38 - MTM

Seperti yang Andari sampaikan, bahwa semua keputusan kembali pada Windy. Apa pun yang akan dilakukan Windy, tidak akan berpengaruh besar pada Andari. Sebagai seorang ibu, Andari hanya tak mau putrinya terluka. Namun, luka adalah bagian dari bahagia. Dilindungi sebesar apa pun, Windy harus tetap menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Manisnya kisah cinta hanya akan bertahan sementara, yang akan terus menggempur kehidupan adalah kenyataan yang seringnya tidak menyenangkan.

"Ibu beneran nggak masalah aku jenguk Raikal?" tanya Windy yang sudah siap untuk berangkat dengan Ayura.

"Di, apa pun yang kamu putuskan, semuanya adalah untuk kamu. Ibu hanya bisa berharap kamu mendapatkan jalan yang mudah. Kalau kamu butuh bantuan, ibu di sini. Semakin lama ibu pikirin, semakin banyak hal rumit yang masuk ke dalam pikiran. Sekarang, jalani dulu apa yang ada di hadapan kamu. Semoga dengan keberadaan kamu, Raikal bisa bangun dan melihat anaknya kelak."

Itu adalah kalimat mengandung doa magis. Sejatinya apa yang diucapkan oleh ibu memang selalu magis dan doa yang tidak bisa diremehkan. Windy menjadi lebih yakin dan mengangguk sebelum akhirnya menyalimi tangan ibunya dan pergi bersama Ayura. Hari ini, semoga saja tidak akan ada yang bisa menghalangi Raikal dan Windy menjadi sepenuhnya orangtua bagi anak mereka. Setelah ini kamu bisa ketemu anakmu, Cal. Aku mohon bangun, ya.

***

Saat Windy sampai di rumah sakit, hanya ada Yagya yang menemani di ruangan Raikal berada. Sepertinya suami wanita itu sedang memiliki kepentingan yang lebih genting. Untung saja Ayura langsung mengajak mamanya untuk makan, setidaknya suasana tidak menjadi sangat canggung.

Sekali lagi, Windy memang tidak bermaksud untuk menjadi orang yang tidak sopan pada pihak yang lebih tua. Hanya saja membangun hubungan yang baik dengan mantan mertua yang tadinya tidak terlalu baik ... itu adalah tantangan yang sangat luar biasa.

Sekarang, Windy akan fokus pada kunjungannya yang betujuan untuk membuat kondisi Raikal lebih baik. Windy duduk di kursi tunggal dan mengamati wajah mantan suaminya yang sangat pucat.

"Cal, aku datang tapi nggak bawa apa-apa. Aku ke sini buru-buru karena adik kamu datang ke rumah. Aku sengaja nggak kasih nomor hapeku yang baru, dan tetap blokir nomor kamu di nomor lama. Aku sebenarnya mau fokus sama diriku sendiri, tapi ternyata takdir bawa aku ketemu adik kamu dan akhirnya aku tahu bahwa kamu nggak baik-baik aja."

Windy tidak tahu apakah ceritanya ini akan didengar oleh Raikal atau tidak, tapi perempuan itu memilih terus bercerita meski tidak didengarkan oleh Raikal.

"Aku memang sakit hati, Cal. Tapi melihat kamu yang seperti ini ... kayaknya kamu lebih parah, ya. Aku nggak tahu kalo kamu akan serapuh ini karena aku nggak kasih izin sama kamu untuk ketemu aku dan anak kita. Maafin aku, ya, Cal. Aku bersikap keterlaluan ke kamu karena sikap mama kamu."

Windy meraih tangan Raikal yang tak terpasang jarum, dia menggenggam tangan pria itu meski tidak mendapatkan balasan.

"Aku datang ke sini mau kasih tahu kamu juga, Cal. Aku udah periksa kandungan, katanya anak kita nggak akan lama lagi lahir. Kamu mau nemenin aku, kan, Cal? Aku kasih kamu izin untuk temenin aku pas lahiran, kita ketemu anak kita bareng-bareng. Tapi tentu aja ada syaratnya, kamu harus bangun supaya kita bisa lihat anak kita, Cal. Kalo kamu nggak ikutin syarat itu, gimana bisa kamu temenin aku?"

Windy tidak tahu kenapa tiba-tiba aja matanya basah oleh airmata. Dia yakin tidak berniat menangis dan menjadi sendu pada kunjungannya untuk Raikal ini. Namun, tidak ada yang bisa menahan gejolak emosi sebesar ini jika berhadapan dengan pria yang tidak membuka matanya dan Windy harus menuangkan segalanya dengan jujur.

"Aku nggak tahu apakah aku bisa jadi orangtua yang baik. Tapi aku tahu kalo kamu akan jadi ayah yang mau menuangkan seluruh cinta yang kamu punya untuk anak kita. Mungkin kamu terlalu sakit karena membayangkan nggak bisa kasih cinta kamu untuk anak kita. Mungkin kamu juga sakit karena dipaksa meninggalkan orang yang kamu cinta. Tapi kamu harus tahu kalo orang-orang di sekitar kamu menanti kamu bangun dan bisa berjuang lagi."

Ada banyak ketakutan yang berlarian di kepala Windy, tapi yang paling mendominasi adalah kehilangan Raikal selamanya.

"Aku nggak tahu seperti apa hubungan kita ke depannya, aku udah nggak mikirin soal itu lagi. Tapi aku mau jadi orangtua bersama kamu, Cal. Aku mau kita punya waktu bareng-bareng besarin anak kita. Aku pengen kamu bisa melihat anak kita lahir dan anak kita bisa tahu kalo dia punya ayah yang hebat."

Windy sudah tidak bisa mengatakan apa pun karena sekarang dia malah fokus menangis. Dia merasa sangat bersalah karena membuat Raikal menangis pada saat terakhir kali mereka bertemu. Pria itu mengungkapkan bahwa hatinya sakit dan Windy berusaha untuk tak peduli. Perpisahan itulah yang menjadi kenangan terburuk di kepala Windy hingga akhirnya mendapati Raikal yang terbaring di brankar rumah sakit.

"Aku cinta kamu, Cal. Apa pun status yang kita punya, aku tetap cinta sama kamu."

Itu adalah ungkapan dari hati yang terdalam.

Terlalu menghayati perasaannya sendiri, Windy bahkan seolah bisa merasakan genggaman tangannya dibalas oleh Raikal. Dia terlalu terbawa suasana hingga merasakan pria yang dicintainya menggerakan ibu jarinya untuk mengusap punggung tangan Windy.

"Aku kayaknya terlalu berharap kamu bangun sampe aku bayangin perasaan tanganku kamu genggam, Cal."

"Dy ...."

Windy terkesiap. Itu bukan halusinasi. Yang Windy dengar adalah benar suara Raikal. Sontak saja kepala Windy kembali tegak dan menatap wajah Raikal yang memang membuka matanya secara perlahan.

"Ical? Kamu ... kamu bangun?"

"Dy, Dy."

Pria itu sibuk memanggil nama mantan istrinya.

"Iya, Cal. Aku di sini, aku nemenin kamu di sini."

"Dy."

Windy begitu bahagia sampai menangis terharu karena bisa mendapati Raikal yang kembali bicara dan mengucapkan nama Windy.

"Iya, Ical. Aku Windy, aku di sini dan aku bahagia banget kamu akhirnya bangun."

Windy teringat bahwa dia bukan pihak medis yang bisa mengerti kondisi Raikal. Dengan cepat dia menekan bel yang ada di dinding di atas kepala brankar Raikal. Mereka akan menunggu kedatangan pihak rumah sakit dan melihat bagaimana keadaan Raikal yang akhirnya membuka mata.

Salah satu perawat datang bertepatan dengan Yagya dan Ayura yang kembali ke ruangan Raikal. Keduanya membekap mulut karena melihat Raikal bergerak dan membuka matanya.

"Rai!"

"Kak Rai!"

Kedua anggota keluarga Raikal berseru begitu lega.

"Saya panggilkan dokter dulu, ya, Bu. Setelah itu tolong beri waktu pasien untuk diperiksa lebih dulu oleh dokter."

Windy, Yagya dan Ayura mengangguk. Mereka menunggu kedatangan dokter yang rupanya tidak hanya satu orang. Ada banyak juga asisten dokter yang ikut dan menjadikan ruangan itu ramai mengerubungi ranjang perawatan Raikal. Ayura dan Yagya berniat keluar dan akhirnya Windy ikut untuk memberikan waktu yang lebih pada pihak medis yang mengurus Raikal.

Di luar, ketiganya duduk berderet dengan masing-masing posisi tegang karena penasaran. Windy tidak memikirkan hal lain selain kesembuhan Raikal. Namun, dia tidak mengira bahwa Yagya akan kembali bicara setelah mengucapkan kata terima kasih yang singkat.

"Saya nggak tahu harus mengatakan terima kasih seperti apa, tapi kamu memang membawa dampak positif untuk kondisi anak saya."

Windy tidak tahu harus memberikan respon seperti apa atas ucapan Yagya.

"Maaf karena membuat kamu tidak nyaman berada dalam keluarga kami selama ini. Maaf karena membutuhkan waktu bertahun-tahun dan harus menyebabkan Rai dalam kondisi paling parahnya lebih dulu untuk bisa berdamai dengan keadaan dan menerima keberadaan kamu, Windy."

Mendengar namanya disebutkan dari bibir Yagya, memang aneh dan canggung. Meski begitu Windy tak ingin menjadikan hal itu kekurangan. Dia bersyukur karena walaupun agak terlambat, yang terpenting Yagya mau mengatakan maaf.

"Saya memaafkan segalanya, Tante. Saya bersyukur karena saya bisa memberikan dampak yang baik untuk kondisi Raikal. Setelah ini, saya mohon biarkan Raikal memiliki akses waktu untuk anak kami yang akan segera lahir."

"Ya, saya nggak masalah dengan hal itu. Saya ... belajar banyak dari kejadian ini. Semoga saja ibu kamu tidak menaruh dendam kepada saya karena sudah mengancamnya beberapa waktu lalu."

"Ibu saya bukan orang seperti itu, Tante. Kami memaafkan segalanya, yang terpenting adalah semuanya baik-baik saja."

Ada kelegaan yang akhirnya bisa dirasakan oleh ketiga perempuan di sana. Meski setelahnya hening merajai mereka.

"Ibu Dy?"

Windy langsung berusaha berdiri. "Saya, Sus."

"Bapak Raikal minta ditemani, Bu. Silakan masuk, ya."

Meski merasa tak enak hati, tapi kali ini Windy menebalkan wajah. Dia hanya ingin fokus pada keadaan Raikal. Semoga saja setelah ini mereka bisa melewati masa sebagai orangtua bersama tanpa ada drama yang membabi buta. 

[Silakan dibaca, ya. Anyway, extra part 1 sudah bisa kalian temukan di Karyakarsa. Aku ucapkan terima kasih bagi pembaca yang mau menyisihkan waktu dan uangnya untuk mendukung karyaku. Dukungan kalian sangat berarti bagi penulis yang menggantungkan pendapatan dari menulis ini. Semoga rezeki kalian selalu dimudahkan, ya. Terima kasih juga bagi pembaca yang milih baca gratisan tapi nggak komen yang bikin semangat orang jadi turun. Tapi aku nggak mau bilang makasih buat yang meninggalkan komentar seperti 'hahh, ini cerita kesekian yang tamatnya di karyakarsa -_-' atau 'untung aku nggak terlanjur baca banyak karena ceritanya gak tamat di WP' atau 'karyakarsa lagi#emot nangis'. 

Kalian yang seperti itu enteng banget komen dengan kekecewaan nggak bisa baca gratis sampai tamat. Kamu nggak paham, ya, nulis itu pakai ide yang meras kepala, merasa kuota internet yang nggak gratis. Kamu pikir nulis modal serba gratis dan penulis mengharapkan dapat uang gitu aja? Masih untung aku kasih sampai baca sampai bab 40 nantinya. Kalian malah bikin yang nulis senewen. Kalo gak mau dukung dan kecewa, mending cari penulis lain tanpa komen nyinyir. Daripada bikin yang nulis malah kesel sama kelakuan jari kalian!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top