4 - MTM

Windy tahu bahwa hidupnya kini semakin runyam. Dia menikah dengan pria yang didambakan banyak orang, tapi tak bisa benar-benar mempertahankannya. Bukan karena Windy tidak terbiasa dengan kehidupan taraf tinggi yang Raikal miliki. Itu karena beberapa faktor yang sebenarnya datang dari dalam diri Windy sendiri. Pergolakan batin yang membuatnya merasa tak sanggup lebih lama bertahan. Sejujurnya, Windy tak mau menyalahkan keluarga Raikal menjadi satu-satunya alasan. Dari sikap Raikal, komunikasi mereka yang sebenarnya tersendat dibagian tak mau menyinggung keluarga satu sama lain, terlebih lagi beban pikiran Windy yang ditanggung sendiri. Semua hal itu benar-benar perpaduan yang kompleks, rumit, tidak mudah untuk diurai.

Windy tidak pernah benar-benar membayangkan hidup dengan Raikal sebelumnya, dan begitu pula bayangan tidak ada Raikal dalam hidupnya. Sungguh Windy tidak memiliki bayangan apa pun untuk hidupnya saat ini. Itu karena kehadiran janin yang Windy kira tidak akan pernah datang setelah hampir lima tahun bertahan dalam pernikahan. Rupanya, ketika ketukan palu berkumandang di telinga, janin di dalam perut Windy menunjukkan keberadaannya. Seolah tahu bahwa Windy tak bisa pergi saat itu dari rumah Raikal setelah perceraian mereka.

Hal itu tentu saja membuat Raikal bahagia setengah mati. Usahanya untuk menghentikan Windy pergi memang tidak mempan, tapi dengan keberadaan janin di dalam perut Windy, tidak perlu susah payah untuk meyakinkan perempuan itu untuk tetap tinggal karena Raikal tak ingin kehilangan momen untuk bisa menyaksikan pertumbuhan anak mereka di dalam perut Windy.

Windy seolah terjebak dan akhirnya meminta Raikal untuk menggunakan kamar terpisah karena mereka sudah bercerai. Semua peraturan baru ditegakkan oleh Windy untuk mengamankan hatinya. Semakin banyak sentuhan fisik, semakin tidak aman bagi perasaan Windy sebagai pihak perempuan yang selalu menggunakan instingnya.

Keluarga Windy dikabari dan awalnya memang mendapat tentangan agar tidak menuruti ucapan Raikal. Namun, Windy beralasan Raikal juga harus bertanggung jawab. Windy tidak tahu apakah mantan suaminya itu memberitahukan kehamilan Windy pada keluarganya atau tidak, tapi yang jelas tidak ada komentar apa pun yang datang dari keluarga serba pendiam itu.

Ya, seperti yang sudah-sudah. Keluarga Raikal memang tidak pernah menganggap keberadaan Windy. Mungkin karena Windy bukan tipikal mennatu yang masuk dalam ekspektasi mereka. Mungkin keluarga Raikal mengira Windy datang disaat Raikal tak bisa bersama dengan anak dari seorang politikus terkenal. Entahlah, Windy sudah tidak lagi berharap dianggap oleh keluarga Raikal. Dia juga tidak berharap bahwa anaknya akan disayangi selayangkan cucu yang didambakan. Windy hanya berniat membuat kenangan pada bayi di dalam perutnya bahwa ayahnya masih ada dan anak itu diharapkan kehadirannya oleh sang ayah. Masa bodoh dengan keluarga ayah si bayi.

Namun, ada sesuatu yang membuat Windy merasa sangat sedih. Yaitu sikap ibunya yang langsung berubah drastis pada Raikal. Melihat usaha Raikal yang masih berharap disayangi sebagai menantu ... Windy merasakan hatinya ikut sakit. Dia berada ditengah-tengah dua orang yang tak mau kehilangannya. Saat dia tidak bisa menghubungi ponsel ibunya lagi, Windy tahu ibunya sangat marah dengan kelancangan Raikal yang begitu tak disukai saat ini.

Menangis adalah satu-satunya yang bisa Windy lakukan. Emosinya sedang rumit sekali, dia tidak bisa mengendalikan tangisan, kekecewaan, kemarahan, yang datang menjadi satu. Kehamilan membuatnya sangat sensitif dengan hal sekecil apa pun.

"Dy," panggil Raikal yang masuk ke kamar perempuan itu.

Windy menutupi wajahnya dengan lengan dan berusaha menahan diri untuk tidak lebih histeris karena Raikal melihatnya menangis seperti ini.

"Kenapa?" sahut Windy dengan suara sengau.

Raikal berjalan mendekat pada mantan istrinya yang duduk di kursi ujung ranjang yang bentuknya seperti kursi kerajaan tanpa punggung kursi. Raikal tidak duduk di samping Windy, mengambil posisi berlutut.

"Aku nyakitin kamu lagi, ya?"

Windy tidak memfokuskan diri pada pertanyaan Raikal, perempuan itu malah langsung menodong Raikal dengan pertanyaan yang menunjukkan rasa kesalnya.

"Kenapa kamu cium pipiku disaat aku lagi telepon sama ibu?!"

Raikal menunduk sesaat sebelum kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Windy. "Karena aku nggak mau kamu pergi."

Windy mendengkus dengan keras. "Apa maksudnya kamu nggak mau aku pergi tapi bikin aku malu di depan ibuku sendiri? Kamu tahu, kan, kita udah cerai? Kita udah pisah, Cal!" Dengan keras Windy menekankan kata cerai dan pisah.

"Apa kamu nggak mikir, ibu menilaiku sangat buruk dengan sikap kamu yang seolah masih seperti suamiku!?" Lalu Windy tertawa miris pada dirinya sendiri. "Huh, kamu mana pernah mikirin apa yang dipikirin orang lain tentang aku yang ada di sisi kamu. Harusnya aku nggak nanya itu! Aku tahu jawabannya."

"Maafin aku soal itu. Aku mikirin berulang kali perdebatan kita kemarin. Aku salah karena selama ini nggak pernah mastiin apakah kamu bahagia atau nggak tinggal dengan keluargaku, aku nggak pernah mastiin apakah keluargaku menganggap kamu ada atau nggak, aku nggak pernah tanya ke kamu apakah mereka memperlakukan kamu dengan baik. Aku cuma melihat kalo keluargaku nggak keberatan dengan keberadaan kamu sebagai perempuan yang aku cintai. Aku pikir, dengan sikap diam yang keluargaku punya, kamu nggak tertekan. Aku pikir, lebih baik mereka diam daripada menyakiti kamu dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tapi ternyata aku salah. Aku nggak tahu apa-apa mengenai perlakuan mereka ke kamu, Dy."

Windy menitikkan air mata semakin deras. Ketika dipaksa mengingat bagaimana perjuangannya agar tetap waras meski tak dianggap ada, Windy tidak bisa menghentikan tangisannnya sendiri.

"Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kamu, Cal."

"Aku juga sangat mencintai kamu, Dy."

Raikal menaruh tangannya di permukaan perut Windy. "Aku cium pipi kamu di depan ibu, karena aku nggak tahan dengan ucapan ibu yang memaksa kamu pergi dari sini. Aku nggak mau ibu berpikir kamu nggak aku urus dengan baik di sini. Aku ingin ada di sisi kamu saat mengandung anak kita. Aku mau anak kita tahu bahwa aku ada di sini, bareng sama kalian. Aku nggak bisa bayangin gimana hidupku tanpa lihat kamu sewaktu pulang, tanpa menyentuh perut kamu yang semakin hari semakin besar setiap kali dari rasa lelah di tempat kerja. Aku nggak tahu apa yang bisa aku lakukan di sini tanpa kalian."

"Kamu nggak akan kenapa-napa, Cal."

Pria itu menggeleng dan menatap perut Windy dengan saksama. "Aku nggak akan baik-baik aja tanpa kalian. Aku bahkan mau bilang ke ibu kalo kamu nggak akan kemana-mana setelah bayi kita lahir. Kita akan membesarkan anak kita berdua, Dy. Aku nggak mau ada pihak yang membawa kamu dan anak kita pergi. Aku mau orang-orang yang kucintai ada di sisiku."

"Kita bahkan bisa bicarain ini baik-baik. Nggak perlu kamu seenaknya cium aku dan bilang kalimat yang bikin ibuku marah. Kamu hanya memperkeruh perasaan ibuku dengan bersikap begitu, Ical!"

Windy begitu kesal saat mengungkapkan kalimat itu. Raikal bisa lebih dulu bicara dengan Windy agar tidak pergi tanpa membuat ibu Windy semakin tidak sudi menatap wajah mantan menantunya.

"Sebelum ini, aku udah sulit banget membuat ibu menerima keputusanku untuk bisa tetap tinggal sama kamu karena aku hamil. Aku bahkan harus meyakinkan ibu bahwa ini bukan kehamilan yang terjadi setelah kita bercerai, aku udah hamil 2 bulan sebelum sidang resmi dan aku harus nunjukin hasil pemeriksaannya sama ibu! Beliau belum begitu menunjukkan kemarahannya sama kamu, tapi karena ulah kamu tadi, ibuku juga jadi marah ke aku!"

"Aku terlalu gegabah, aku mengakuinya, Dy. Tapi aku nggak mau ibu berpikir bahwa aku bisa semudah itu melepaskan kamu dan anak kita."

Windy tidak bisa berkata-kata lagi hingga akhirnya dia berteriak keras di depan wajah Raikal. Perempuan itu kalut dengan tekanan demi tekanan yang dirasakan. Meski semua tekanan itu berasal dari pemikirannya sendiri, Windy yakin banyak perempuan yang merasakan demikian.

"Aku marah banget sama kamu, Cal! Aku marah sama kamu karena membuat aku merasakan semuanya sendirian! Kamu bikin aku terjerumus makin dalam dengan pemikiran yang menyakiti batinku setiap harinya! Kamu yang bikin aku tersiksa karena berada di lingkungan yang mendiamkan aku! Kamu bikin aku nggak percaya diri untuk bicara dengan orang lain! Kamu bikin aku menyerah dengan kecemasanku sendiri! Kamu yang mengikat aku di sini dengan alasan kehamilan. Kamu yang bikin aku nggak peduli mengenai apa pun soal keluargamu lagi! Kamu yang bikin aku ... kamu sumber kesakitanku!"

Menyalahkan orang lain memang sebuah ketidakdewasaan. Namun, Windy ingin meluapkan ketidakdewasaannya saat ini supaya ada rasa lega dari melemparkan kesalahan pada orang lain.

Raikal mengangguk pasrah. "Aku yang salah. Aku yang memang membuat kamu merasakan semua kesakitan itu. Aku yang bikin kamu nggak dihargai sebagai seorang istri. Aku yang bikin nggak banyak orang tahu kalo kamu istriku. Aku yang salah, Dy."

Windy yakin akan lebih mudah mengiyakan semua itu jika saja Raikal menyangkalnya. Jika seperti ini, Windy justru merasa dirinya yang tidak baik. Raikal mengakui kesalahannya adalah hal yang membuat Windy menjadi merasa buruk.

"Apa susahnya, sih, Cal bagi kamu? Kamu nggak perlu repot-repot mempertahankan perempuan biasa aja kayak aku, Cal. Kamu bisa cari perempuan yang setara dengan kamu. Kamu bisa mencintai anak ini, kamu ayahnya. Nggak perlu kamu sibuk memohon sama aku, karena kamu bisa bertahan dengan hidup kamu yang sempurna. Aku yakin, kamu bisa membuat cinta kamu ke keluarga kamu semakin sempurna dengan mencari pasangan yang sepadan. Kamu akan bahagia dan keluarga kamu nggak akan bersikap seperti hidup bersama hantu."

Raikal menggenggam tangan Windy dan mengecupinya berulang kali.

"Aku mencintai kamu, Dy. Aku cintanya sama kamu bukan perempuan lain. Aku nggak merasakan ini dengan mantan-mantanku yang hidupnya serba mudah. Mengenal kamu, aku seperti melihat sisi sederhana yang nggak aku temukan. Aku bisa melepaskan jabatan, uang, kekuasaan, hidup mewah, aku bisa hidup dengan kamu dengan kesederhanaan. Nggak apa-apa kalo aku harus ikut kamu—"

"Berhenti bicara ngaco! Kamu yang bersikap seperti itu hanya membuat aku lebih buruk di mata keluarga kamu. Kamu mau bikin aku kayak Megan Markle, ya? Kamu mau bikin aku seolah maunya hidup nggak banyak aturan kerajaan tapi mau seluruh fasilitas dari kerajaan, gitu?"

"Nggak, Dy, nggak."

Windy yang benar-benar marah melepaskan genggaman tangan Raikal.

"Pergi dari sini. Aku cuma akan berpikiran buruk dengan semua ucapan kamu. Pergi dari sini, Cal!"

"Dy, please. Aku nggak mau kamu ninggalin aku. Aku mohon, Dy."

Windy dengan tak sabaran berdiri dan meminta Raikal sekuat tenaga untuk keluar dari kamar perempuan itu. Dengan sekali hentak, Windy menutupnya dan menangis sepuas yang ia bisa di balik pintu. 

[Bab 7 udah tayang di Karyakarsa ya. Oh, iya. Buat yg belum tahu, kalo kalian mau baca di Karyakarsa jangan isi koin dari aplikasinya, ya. Kalian buka versi website, masuk akun, terus cari cerita aku, beli pake metode duit langsung kayak versi Karyakarsa yang dulu. Lebih murah di website juga.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top