33 - MTM
[Yang mau langsung beli paketnya, udah ada ya. Jadi sekali beli bisa buka semua Bab sampe extra part. ]
Windy tidak berniat untuk pergi kemana pun. Bukan dalam arti posisinya berada saat ini, tapi posisi hatinya saat ini. Ketika penuturan suami Liliana terdengar, tidak ada yang bisa Windy cerna selain ketidaksiapan hatinya yang masih berada di tempat yang sama. Bahkan kemarin Windy masih menangis dalam pelukan Raikal. Bahkan hingga kini hati Windy masih sangat sakit jika mengingat apa yang terjadi dengan hubungannya dan Raikal.
Jika coba diingat lagi, hubungan Windy dan Raikal tidak berkaitan dengan perselingkuhan. Tidak ada hati yang mendua, mereka berdua masih sangat saling mencintai. Namun, keadaan keluarga mereka saja yang agak kacau karena tak ada hubungan yang baik dari pihak Raikal. Jadi, jika Windy mencoba menggali hatinya sendiri ... dia tak siap untuk menerima pria lain selain Raikal.
"Hahaha. Jangan dipikirin ucapannya papinya Sena. Nggak ada yang kayak gitu. Ngapain pake acara coba-coba dulu? Emangnya tester di mall? Namanya orang kalo serius, ya, jangan coba-coba!"
Ucapan Liliana mengembalikan kesadaran Windy yang sempat terbang dalam pemikiran yang jauh. Kehidupan tidak berhenti hanya dengan bayangan kesakitan atas cinta yang tak bisa bersatu antara Windy dan Raikal. Namun, Windy juga tak mau dipaksa untuk mencobanya dengan pria lain—terutama Raden. Selain karena Raden adalah pria kaya, Windy juga tak memiliki keinginan terjun dalam hubungan romantis dan ingin fokus pada kehamilannya saja. Kehidupannya sendiri yang nantinya akan ditemani oleh bayi yang akan lahir dari rahimnya saja pasti sudah banyak drama. Jadi, Windy tidak tertarik untuk mencoba hubungan dengan Raden seperti yang suami Liliana katakan.
"Sakit!" keluh suami Liliana yang tampaknya mendapat cubitan dari istrinya itu.
Liliana sudah tahu persis bagaimana keadaan Windy dan ketidaksiapan Windy berhubungan dengan pria kaya apa pun dan bagaimana latar belakang keluarganya. Kekayaan hanya akan membuat Windy kesulitan menentukan ke mana dia akan masuk. Antara kehidupan yang sederhana saja atau mengikuti apa yang suaminya butuhkan. Windy sudah muak dengan kehidupan semacam itu, jadi dia lebih menginginkan kehidupan yang normal dan tak sekadar coba-coba tanpa kepastian.
"Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu nggak ada suami lagi waktu aku nawarin ibumu dibawa ke rumah sakit?"
Pertanyaan itu membuat Liliana berhenti menyiksa suaminya. Nawasena yang sepertinya sudah memahami kelakuan orangtuanya malah sibuk menyendokkan makanan ke mulut di tengah percekcokan mami dan papinya. Dan sekarang atensi sudah sepenuhnya diberikan kepada Raden dan Windy.
"Nawarin ke rumah sakit? Emangnya ibu kamu kenapa, Dy?" tanya Liliana.
Windy sudah pasti kebingungan harus berkata apa. Dia tidak bisa langsung begitu saja menjawab pertanyaan Liliana tanpa ada salah paham. Namun, tidak menjawabnya akan membuat kesalah pahaman semakin besar.
"Oh ... itu karena ibuku pingsan."
Liliana menjadi panik dan menuntut jawaban yang lebih lengkap. "Pingsan kenapa?"
"Dapet kunjungan dari mantan besan," ucap Windy dengan malas.
Dengan jawaban seperti itu saja Liliana pasti sudah bisa menebak-nebak sendiri separah apa pertemuan ibu Windy dengan mamanya Raikal. Untung saja Liliana memang tak melanjutkan pertanyaan apa pun. Di sana ada Raden dan suami Liliana yang mungkin akan mendengar segalanya. Meski tak mau membuat permasalahan keluarganya diketahui oleh kedua pria di sana, tapi semuanya sudah terlanjur diungkapkan meski tak detail.
Windy sudah merasa lega karena Liliana tidak menambah pertanyaan untuk dijawab. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama karena Raden rupanya masih menuntut jawaban.
"Kalau saya tahu kamu nggak punya siapa pun untuk mengantar, saya nggak akan pergi begitu aja."
Windy menatap dua orang dewasa di meja seberang yang menatap Raden dengan tatapan terkejut. Sedangkan Raden tak peduli dengan reaksi Liliana dan suaminya dan malah menatap Windy menuntut jawaban.
"Eh ... itu bukan tanggung jawab Bapak, kok. Nggak perlu terlalu dipusingkan."
"Saya udah bilang, kan, kalo kamu sangat beruntung karena masih punya ibu? Jangan terlalu menganggap enteng masalah yang berkaitan dengan orangtua!"
Windy tidak tahu harus bagaimana dengan reaksi Raden yang malah menumpahkan kemarahannya. Sebenarnya pria itu sedang kenapa? Windy tidak mengerti dengan semua kalimat bernada tanya dari semua orang yang ada di meja itu. Untung saja Nawasena tidak menambah kesulitan Windy dengan fokus saja pada makanannya.
"Saya nggak menganggap enteng mengenai orangtua saya, Pak. Saya hanya nggak mau Bapak jadi ikut campur soal keluarga saya."
Akhirnya Windy malah mengeluarkan kalimat yang terdengar agak ketus. Sungguh batin Windy sudah lelah membahas mengenai masa lalu dan hubungan keluarganya. Jika terus menerus diberikan pertanyaan yang menyulitkan dan bersifat pribadi, Windy bisa meledak di sini sekarang juga.
"Guys, mendingan fokus ke makanan kalian masing-masing, deh. Jangan sampe makanannya jadi dingin."
Windy memilih mengikuti saran Liliana dan Raden juga akhirnya diam. Tidak tahu apa yang di pikirkan maisng-masing dari mereka. Sekarang yang bisa dilakukan oleh Windy adalah mengakumulasi isi rekeningnya dengan jumlah harga makanan malam ini ketimbang memikirkan masalah yang sudah membuatnya pusing sejak lama.
***
Pada akhirnya, kartu debit Windy ditolak karena jumlah makanan sudah dibayarkan secara penuh oleh pria yang menurut kasir di restoran tersebut sudah lebih dulu pergi dan memastikan semua pesanan di meja yang ditempati oleh Windy dan Liliana terbayarkan semuanya.
Windy menghela napasnya karena Raden malah melakukan hal yang membuat Windy merasa bersalah sudah bersikap ketus tadi. Sudah banyak kesalahan yang Windy lakukan dan sikap Raden ini menambah rasa bersalah perempuan itu.
"Kenapa, Dy?" tanya Liliana yang datang sembari menggandeng tangan Nawasena yang kekenyangan.
"Nggak bisa bayar."
"Hah? Kurang duitnya? Yaudah biar gue—"
"Nggak bisa bayar karena udah dibayarin sama bos."
Liliana melebarkan matanya tanpa sungkan. "Raden?"
Windy yang mengangguk membuat Liliana menatap kepada suaminya yang hanya menaikkan kedua bahunya.
"Yaudahlah, Dy. Rezeki bumil itu namanya."
"Nggak enaklah, Lin. Aku harus bayar gimana pun caranya. Aku udah bikin rumor nggak nyaman di kantor, dan tadi aku udah bersikap agak kurang ajar sama dia. Rasanya nggak tahu diri aja kalo dibayarin begini."
"Raden bukan tipe orang pendendam," ucap suami Liliana. "Dia tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, tapi emang orangnya nggak mau banyak omong kalo berbuat sesuatu. Apalagi yang sifatnya perhatian."
Windy mendadak merinding dengan penjelasan suami Liliana itu. Perhatian? Maksudnya yang kayak gimana?
"Jangan slaah paham, Dy. Maksudnya papinya Sena, tuh, Raden emang selalu perhatian sama semua orang. Uangnya yang banyak nggak akan berkurang meski kamu kuras satu kartu unlimited-nya. Nggak usah panik gitu mukanya. Kalo nggak enak hati tinggal hubungi dia aja buat gantiin biaya hari ini besok."
"Masalahnya aku nggak punya nomornya."
Liliana menatap suaminya dan memberikan gerakan kepala. "Kasih, Mas."
Dan setelah ini Windy akan menghubungi nomor Raden itu agar tidak merasa memiliki hutang pada pria itu.
***
"Kalo ada pria yang beruntung bisa ketemu kamu, itu aku orangnya, Dy. Aku nggak pernah bersikap begini sebelumnya sama perempuan lain. Aku merasa langsung klik sama kamu, kesederhanaan yang kamu punya nggak bisa aku temuin di sosok lain."
Windy tidak mudah untuk tersipu atau menjadi salah tingkah dengan godaan yang para pria lakukan untuk mendekatinya dulu. Kehidupan percintaannya yang biasa saja membuat Windy juga berusaha bersikap biasa saja pada semua pria. Biasanya, banyak pria yang mundur karena Windy bersikap biasa saja dan tidak memberikan respon yang berarti. Namun, Raikal yang selalu diberi respon biasa saja oleh Windy selalu datang dan mengatakan banyak penjelasan mengapa pria itu bisa merasa yakin untuk menjalin hubungan yang serius dengan Windy.
Seolah tak memiliki keputusasaan, Raikal bahkan terus mendekatinya dan mengantarnya pulang meski Windy berusaha keras menghindari pria itu. Bagaimana tidak menghindari? Raikal adalah pria yang memiliki penghasilan tinggi, tidak mungkin pria seperti itu tidak memiliki banyak cadangan di luar sana. Windy juga merasa bahwa apa yang dilakukan Raikal hanya bertahan beberapa saat saja. Sekali lagi perkiraan itu salah, Raikal memang tidak banyak tingkah dan hanya memfokuskan diri pada Windy saja setelah pekerjaan di kantor.
"Sebenarnya Bapak mau apa dari bersikap seperti ini kepada saya?"
"Saya mau hubungan yang serius sama kamu."
"Pacaran?"
Raikal menggelengkan kepalanya dengan raut tak suka. "Saya nggak cocok untuk pacaran. Saya nggak mau hubungan semacam itu, terlalu kekanakan."
"Terus?"
"Menikah dengan saya, dong, Dy. Kamu nggak peka sekali jadi perempuan. Katanya perempuan itu makhluk yang paling peka, tapi kenapa kamu nggak?"
Windy tahu sosok Raikal yang sejak awal ditemuinya tak selalu serius ketika berada di luar pekerjaan. Raikal cenderung cerewet dan pria yang banyak sisi cerianya. Pria itu berkebalikan dari apa yang Windy punya. Namun, ketidaksamaan itulah yang nyatanya bisa membuat mereka yakin untuk menikah setelah perkenalan yang tak membutuhkan waktu lama sebelum menikah.
Windy bisa memahami semua perbedaan sifat yang dirinya dan Raikal punya. Namun, Windy tak bisa begitu saja melebur dengan perbedaan keluarga pria itu. Windy pikir semuanya akan sama saja seperti Windy mencoba membaca Raikal, dan tebakannya salah.
Kini mereka hanya orang asing. Terpisah oleh segalanya. Jarak, waktu, tempat, status, latar belakang keluarga, tujuan hidup, harapan, dan ... dunia?
Windy melihat gundukan tanah yang ditaburi bunga di atasnya. Ada keluarga pria itu yang menangisi makan tersebut. Windy berjalan mendekat, entah bagaimana caranya dia mendapatkan tempat di bagian kepala makam. Windy mencoba bernapas dengan baik untuk menyiapkan diri nama siapa yang dibacanya di nisan makam tersebut.
'Raikal Kusuma bin Raksa Kusuma'
Tubuh Windy terjungkal ke belakang. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya dan terkejut bahwa dia akan mendapati nama mantan suaminya itu diukir di nisan salah satu makam.
"Ical ...."
Windy menyebutkan nama pria itu.
"Ical? Nggak! Nggak mungkin! Icaaaalllll!"
"Icaaaalll!"
Tubuh Windy membeku dan mengeluarkan keringat dingin. Mata Windy melebar dan Andari langsung terbangun untuk melihat apa yang terjadi dengan putrinya.
"Didi? Kamu kenapa? Mimpi apa?"
Windy tidak bisa langsung menjawab karena tubuhnya kaku dan bibirnya juga ikut tak leluasa bergerak setelah meneriakan nama Raikal.
"Didi?" panggil Andari lagi.
Bukannya mendapatkan jawaban dari Windy, justru putri Andari itu menangis dengan tersedu-sedu dan tak bisa kembali tertidur malam itu.
[Bab 44 sudah up di Karyakarsa loh. Siap-siap banyak bab gemesin menjelang ending. Bab lebih gemesin nanti ada di ekstra part, sih. 🙃]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top