39 - MTM
Raikal bisa mendengar suara-suara yang berbisik di telinganya. Selama dirinya tertidur, tidak ada suara yang bisa membuatnya merasa ingin pulang. Di tempat ini, dimana dirinya hanya melihat hamparan laut yang tak berbatas dan tak berpenghuni, Raikal merasa tenang. Dia tidak memiliki pemikiran buruk, tak merasa jenuh meski hanya ditemani suara ombak, bahkan Raikal sepertinya menginginkan hidup seperti ini saja.
Hidup? Apakah Raikal masih bisa dikatakan hidup? Mengingat semua itu membuat Raikal meragukan kembali apa yang dirinya inginkan. Satu-satunya yang bisa membuat Raikal bangkit dari posisi duduknya adalah suara-suara yang memanggilnya dengan khas.
"Ical."
Panggilan itu tidak pernah digunakan oleh banyak orang. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Raikal tidak pernah suka jika ada orang lain yang menggunakannya. Itu sebabnya orang lain memanggilnya Rai ketimbang Ical. Hanya satu orang yang mampu menggetarkan hatinya yang bisa menggunakan panggilan tersebut tanpa merusak pendengaran Raikal.
"Maafin aku, ya, Cal. Aku bersikap keterlaluan ke kamu karena sikap mama kamu."
Sepertinya memang Raikal merasakan sesuatu yang aneh. Dia yang sebelumnya tidak memiliki keinginan keluar dari hamparan laut itu, tiba-tiba saja merasakan dorongan tak tenang yang membuatnya ingin keluar dari tempat menenangkan tersebut.
"Aku nggak tahu apakah aku bisa jadi orangtua yang baik. Tapi aku tahu kalo kamu akan jadi ayah yang mau menuangkan seluruh cinta yang kamu punya untuk anak kita."
Raikal tidak tahu siapa yang akan mengatakan semua itu disaat seperti ini. Sungguh Raikal tidak mengingat apa pun. Tidak ada daftar nama-nama di dalam kepalanya saat ini. Dia sudah merasa sangat tenang dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini, di tempat ini. Entah kenapa malah muncul suara yang membuat Raikal mulai berjalan ke sana kemari mencari jalan keluar untuk melihat siapa yang mengucapkan semua kalimat itu.
"Aku cinta kamu, Cal. Apa pun status yang kita punya, aku tetap cinta sama kamu."
Pada bagian ini, kepala Raikal seperti dipukul oleh palu yang begitu besar hingga wajah seorang wanita muncul di depan wajahnya. Terasa sangat nyata, tapi tak bisa Raikal gapai. Wajah wanita itu terlihat sangat sedih, dan saat itu ingatan Raikal kembali.
"Dy ...."
Dia memiliki keinginan memeluk wanita yang diingatnya memiliki panggilan Dy itu. Tanpa bisa menahan diri, Raikal mencari-cari dimana jalan keluarnya.
"Dy, aku di sini. Kamu nggak bisa denger aku?"
Raikal sangat frustrasi karena wanita yang menggetarkan ketenangannya di tempat ini tak bisa menatap Raikal balik. Perempuan itu sibuk bicara tanpa mementingkan Raikal yang mulai cemas karena tak kunjung menemukan jalan keluar.
Ketika Raikal akan berlari menerjang ombak untuk menemukan jalan. Langkahnya dihadang oleh seseorang yang tidak Raikal kenali. Pakaiannya putih bersih dan pembawaannya begitu tenang.
"Kamu yang menginginkan ketenangan ini. Kemana kamu akan pergi?"
"Saya harus pulang. Ada seseorang yang membutuhkan saya."
"Rumah mana yang kamu sebut pulang? Ini tempatmu, ketenangan yang menyambutmu dan tak ingin kamu lepaskan. Tetaplah di sini sampai semua orang mulai merelakanmu."
Raikal menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau untuk tetap berada di sana sementara bayangan wajah Windy masih terlihat jelas.
"Wanita yang saya cintai dan anak saya membutuhkan saya."
"Untuk apa? Kamu akan kembali ke sini--"
"Tidak! Saya tidak akan kembali ke sini, saya akan berjuang keras untuk wanita yang saya cintai dan anak kami."
Tidak ada yang pria itu ucapkan lagi. Dia mendadak hilang dan ombak besar benar-benar menggulung tubuh Raikal hingga pria itu tak bisa bertahan di dalam air. Hitam. Hingga akhirnya dia merasakan matanya terbuka dan dadanya terisi udara yang berbeda.
Saat itulah dia membalas genggaman tangan Windy dan menyadari bahwa dia sudah menemukan jalan pulang.
***
Windy sejujurnya merasa tidak enak hati karena dipanggil oleh perawat dan diminta menemani Raikal di dalam. Padahal di sana ada Yagya yang sudah pasti adalah seseorang yang saat ini harusnya sangat dekat dengan Raikal. Sejujurnya juga Windy merasa agak canggung karena dikira sebagai istri dari Raikal. Kenyataannya, Windy sudah bukan apa-apa bagi Raikal. Yang membuat Windy bertahan adalah karena berkeinginan menjadi orangtua yang bisa mengisi figur ayah dan ibu bagi anak mereka.
Meski ada perasaan cinta yang tersimpan di dalam hati Windy, tapi perempuan itu tidak berharap terlalu besar untuk hubungan mereka kembali menjadi hubungan romantis. Windy tidak menemukan banyak kemungkinan seperti itu, karena yang pasti, dirinya ingin fokus melihat Raikal bangun dan mengurus anak mereka bersama.
"Pegangannya kenceng banget, Pak. Tenang aja, nggak akan diapa-apain, kok. Kasihan bunda dipegangin kenceng gitu."
Dokter senior yang bertugas mengecek segalanya sudah sesuai dengan segala prosedur dan memastikan kondisi Raikal memang membaik sengaja membuat lelucon. Sayangnya, bagi Raikal itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon karena pria itu takut jika Windy pergi dari pandangannya. Bagi dokter di sana, diamnya Raikal bukan hal yang aneh mengingat pria itu baru terbangun dari kondisi kritis. Namun, bagi Windy yang sudah menghafal betul sikap mantan suaminya itu, Raikal sedang menunjukkan bahwa pria itu tak mau melonggarkan sedikitpun pegangannya pada Windy.
"Udah berapa lama nikahnya?" tanya si dokter lagi.
Sekilas, pertanyaan itu memang tidak terdapat unsur kepo. Namun, bagi pasangan yang serba salah menjawab pertanyaan dari orang lain jelas sinis menanggapi pertanyaan si dokter yang hanya ingin mencairkan suasana saja.
"Lima tahun, Dokter."
Windy mendapatkan lirikan dari Raikal yang tidak menjawab. Entah karena pria itu masih kesulitan bicara banyak atau memang tak mau menjawab pertanyaan tersebut untuk menghargai niatan Windy yang sudah mau berada di sana.
"Oh, udah lumayan lama, ya. Ini anak yang pertama?"
"Iya, Dokter."
"Wah, selamat kalau begitu. Nanti kalau lahiran di sini ketemu sama dokter Susan atau Jeremy."
"Oh, iya. Saya udah langganan tetapnya dokter Susan."
Obrolan itu mengalir begitu saja karena Windy tak mau membuat suasana canggung. Setelah semua perawat, dokter, dan asisten dokter selesai dengan tugasnya. Barulah Windy dan Raikal bisa saling berhadapan. Windy mengambil kursi tunggal dan duduk di dekat ranjang perawatan mantan suaminya itu. Melihat tangannya yang masih digenggam oleh Raikal dengan begitu erat, Windy tidak berniat untuk melepaskannya. Bukan karena semata-mata Windy menginginkan sentuhan ini dengan Raikal. Namun, Windy bisa melihat bagaimana Raikal begitu takut. Tatapan pria itu bahkan dengan lekat terarah pada Windy tanpa sedikit pun terlepas.
"Mau sesuatu?" tanya Windy.
Siapa yang tidak akan salah tingkah ditatap dengan intens tanpa bicara apa pun? Belum lagi fakta bahwa mereka memiliki perasaan satu sama lain, semua itu membuat Windy tidak bisa menahan sikap salah tingkahnya di depan Raikal yang sedari tadi diam saja.
"Dy," panggil pria itu.
"Hm?"
"Mau."
"Hah? Apa, Cal?"
"Kamu, Dy. Aku mau."
Windy menahan napasnya begitu memahami kalimat yang bisa dirinya rangkai. Ical mau aku? Windy sungguh tak ingin bersikap terlalu percaya diri, tapi apa yang didengarnya memang benar adanya. Untuk ukuran pria yang baru terbangun dari masa kritisnya, Raikal terlalu kuat menggoda Windy yang tidak membawa benteng pertahanannya. Benteng pertahanannya tadi tertinggal di rumah dan disimpan tanpa Windy bersedia bawa. Sebab Windy sibuk mempersiapkan perasaannya secara utuh agar niatannya tercapai; melihat Raikal terbangun.
Sayangnya, sekarang ini Windy harus tetap menggunakan akal sehatnya. Dia menatap Raikal, membaca ekspresi pria itu. Setelah sadar, di sana tak ada maksud menggoda. Raikal sepertinya masih kesulitan merangkai kalimat yang panjang hingga menggunakan kata-kata yang diterima Windy agak kotor dan dianggap sebagai godaan di pikirannya sendiri.
"Kamu mau aku apa, Cal?"
"Mau kamu, sama aku."
Windy yang mengerti maksud pria itu hanya bisa membalas dengan genggaman tangan mereka. Tidak ada kata-kata yang akan Windy sampaikan sebagai kepastian atas status mereka sebagai pasangan. Sekali lagi Windy mengingatkan dirinya sendiri, bukan keinginan rujuk yang perempuan itu utamakan. Windy sedang mengutamakan kesehatan Raikal dan kehadiran pria itu untuk bersama-sama menjadi orangtua yang baik bagi anak mereka kelak.
"Dy ..."
"I'm here, Cal. Jangan khawatir dengan hal lain."
Windy ingin pria itu tak ketakutan dengan apa pun saat ini. Tidak ada kehilangan, karena Windy akan ada di sana menemani pria itu dan memberikan ketenangan pada Raikal sebisa yang Windy punya. Jika ada hal lain yang diinginkan oleh pria itu dan Windy tak bisa memberikannya, maka tak perlu mencarinya, mereka hanya perlu diam dan menjalani apa pun yang tak bisa dicari dengan mudah jawabannya.
[Extra part 2 sudah bisa kalian temui di Karyakarsa 'kataromchick', ya. Tinggal satu bab lagi yang tayang di Wattpad. Bagi yang mau, kalian bisa baca sepuluh bab sisanya di karyakarsa dengan harga satuan 2000. Extra part 3000 per bab. Aku nggak pasang harga tinggi. Silakan menikmati. Yang mau udahan juga gpp, siapa tahu kalian mau baca sampai tamat di karyakarsa kapan-kapan pas ada rezeki. :) Happy reading!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top