37 - MTM

Memiliki latar belakang hubungan yang tidak baik dengan mertuanya, membuat Windy tidak bisa melihat Yagya dan Raksa selayaknya orang yang bisa membuatnya nyaman ketika berada dalam satu ruangan yang sama. Kisah yang didapatkannya adalah dari Ayura, sedangkan orangtua Raikal masih belum mau membuka mulut mereka dengan kehadiran Windy. Wajah-wajah yang Windy lihat saat ini adalah wajah lelah dan memang tak berani menatap Windy dengan kepala tegak lagi. Mungkin karena mereka menyadari tak ada gunanya menegakkan kepala jika semua itu hanya membuat putra mereka berakhir koma di rumah sakit hingga kini.

Windy tidak menyalahkan sepenuhnya orangtua Raikal, sebab masih ada takdir yang mungkin memang bertindak untuk semua ini terjadi. Sedikit banyak, tidak berdayanya Raikal bisa memukul kesadaran Yagya dan Raksa. Jika tidak ada hal seperti ini, mereka akan tetap sibuk sendiri-sendiri dengan kehidupan kalangan atas mereka. Seperti yang mereka selalu agungkan, waktu adalah uang, sudah pasti perasaan anak-anak mereka tak diperhatikan dengan baik. Sadar atau tidak, Yagya dan Raksa sejauh ini memang memikirkan masa depan yang mereka inginkan terjadi dalam kehidupan anak-anaknya. Bukan sepenuhnya Raikal mau menjalani kehidupan yang diinginkan oleh kedua orangtuanya, sebab semuanya memang sudah Yagya dan Raksa atur.

Kehadiran Windy memang hanya penghalang dari semua hal yang tidak bisa lagi dilakukan Raikal untuk kedua orangtuanya. Bukan salah Windy bahwa takdir membawanya untuk masuk dalam kehidupan Raikal. Juga bukan salah Raikal yang sengaja jatuh cinta pada Windy. Semua itu tentu saja bergantung pada ekspektasi orangtua pria itu saja. Lagi pula, kehadiran Windy juga menjadi salah satu ujian bagi Yagya dan Raksa, untuk melihat apakah mereka bisa menjadi pihak yang mudah mengikhlaskan atau tidak.

"Mbak Windy mau pulang sekarang?" tanya Ayura memecah keheningan di sana.

Windy mengangguk pada Ayura dan mulai berdiri dari tempatnya menunggu.

"Aku pulang sendiri aja, Ra."

"Nggak, nggak. Biar aku yang antar. Mbak Windy udah jauh-jauh ke sini."

Ya, Windy memang meluangkan waktu makan siangnya untuk mengunjungi Raikal di rumah sakit. Ibunya belum tahu bahwa Windy memiliki kegiatan baru. Mungkin ibu Windy akan kecewa jika tahu bahwa Windy menjenguk Raikal yang sudah bukan siapa-siapa bagi Windy. Namun, Windy ingin pria itu bangun dan tetap hidup untuk anak mereka yang mungkin akan lahir dalam kurun waktu beberapa minggu lagi.

Ayura setidaknya sudah lebih pandai mengubah sikap pada Windy. Sedangkan Yagya dan Raksa masih senantiasa diam meski memang tidak sesombong biasanya. Windy tidak mau memusingkan hal itu, dia akan memilih untuk diam dan tidak mengganggu waktu Yagya dan Raksa.

"Pak, Bu, saya permisi pulang."

Windy tidak akan membalas sikap angkuh mantan mertuanya dengan bersikap sama. Dia tetap menyapa dan meminta izin ketika akan pulang. Meski memang Windy tak sampai mencium tangan keduanya karena tak mau mengotori tangan orang kaya seperti mereka. Windy sudah berbalik dan otomatis terhenti ketika suara Yagya memanggilnya.

"Windy," panggil wanita itu.

"Iya, Bu?" balas Windy setelah menoleh ke belakang.

Yagya terlihat tidak yakin untuk mengucapkan sesuatu yang tertahan di mulutnya. Entah apa yang ingin disampaikan, tapi Windy tetap menunggu.

"Terima kasih."

Meski hanya satu kalimat singkat, Windy menghargai niatan itu.

"Sama-sama, Bu."

Semoga saja mereka semua bisa berdamai dengan keadaan yang akan dihadapi di masa mendatang. Semoga Raikal bisa melihat sendiri bahwa orangtuanya mulai luluh dan mau untuk mengalah.

***

Andari yang selalu menjaga rumah agak bingung dengan kedatangan tamu di rumahnya. Perasaan wanita itu tidak pernah baik-baik saja jika melihat keberadaan mobil yang tak dikenal terparkir di depan rumah. Kecurigaan selalu datang, apalagi jika mengingat kata-kata mengancam mantan besannya. Andari hanya tak mau jika ternyata Yagya benar-benar membuktikan ucapannya karena Windy tidak mau pindah dari rumah tersebut.

Begitu melihat siapa yang turun dari mobil, kening wanita itu semakin mengerut. Dia tidak mengingat jelas siapa perempuan yang turun dari dalam mobil itu karena masih sangat muda. Andari mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah menemui perempuan itu, tapi tidak bisa. Sebelum Andari mendapatkan kesimpulan, perempuan tersebut sudah lebih dulu mendekati Andari.

"Selamat sore, Tante."

Andari dengan tergagap menjawab, "Se-selamat sore. Mau cari siapa, ya?"

"Saya Ayura, Tante. Adiknya Kak Raikal."

Andari sudah pasti terbelalak dengan pengakuan Ayura itu. Setelah mamanya, sekarang adiknya pun ikut datang ke rumah Windy. Di dalam pikiran Andari yang sudah semakin tua, dia bertanya-tanya apa lagi yang diinginkan oleh keluarga Raikal.

"Ada urusan apa lagi? Belum puas mama kamu mengancam anak saya? Raikal sudah nggak pernah datang ke sini lagi, jadi jangan ganggu kami!"

Itu adalah respon yang wajar mengingat bahwa Yagya memang tidak pernah meninggalkan jejak yang baik kepada keluarga Windy. Maka Ayura hanya bisa meringis dan meminta maaf.

"Saya minta maaf karena sikap mama udah bikin Tante nggak nyaman. Saya ke sini bukan untuk mengancam Tante atau melakukan tindakan negatif. Saya ke sini untuk menjelaskan sesuatu dan meminta penngertian Tante sebentar."

Andari tidak yakin bisa memberikan akses bagi keluarga Raikal untuk masuk dan bicara. Terakhir kali Yagya masuk, yang ada malah Andari sakit hati mendengarkan semua celotehan wanita itu. Jadi, kali ini Andari tidak bisa memberikan akses bagi Ayura untuk masuk ke rumah.

"Saya nggak bisa membiarkan kamu masuk, kalau mau bicara silakan katakan sekarang juga."

Ayura tidak bisa untuk memaksa, dia hanya mengangguk dan mulai menjelaskan.

"Saya ketemu sama mbak Windy dua hari lalu, sewaktu mbak Windy mengambil vitamin di rumah sakit."

Andari menunggu apa yang akan Ayura katakan selanjutnya.

"Saya menjelaskan sama mbak Windy bahwa kondisi kak Raikal sedang nggak baik-baik saja."

"Memangnya keadaan nggak baik-baiknya kakak kamu itu apa?" tanya Andari ketus.

"Kak Raikal melakukan percobaan bunuh diri, Tante."

"Astaghfirullah. Kenapa kakak kamu berpikir pendek, sih??"

"Itu karena kak Raikal berantem terus sama mama dan papa. Mbak Windy udah nutup akses buat kak Raikal untuk ketemu. Hal itu bikin kak Raikal frustasi, ujungnya sering bertengkar sama mama dan papa. Kak Raikal udah melakukan percobaan bunuh diri tiga kali. Yang ketiga ini efeknya bikin kak Raikal koma. Dua hari ini, mbak Windy udah jengukin kak Raikal di rumah sakit selama jam makan siang. Saya tahu mbak Windy nggak pernah izin lebih dulu ke Tante, saya bahkan nggak punya nomor mbak Windy yang baru karena mungkin masih merasa nggak nyaman untuk jengukin kak Raikal."

Andari tidak menutupi keterkejutannya bahwa Windy diam-diam sudah mengetahui keadaan Raikal dan menjenguk mantan suaminya itu. Untuk sesaat, Andari memang tak suka dengan bayangan putrinya menjenguk Raikal. Namun, sebagai sesama manusia, Andari merasa keterlaluan jika tak kasihan dengan kondisi Raikal.

"Tante, saya tahu kedatangan saya ke sini sangat nggak tahu malu. Saya bikin Tante nggak nyaman. Saya juga nggak bisa berdiam diri. Saya tahu mbak Windy dan kakak saya masih saling mencintai. Kalau boleh, saya mau minta bantuan mbak Windy untuk datang ke rumah sakit secara rutin tanpa merahasiakannya sama Tante."

"Kamu meminta seperti ini, memangnya orangtua kamu mengizinkan?"

"Papa dan mama memang nggak mau meminta seperti ini, tapi mereka udah nggak tahu lagi harus gimana. Karena kunjungan mbak Windy, hari ini kakak saya kondisinya semakin membaik, Tante. Kakak saya melewati masa kritisnya, dan sekarang sudah dipindah ruang perawatan."

Andari tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi mendengar Raikal membaik setelah kunjungan Windy juga melegakan. Andari tidak bisa membayangkan bahwa ayah dari cucunya akan tiada begitu saja.

"Tante, apa mbak Windy diizinkan untuk sering jenguk kakak saya?" tanya Ayura.

"Nak, itu bukan keputusan saya. Kalo memang Windy mau, saya nggak masalah. Bagaimana pun, kakak kamu adalah ayah dari cucu saya. Kalo memang ada jalan terbaik untuk nggak membuat keadaan memburuk, saya akan mengizinkan yang terbaik."

Ayura merasa lega dengan jawaban Andari. Gadis itu mengucapkan berulang kali kata terima kasih pada Andari. Hingga seseorang yang sedang mereka bicarakan datang dengan wajah terkejut.

"Ayura?"

"Mbak Windy!"

Pandangan Windy terarah kepada Ayura dan ibunya.

"Kamu ngapain di sini, Ra?"

"Mbak, aku mau kasih tahu kalo kondisi kak Rai udah lewatin masa kritis."

Windy tidak bisa sepenuhnya tenang, karena sekarang ada ibunya yang mendengarkan segalanya.

"Adik Raikal udah cerita semuanya sama ibu, Di. Kalo kamu mau untuk jengukin Raikal, ibu nggak masalah. Jangan bertindak diam-diam lagi, biar ibu nggak bingung."

Windy tidak tahu apakah dia harus menangis atau tersenyum lega. Yang jelas saat ini perasaannya menjadi campur aduk.

"Mbak Windy mau ikut aku ke rumah sakit? Kita lihat kak Raikal, siapa tahu kalo mbak Windy ke sana lagi, kak Raikal bakalan bangun."

Haruskah?

"Dia ayah dari anak yang kamu kandung, Di. Ibu nggak apa-apa."

Windy yang tadinya masih dilema perlahan merasa teryakinkan dengan ucapan ibunya.

"Aku mandi dulu, Ra. Kamu mau tunggu?"

Ayura mengangguk. "Iya, Mbak."

Semoga saja kali ini Raikal membuka matanya karena Windy akan menyampaikan pada pria itu bahwa Raikal memiliki kesempatan untuk menemani Windy ketika melahirkan anak mereka nantinya. 

[Haloooo! Kisah ini sudah tamat, ya. Bab terakhir dan epilog sudah bisa kalian baca di Karyakarsa. Aku ucapkan banyak terima kasih pada kalian yang udah dukung kisah ini hingga akhir. Love you semuanya! Aku nggak nyangka bisa nulis kisah Windy dan Raikal sampe 70 ribu kata lebih, wow! Padahal tadinya niat cuma 40 ribu kata. Makasih semuanya sekali lagi. Sampai ketemu di ceritaku yang lainnya!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top