berusaha memeluk tubuh perempuan itu dari belakang.
"Aku pengen banget nonjok diriku sendiri, Dy. Aku nggak tahu apa-apa tapi aku dengan bodohnya menganggap semuanya baik-baik aja. Aku terus bertanya kenapa kita harus bercerai dengan cinta yang kita punya. Tapi setelah aku coba tanya sama Gutama, dia punya pendapat yang nggak aku sangka. Dia bilang, orang-orang lebih kenal Tiara dari pada kamu. Menurut Gutama, aku dan keluargaku terlalu manut sama adat keluarga kamu. Harusnya aku bikin acara besar-besaran juga di sini supaya semua orang tahu kalo kamu adalah istriku. Biar orang kenal bahwa istriku adalah Wirindya Sari bukan Mutiara Puti Hutama."
Raikal membayangkan jika saja dia bisa melaksanakan resepsi dan menunjukkan semua orang siapa istrinya. "Kata Gutama, mamaku terlalu akrab sama Tiara. Harusnya kamu yang diajak jalan-jalan sama mama, bukan mantan aku. Maafin aku, ya, Dy. Aku emang pria yang bodoh. Katanya cinta tapi nggak peka."
Raikal menempatkan tangannya di permukaan perut sang mantan istri. "Aku juga inget kita nggak sempet bulan madu. Papa udah narik aku buat kerja dan ngurusin perusahaannya. Aku bahkan sering ke luar kota dan biarin kamu di rumah sama keluargaku. Aku nggak pernah tahu apa yang kalian lakuin selama nggak ada aku, yang aku tahu kamu nyambut aku dengan wajah bahagia. Aku kira kamu memang bahagia selama bersama keluargaku dan kangen aku. Tapi aku sadar kalo waktu itu kamu bahagia karena akhirnya ada orang yang bisa kamu peluk dan mengharapkan kehadiran kamu."
"Mungkin kamu nggak hamil-hamil karena kamu tertekan selama tinggal di rumah orangtuaku, ya?"
Meski tahu bahwa semua yang terjadi adalah takdir, tapi Raikal sedang mengukur banyaknya kesalahan yang dia buat. Semua kesalahan itu membuat Raikal menangis dan membasahi pakaian Windy. Segalanya menjadi terang benderang di kepala Raikal.
"Bego banget aku bisa sebegini nggak sadar! Bodohnya aku yang nggak merasa kamu memang beda karena nggak banyak ngomong selama bareng keluargaku." Raikal sibuk menangis layaknya pria yang cengeng.
Bagi Raikal sekarang tak pennting cengeng atau tidaknya. Dia juga manusia yang memiliki perasaan sedih. Membayangkan kehilangan Windy dan anak mereka setelah menyadari kesalahannya adalah hal menyedihkan.
"Aku sangat mencintai kamu, Dy. Aku nggak mau kehilangan kamu dan anak kita. Aku mau melihatnya lahir dan kita mendekapnya bersama, kita bikin foto keluarga bertiga, kita liburan keluarga bertiga. Mana bisa aku lakuin itu semua kalo kamu mau pergi ninggalin aku, Dy? Apa yang bisa aku lakuin tanpa kalian?"
Raikal menggenggam tangan Windy dan berusaha mengecup punggung tangan perempuan itu berulang kali. Rasa yang dimiliki Raikal untuk perempuan itu sangatlah dalam, dia tidak bisa merelakan perempuan yang dicintai dipaksa pergi darinya.
"Kalo aku boleh berharap, maka harapanku adalah kamu kembali bersamaku, Dy."
Dan mungkin harapan itu hanya tinggal harapan kosong saja.
[Bab 8 udah bisa dibaca duluan di Karyakarsa, ya. Love you all.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top