34 - MTM
Mimpi itu terus menghantui Windy. Meski tangisannya sudah tak lagi menderu, tapi ada keresahan yang membuat hatinya sedih. Setiap keputusan yang diambilnya adalah untuk kebaikannya sendiri, dan Windy baru menyadari bahwa mungkin saja kebaikannya untuk dirinya sendiri itu menyakiti Raikal sangat dalam. Raikal juga pasti sama sulitnya menemukan pegangan untuk tetap bertahan.
Bukan hal yang mustahil Raikal akan menyakiti dirinya sendiri karena tak bisa melihat Windy atau pun anak mereka kelak. Akibat perbuatan mamanya, Raikal harus merasakan kesakitan yang lebih dalam. Jika saja Yagya tidak sembarangan bicara yang mengancam, mungkin Windy akan tetap memberikan akses pada Raikal untuk bisa melihat dan menjaga anak mereka bersama.
Windy tahu bahwa Raikal adalah pria yang teramat setia. Tidak ada prinsip macam-macam yang pria itu anut atau bahkan dirusak. Yang dilakukan Raikal adalah menjaga komitmen dan mencintai sepenuh hati. Rasanya memang tidak akan adil jika melimpahkan seluruh konsekuensi pada pria itu. Namun, Windy adalah pihak yang tidak bisa melakukan apa pun selain berusaha keluar dari keluarga toxic Raikal saja. Sudah tidak ada waktu untuk mundur dari semua keputusan yang diambilnya. Jika memang sesuatu terjadi pada Raikal, keluarga pria itu tidak akan diam saja. Sebab Raikal adalah anak yang sangat disayangi oleh kedua orangtuanya.
"Di! Ini siapa yang bawa beginian?" seruan dari Andari membuat Windy mengesampingkan pikirannya mengenai Raikal.
"Apa, Bu?" sahut Windy dengan berjalan cepat ke depan halaman rumah dimana Andari berada.
"Ini, loh. Ini siapa yang bawa?"
Windy menatap pot tanaman yang memang sebelumnya tak pernah dilihat di rumah itu. Ketika Windy menyewa rumah tersebut, pot besar dengan tanaman yang sepertinya tidak main-main harganya itu, tentu saja membuat Windy dan Andari bingung.
"Masa yang punya rumah ini yang taruh sini? Aku waktu nyewa nggak ada beginian, kok, Bu."
"Ini mahal, loh, Di. Ibu tahu dulu Bu Retno yang punya di kampung. Ibu mah seneng aja lihatnya, tapi nggak kebeli. Ini malah ada di sini. Ibu mau rawat, tapi takutnya punya orang lain tapi nyasar dikirim ke sini."
Bu Retno adalah tetangga Andari di kampung yang memang terkenal sebagai orang kaya. Tidak heran jika ibu Windy itu mengagumi tanaman mahal yang ada di rumah bu Retno itu.
Windy menatap rumah tetangga sekitar yang tenang-tenang saja. Jika memang ada yang memesan tanaman tersebut, kenapa tidak ada yang datang mencari, sih? Lagi pula, kenapa kedatangan tanaman tersebut juga tidak diketahui siapa-siapa? Jika memang ada yang mengirim, pasti memastikan lebih dulu alamat rumah yang benar.
Windy belum benar-benar menangkap situasi sebenarnya, hingga sosok yang tak diharapkannya datang dengan mobilnya yang terparkir mencolok di depan gerbang. Ini adalah akhir pekan dan Windy tak ingin meributkan hal yang bisa saja mereka bahas di kantor.
"Selamat pagi."
Andari menatap putrinya lebih dulu, tapi Windy tidak bereaksi apa-apa selain mengamati Raden yang berjalan masuk tanpa ragu. Andari tak punya pilihan lain selain menyapa balik Raden yang terlihat tak membaw ancaman sama sekali.
"Sehat, Bu? Akhirnya saya bisa ketemu lagi."
"Ah, alhamdulillah saya sehat, Pak. Jadi, ada urusan kerjaan dengan Windy, ya, Pak?"
Raden menatap Windy yang tak mengatakan apa pun.
"Nggak, sih, Bu. Ini saya memang mau mampir aja." Lalu pria itu menyentuh daun dari tanaman yang ada di halaman rumah Windy. "Gimana sama tanamannya? Suka nggak, Bu?"
Tentu saja Windy dan Andari saling menatap dan mulai mendapatkan jawaban yang membuat mereka tak buntu lagi.
"Jadi, Bapak yang bawa tanaman ini ke sini?" tanya Windy.
"Iya. Saya perhatikan rumah ini hijau, kayaknya ibu kamu suka ngurus tanaman. Ini di rumah saya nggak ada yang urus, karena saya males. Dari pada nggak ada harapan, saya bawa ke sini aja untuk saya berikan ke ibu kamu."
Andari yang tidak merasa bahwa kebaikan akan datang dengan percuma hanya bisa menyerahkan masalah ini untuk diurus oleh putrinya dengan atasan perempuan itu sendiri.
"Di, ibu ke dapur dulu, deh siapin teh. Kamu sama bos-mu duduk dulu di teras." Tatapan Andari terarah pada Raden. "Maaf, Pak. Kalau duduk di karpet di bawah nggak apa, ya? Soalnya di dalam rumahnya masih berantakan."
Raden mengangguk antusias. "Oh, nggak masalah sama sekali, Bu. Saya bisa duduk dimana aja, kok."
Windy tahu yang dilakukan ibunya itu untuk mencegah prasangka tetangga Windy. Mungkin memang terlihat tak ada yang diluar rumah, tapi yang namanya hidup bertetangga akan selalu ada saja rumor yang tersebar. Dari pada nantinya tetangga berpikir aneh-aneh, memang lebih baik menjamu Raden di teras yang terlihat oleh semua orang.
Sekarang ini, tinggal Windy dan Raden yang saling berhadapan. Karpet sudah dibentangkan oleh Andari, tapi Windy belum berniat untuk mempersilakan Raden untuk duduk begitu saja. Semua ini masih butuh Windy cerna dengan baik.
"Windy?" panggil Raden.
"Kalau Bapak ke sini untuk minta balik uang malam itu, saya akan berikan sekarang tanpa basa basi."
"Uang?"
"Malam dimana saya seharusnya mentraktir Bapak dan Liliana."
Raden terlihat kembali mengingatnya. "Oh! Saya nggak inget soal itu kalo kamu nggak ngomong. Tapi kedatangan saya ke sini memang bukan untuk itu."
"Terus untuk apa?"
"Untuk ketemu ibu kamu."
Windy mengernyit tak paham. "Bapak ... mau deketin ibu saya yang udah janda?"
Raden tidak langsung menjawab, tapi pria itu menaikkan bahunya dengan hembusan napas panjang. "Saya cuma mau memastikan apakah ibu kamu udah balik sehat atau belum. Sekalian juga ... kembali ngerasain rasanya kasih perhatian ke seorang ibu."
Windy sangat terkejut dengan jawaban itu. Di pikiran Windy sudah terpatri bahwa Raden sedang berusaha mendekatinya tanpa takut sama sekali. Windy pikir Raden memang sepenuhnya melakukan niatan itu setelah makan malam yang berakhir agak canggung itu. Namun, pria itu memiliki tujuan yang lebih terdengarkan menyedihkan. Dia nggak punya orangtua, Dy!
"Kenapa kamu kelihatan terkejut begitu? Nggak rela berbagi ibu sama saya?"
"Bukan begitu, Pak. Saya merasa belum terbiasa dengan semua ini. Kebaikan Bapak ke saya dan ibu saya semakin lama semakin banyak. Saya nggak mau membiasakan mendapatkan bantuan dari orang lain. Saya nggak mau hidup mengandalkan kebaikan orang lain."
"Saya bos kamu. Semua pakaian atau traktiran itu, anggap saja itu sebagai boost supaya kamu lebih semangat kerja dan mempromosikan perusahaan saya."
"Tapi saya—"
"Didi! Kenapa malah bos kamu disuruh berdiri? Ajak ke sini, ngobrolnya sambil duduk jangan begitu ke tamu."
Windy sepertinya tak bisa mendorong Raden menjauh karena pria itu tak memaksakan perasaan pada Windy, tapi entah kenapa Windy merasa Raden memiliki maksud mendekatkan diri padanya?
***
Pada malam pertama pernikahan Windy dan Raikal, mereka tak ubahnya seperti patung yang kebingungan harus memulai segalanya dari mana. Terlalu malu untuk menatap mata satu sama lain karena mungkin akan semakin salah tingkah. Raikal menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, tapi tetap harus dilakukan. Sedangkan Windy mengeratkan kedua tangannya di pangkuan dan menatap lantai yang tidak menarik sama sekali.
"Ekhem."
Windy bahkan terkejut dengan dehem yang asalnya dari Raikal. Karena Windy sudah berjingkat membuat ranjang agak bergoyang sedikit, maka tatapan Raikal terarah pada perempuan itu dan seketika saja wajah keduanya merona malu.
"Uhm, Dy?"
"Ya?" Windy menyahut terlalu cepat hingga membuat Raikal yang malah terkejut. "Eh, maaf."
Sejujurnya Windy bingung harus bagaimana karena mereka sekarang berada di rumah keluarga Raikal. Windy merasa agak tak nyaman meski sudah bersama Raikal yang sah menjadi suaminya. Windy pikir, mereka bisa menghabiskan kecanggungan ini di kamar hotel atau apa pun itu. Namun, mereka langsung berada di rumah orangtua Raikal. Meski rumah itu besar, tapi Windy merasa tak berani mengeluarkan suara yang aneh nantinya.
"Dy, maafin aku yang nggak bisa bawa kamu langsung bulan madu setelah pernikahan kita, ya?"
"Eh? Kenapa minta maaf, Cal? Kamu nikahin aku aja udah bikin aku bersyukur."
Terkadang apa yang ada di hati dan apa yang keluar di mulut memang tak sinkron, begitu pula yang dikatakan Windy. Sebagai seorang perempuan yang merasakan semua momen pertama bersama Raikal, dia juga ingin tahu rasanya sensasi pengantin baru yang biasa digadang banyak orang. Namun, fakta bahwa Raikal lebih sibuk dari dugaannya, sudah pasti memaksa Windy untuk mengalah.
Raikal menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. "Aku nggak mau kamu merasa begitu. Kamu harus menuntut aku juga, Dy. Kamu berhak menuntut hak kamu sebagai istriku."
Windy tersenyum untuk membuat Raikal tenang. "Aku bangga punya suami yang mencintaiku, Cal. Aku nggak butuh apa pun lagi karena kamu ada di sampingku sebagai suamiku. Kalo nanti kamu punya waktu, kita bisa bulan madu lain kali. Jangan jadiin beban."
Bukan hanya Windy yang merasa beruntung, tapi Raikal juga. Bisa menemukan perempuan yang tidak banyak menuntut dan bisa membuat Raikal tenang dengan semua kalimatnya adalah hal yang sangat luar biasa.
"Makasih, ya, Dy. Aku beruntung banget bisa kamu terima sebagai suami."
Windy mengangguk. Lalu mulai menyadari sesuatu.
"Cal?"
"Hm?"
"Apa ... malam ini mau kita habiskan buat minta maaf dan bilang makasih aja?"
Raikal melebarkan matanya, seolah tak menyangka bahwa hal itu akan diucapkan oleh Windy.
"Aku maunya nggak cuma minta maaf sama bilang makasih, lah, Dy!"
"Terus?"
"Ya ..." Raikal menggaruk kepalanya lagi. "Kamunya mau nggak?"
Windy tidak bisa menyembunyikan tawanya. Secara perlahan Windy menangkup wajah Raikal dan mencium bibir pria itu lebih dulu, tapi hanya kecupan singkat. Tentu saja Raikal seperti diberikan kekuatan untuk melakukan hal lebih. Tanpa menunda waktu lebih lama lagi, Raikal merealisasikan menjadi pria pertama bagi istrinya itu.
Malam pertama itu tetap berkesan meski semula Windy kebingungan menahan suaranya di rumah mertuanya. Meski setelahnya tak pernah ada bulan madu karena Raikal yang terus diajak bekerja bersama papanya. Meski setelahnya banyak hal tak menyenangkan yang Windy hadapi, nyatanya cinta yang sudah tersemai begitu kuat membuat Windy bertahan selama lima tahun bersama Raikal.
Dan malam pertama itu hadir sebagai mimpi Windy lagi malam ini. Entah sebagai pertanda apa, tapi Windy merasa semakin dipaksa mengingat Raikal terus menerus melalui mimpi kenangannya bersama Raikal setiap malamnya.
"Cal ... apa yang terjadi sama kamu?"
[Udah baca bab 45? Tinggal menunggu berapa bab lagi buat bertemu kata TAMAT, ya. Happy reading!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top