32 - MTM

Windy sudah menyelesaikan apa yang memang sudah harus diselesaikan dengan Raikal. Untuk sejenak, memang tak mudah menghadapi perpisahan yang sungguh terasa menyakitkan. Namun, kehidupan tetap berjalan meski tak seperti yang benar-benar diinginkan. Hubungan Windy dan Raikal tak memerlukan apa pun lagi untuk dipertahankan. Sekalipun itu adalah hubungan sebagai orangtua dari bayi yang Windy kandung. Semuanya sudah selesai, karena sikap mama Raikal yang sungguh keterlaluan.

"Dy? Habis dari mana?" tanya Andari.

Pertemuan Windy dan Raikal memang tidak diberitahukan kepada Andari. Tujuan Windy melakukan itu adalah supaya ibunya tidak terlalu memikirkan apa pun lagi. Sebab, apa pun yang berkaitan dengan Raikal akan selalu menambah beban pikiran Andari. Namun, karena sekarang semuanya sudah dilalui, maka Windy akan menjawab dengan jujur.

"Ketemu sama Raikal. Menegaskan supaya dia nggak usah dateng ke sini apa pun tujuannya. Nggak perlu dia deket-deket sama anak di dalam kandunganku kalo cuma bikin kami nggak bisa hidup tenang."

Andari terlihat kaget dengan ucapan yang Windy kemukakan. Mungkin karena masih ada sisi kemanusiaan dalam diri wanita tua itu, maka ada keraguan untuk benar-benar mengusir Raikal.

"Kamu beneran nggak masalah, kan, kalo anakmu nggak kenal ayah atau keluarga ayahnya nanti? Kamu beneran udah siap, kan?" tanya Andari.

"Ya ... siap nggak siap. Nyatanya nanti juga ada jalan keluarnya begitu masalahnya harus dihadapi."

Windy tidak salah berpikir seperti itu, tapi kenyataan yang nantinya harus dihadapi tetaplah tak mudah. Bagaimana bisa menghadapi pertanyaan seorang anak yang merasa tak bisa mendapatkan kasih sayang dari ayahnya? Bahkan tidak bisa mengenal sosok ayahnya. Andari hanya tak ingin cucunya kelak menyalahkan Windy karena tak berusaha mendekatkan Raikal sebagai ayah anak itu. Namun, mengenal Raikal dan keluarganya pasti akan membawa dampak buruk.

"Udah, Bu. Nggak perlu terlalu dipikirin sampe begitu. Udah selesai. Raikal nggak akan mau aku dan anaknya berada dalam masalah yang keluarganya ciptakan. Dia pasti bisa menepati janjinya untuk nggak mendatangi tempat dimana aku dan anaknya berada."

Tentu saja Raikal pasti menepati semuanya, kenyamanan hidup untuk Windy dan anaknya adalah yang utama. Raikal tidak akan berusaha masuk kembali dalam kehidupan Windy dan membuat Yagya kembali merecoki.

"Kalo gitu kamu mandi, istirahat. Tapi kalo kamu mau makan dulu juga nggak apa-apa."

Windy mengangguk dengan lemas. Dia masuk ke kamarnya sendiri dan kembali merasakan serangan lamunan mengenai Raikal dan tangisan pria itu tadi. Rasanya sungguh menyakitkan, tapi Windy tak bisa mundur dengan apa pun yang terjadi.

Yang bisa Windy lakukan sekarang adalah memeluk perutnya sendiri dan meminta maaf. "Maafin Bubu, ya. Maaf nggak bisa kasih keluarga yang sempurna buat kamu."

***

Hidup terus berjalan, dan memang benar jika semuanya bisa dijalani dengan santai jika kita tak terlalu memikirkan hal yang bisa menyebabkan kita tertekan sendiri. Windy rasa, sudah saatnya dia tak terlalu sibuk menjadi manusia sendu. Sebab dia bisa menjalani keceriaan yang harusnya bisa dikembalikan setelah berpisah dari Raikal dan keluarganya yang extraordinary.

"Widih, bumil. Makin cakep aja. Udah bisa beli merk bajunya Pak Raden, nih?"

Ah, bicara mengenai pakaian bagus yang dimilikinya. Sebenarnya itu adalah hasil dari paket-paket yang dikirimkan oleh Raden. Hanya saja di dalam paket tersebut ada surat yang menjelaskan bahwa jangan sampai pegawai lain tahu mengenai hal ini. Paket baju itu bukan hanya diberikan untuk Windy, tapi kebanyakan malah untuk Andari.

Windy yang tidak tahu nomor telepon Raden tentu saja tidak bisa menghubungi pria itu langsung untuk mengembalikannya. Kebetulan juga, Windy sudah diancam di dalam surat yang dikirim Raden. Bahwa dia tidak boleh mengembalikan paket pakaian cukup mahal itu dan sebagai gantinya harus ber-OOTD ria menggunakan ponsel dan meng-upload ke media sosial miliknya, serta tak lupa memberi tag akun milik perusahaan Raden.

Sejujurnya Windy tahu kenapa Raden bersiasat seperti itu. Sepertinya Raden meng-stalk akun yang diikuti dan mengikuti Instagram Windy. Teman-teman Raikal yang memang cukup dekat dengan Windy adalah orang kaya. Derek, Gutama, dan Bantara, mereka semua adalah pria sukses yang memiliki profesi menjanjikan masing-masing. Dan jika tebakan Windy tidak salah, mungkin Raden mengincar salah satu dari mereka untuk didekati secara personal.

"Kan, aku pegawai sini. Biar makin keliatan mem-branding diri dengan merk pakaian perusahaanku sendiri."

Liliana menatap temannya dengan dengan kernyitan dalam. "Iihhhh, kenapa kamu makin mirip sama si Raden? Terlalu cinta sama perusahaan sampe rela jadiin media sosial sebagai ajang promosi terus menerus."

Kamu nggak tahu aja kalo aku emang diancem buat aktif pake sosmed demi begini.

"Hm ... anggap aja karena aku berterima kasih sama perusahaan ini yang mau nerima aku yang mungkin bakal ditolak mentah-mentah di tempat lain meskipun ada orang dalam."

"Kan, kamu cukup bilang makasih ke aku, Didi! Atau bisa juga kamu traktir aku buat ucapan terima kasih yang agak proper gitu, ya?"

Windy menggelengkan kepalanya karena Liliana masih saja memberi kode untuk mendapat traktiran.

"Mohon maaf, nih, ya. Setahuku kamu itu lebih banjir uang dari pada aku, deh, ya. Suami kamu aja sekarang makin maju, jabatan kamu juga oke banget."

"Eitss! Itu beda kasus, ya. Kalo ditraktir temen itu nggak ada urusan sama jabatan. Pokoknya ada kesenangan tersendiri aja kalo dapet traktiran dari temen."

Windy menghela napasnya, berpura-purea tak rela saat menjawab. "Okeeee. Kita makan nanti pulang kerja. Aku traktir kamu."

"Yuhu!"

"Siapa yang mau traktir? Saya juga bisa ikut, kan?"

Windy dan Liliana terkejut hingga punggung mereka menjadi kaku. Di belakang mereka rupanya sudah ada Raden yang memasang tampang tak bersalah sama sekali. Dengan kompak, Windy dan Liliana menoleh ke belakang dan mendapati Raden yang malah menunjukkan reaksi sombong.

"Tadi gue denger apa? Pimpinan perusahaan minta ditraktir?" ketus Liliana pada teman suaminya itu.

Raden tidak terlihat terganggu sama sekali dengan ketusnya ucapan Liliana. Jadi, pria itu berkata seraya melewati kedua teman baik tersebut. "Hubungin gue begitu kalian mau berangkat, kalo nggak, lu tahu gue bisa hubungin siapa, Lin."

Ya, tentu saja Raden tahu bahwa suami Liliana tak akan pernah membiarkan Liliana begitu saja tanpa memberikan informasi yang diinginkan. Jadi, dengan rasa bersalah, Liliana menatap Windy dan meminta maaf. "Sorry, Dy. Aku nggak tahu Raden bakalan denger. Dan kalo kita nggak nurutin dia, bakalan ada aja kerjaan yang dibikin rumit sama dia besoknya."

Windy kali ini benar-benar menghela napasnya karena putus asa. "Mau gimana lagi. Nggak bisa dihindari, Lin."

***

Pada akhirnya makan malam itu bertambah anggota. Windy sempat menahan napas karena suami Liliana dan anaknya ikut. Keluarga kecil yang terlihat bahagia di mata Windy itu sibuk bercengkerama, membuat Windy dan Raden mengamati semuanya dengan helaan napas saja.

"Kalo keluarga bahagia emang nggak bakalan ada yang bisa ganggu."

Windy yang mendengar kalimat itu asalnya dari Raden, langsung menoleh ke samping dan mendapati pria itu menyangga dagu dengan satu tangan. Dari apa yang Windy lihat, Raden sudah seperti manusia tidak memiliki harapan untuk bahagia.

Ucapan pria itu pada saat berada di rumah Windy kembali diingat oleh wanita itu, dan menurut Liliana, Raden memang tidak memiliki keluarga dan sering merasa sepi. Tidak heran jika Raden menjadi sosok berbeda ketika sudah keluar dari kantor. Pria itu seolah tak memiliki arah hidup yang diinginkan. Sedangkan ketika bekerja, Raden akan terlihat begitu garang dan tegas. Sosok Raden di kantor dengan diluaran sangat jauh berbeda.

"Kenapa?"

Tiba-tiba saja wajah Raden sudah menghadap Windy dan membuat wanita itu kelimpungan sendiri. Salah tingkah dibuatnya oleh gerakan Raden yang sangat cepat itu.

"Hah?"

"Kenapa kamu lihat saja sampe begitu? Kamu harusnya jaga pandangan karena kamu sebentar lagi punya anak. Kasihan suamimu kalo tahu tingkahmu yang suka diam-diam lihatin pria lain."

"A-apa?"

"Dia udah cerai, Den." Liliana memberikan kalimat yang membuat Windy dan Raden menatap ke depan.

"Lin??"

Liliana tidak berhenti untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan.

"Jangan bahas soal pasangan sama Windy, karena dia udah nggak punya pasangan sekarang ini. Mendingan lu tahu sekarang dari pada nanti makin salah paham sama dia."

Raden kembali menatap Windy, tapi kali ini tanpa mengatakan apa pun. Mungkin pria itu memiliki sesuatu untuk dipikirkan sendiri.

"Jangan lihat aku kasihan," ucap Windy.

"Siapa yang lihat karena kasihan? Dasar perempuan, sukanya menyimpulkan apa pun sendirian. Ngatain orientasi seksual orang lain seenak jidat, terus kege'eran dikira dikasihani. Sok tahu banget, tuh, hidup!"

Windy menjadi merasa tak enak hati karena hal itu. Akibat ucapan yang Windy ucapkan berdasarkan pemikirannya sendiri, kini Raden dianggap benar-benar gay oleh pegawai kantor. Meski memang Raden tidak terlihat akan sibuk mengklarifikasi, tapi sepertinya Raden sudah menjalani kehidupan yang berat dengan ucapan Windy.

"Emangnya nggak, Den?" tanya Liliana yang kepo.

"Kalo iya, gue kekepin laki lu dari dulu dari dia straight sampe jadi belok!"

"Ih! Jangan ngomong macem-macem, Raden! Ada Sena di sini!" protes Liliana.

"Makanya jangan nanya sembarangan. Gue nggak nikah-nikah atau punya pacar karena yang dateng cuma manfaatin doang."

"Kenapa nggak dicoba dulu sama Windy?" Kali ini suami Liliana yang membuat suasana seketika saja menjadi senyap.

Liliana sibuk membaca reaksi seperti apa yang akan temannya tunjukkan. Sedangkan Windy dan Raden terkejut dan ketika bertatapan, mereka tak tahu apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sungguh, mulut suami Liliana memang sama seperti Nawasena. Sekali menyeletuk, tak akan ada obatnya. 

[Udah kenalan sama baby Yara, belum? Bab 43 sudah up di Karyakarsa loh. Aku kasih bonus pict, deh.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top