3 - MTM

Windy sudah tidak merasakan emosi apa-apa ketika berada di satu ruangan yang sama dengan keluarga Raikal sewaktu menikah. Berbulan-bulan lamanya—hampir empat bulan bagi Windy sangat lama. Sedangkan bagi Raikal, tiga bulan lebih  tidak cukup sama sekali untuk membuat Windy merasa tersiksa. Mungkin selama ini Windy yang salah karena memilih diam tanpa mengatakan apa-apa. Namun, tujuannya diam bukan untuk mencari perhatian Raikal dengan mengharapkan pria itu untuk peka. Windy diam karena merasa ini adalah risiko yang harus dijalaninya karena memilih bersedia menikah dengan Raikal Kusuma. 

Awal perkenalannya dan Raikal dimulai saat dirinya bekerja di perusahaan yang dimana Raikal sudah menjabat sebagai kepala manajer di sana. Posisi Raikal adalah hal yang membuat Windy dilema. Bagi semua orang, Windy ketiban keberuntungan karena bisa dilirik oleh kepala manajer muda, sukses, cerdas, dan tampan itu. Namun, bagi Windy, itu adalah beban berat untuk dipikul. Bagaimana tidak? Apa yang dimiliki pria itu tidak dimiliki oleh Windy. Sebagai perempuan yang datang dari kampung untuk merantau dengan latar pendidikan yang cukup bagus, Windy sangatlah polos untuk mengerti dunia luar. Windy terlalu polos untuk memahami bahwa kesenjangan sosial memang dimiliki latar belakang keluarga mereka. 

"Aku nggak mau kelamaan nikah, Dy." 

Saat itu, kalimat yang Raikal berikan langsung menendang kewarasan Windy. Meski takut dengan latar belakang keluarga mereka, tapi Raikal memastikan pada Windy bahwa mereka yang menjalani pernikahan bukan keluarga mereka. Pria itu meyakinkan Windy bahwa kesenjangan sosial semacam itu hanya terdapat dalam cerita sinetron. Windy mencoba percaya dan tidak memikirkan apa pun selain bisa hidup bersama Raikal. 

Saat pertama kali dibawa ke rumah orang tua Raikal, tidak ada respon buruk. Windy hanya mendapati bahwa orang tua kekasihnya itu memang tidak suka bicara seperti yang Raikal sampaikan. Pertemuan itu menjadi pertama dan yang terakhir bagi Windy yang berstatus sebagai kekasih Raikal. Mereka menikah dan tidak ada kata-kata apa pun yang keluarga Raikal ucapkan. 

Pemikiran Windy saat itu, keluarga Raikal mungkin memang tidak bisa bergaul atau basa basi. Sikap diam dan hanya senyuman singkat adalah cara singkat mereka menjadi pihak keluarga mempelai pria di pernikahan. Tidak pernah ada yang menunjukkan kata-kata kasar, tatapan sinis, semuanya berjalan dengan Windy yang berpikir bahwa dirinya diterima dan harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan keluarga suaminya yang tidak banyak bicara. Nyatanya, Windy terlalu berbaik sangka dan mengorbankan batinnya tersiksa baik sadar ataupun tidak.

Tak perlu ditanya berapa banyak tangisan yang mengalir, Windy menyimpan banyak stok air matanya dengan baik. Namun, tak pernah dia menunjukkan terlalu banyak air mata di depan Raikal. Tersiksa dengan betapa diamnya sang ibu mertua yang sedang bercengkerama dengan teman-teman arisannya. Tersiksa dengan sikap adik Raikal yang menjauhinya seperti kutu beras. Tersiksa dengan kopi buatannya yang ditinggal dingin oleh mertua laki-lakinya dengan alasan tidak ada waktu untuk minum kopi. Semua itu sudah Windy telan baik-baik. Pikirannya hanya satu; yang terpenting dia memiliki Raikal yang menganggapnya ada. Keluarga Raikal tidak akan berani melakukan apa pun kepada Windy selama Raikal ada dan membela Windy. 

Namun, Windy mencapai masa lelahnya. Ternyata didiamkan oleh keluarga suami lebih menyesakkan ketimbang harus mendengar ucapan tak menyenangkan. Setidaknya, dengan ocehan sinis, Windy masih dianggap. Sedangkan didiamkan oleh semua anggota keluarga Raikal sama saja seperti hantu. 

Bukan berarti Windy tidak pernah berusaha untuk mengadu pada Raikal mengenai sikap keluarga pria itu. Namun, sekali kejadian yang menunjukkan reaksi sang suami membuat Windy tahu bahwa Raikal dibesarkan dengan kasih sayang penuh dan tidak suka jika ada orang lain yang menjelek-jelekkan keluarganya. Ya, Windy juga begitu. Tak suka ketika ada yang menghina keluarganya. Namun, Windy tidak seekstrem suaminya yang akan langsung kesal ketika mendengar sedikit celetukan yang membawa-bawa topik keluarga. Mungkin Windy bisa menyebut suaminya tipikal manusia 'hina aku sepuasmu tapi jangan keluargaku' yang akhirnya membuat Windy tak mau membuat pertengkaran dengan membawa-bawa keluarga pria itu. 

"Ical, aku mau cerita sesuatu boleh nggak?" 

Saat itu keduanya masih tinggal di rumah orang tua Raikal. Windy memulai kalimatnya dengan sangat pelan karena tak mau suaminya tersulut karena baru saja pulang kerja. Sedangkan Windy memutuskan resign demi menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. 

"Iya, cerita aja, Dy." 

"Keluarga kamu emang selalu diem aja, ya? Selalu tutup mulut mau apa pun yang terjadi?" tanya Windy dengan pelan. 

Sebelah alis Raikal naik dan Windy bisa menangkap sinyal negatif dari ekspresi itu. 

"Ya, mereka emang nggak banyak omong. Aku pernah bilang sama kamu, kan?" Raikal bertanya balik pada istrinya. 

"Iya, aku inget kamu pernah bilang kalo keluarga kamu emang nggak banyak omong. Tapi aku nggak tahu mereka sependiam itu." 

"Ya, emang gitu kenyataannya." Raikal memaksakan senyumnya. "Kenapa kamu kayak bilang keluargaku itu kesannya kayak patung yang nggak akan bereaksi apa-apa kalo diajak komunikasi, ya? Atau aku aja yang nangkepnya gitu? Kamu nggak terbiasa dengan keluargaku yang pendiem karena keluarga kamu yang jadi perbandingan? Ya, nggak bisa kamu samainlah, Dy. Keluarga kamu emang, kan, seneng berisik kalo keluargaku nggak gitu." 

Balasan itu sejujurnya menohok Windy. Seolah suaminya mengatakan bahwa keluarga Windy sangat berisik dan mengganggu, sedangkan keluarga pria itu adalah simbol keluarga tenang dan tidak mengganggu. Windy mengingat kembali setiap kalimat itu dan menjadikannya pembelajaran, bahwa dirinya harus membiasakan diri seperti keluarga sang suami. Karena sepertinya Raikal menyanjung tinggi suasana tenang dalam keluarga, bukan yang banyak bicara. Sejak saat itu juga Windy tak mau membahas mengenai keluarga Raikal karena tak ingin hatinya kembali sakit saat dibalas dengan kalimat yang menohok mengenai keluarga Windy yang berisik.

Windy tahu keluarganya memang sangat banyak bicara. Bahkan hal itu juga yang membuat ibu Windy lancar sekali mengatakan seluruh kalimat yang ada di kepala mengenai alasan Windy memilih bercerai dari Raikal. Wanita yang melahirkannya itu tidak sungkan membahasnya dengan panjang lebar jika saja Windy tidak menutup panggilan tersebut.

"Ibu harusnya nggak perlu bahas sampe alasan aku memilih cerai karena nggak tahan sama sikap keluarga Ical." 

Kali ini mereka memilih menggunakan panggilan video karena Raikal masih bekerja dan biasanya pulang di atas jam enam. 

"Ya nggak apa-apa! Emang dimana salahnya? Apa yang ibu katakan itu benar, kan?" balas ibu Windy dengan sengit.

Jika membahas bagaimana Windy menceritakan kegundahan hatinya, maka kemarahan sang ibu naik dengan cepat. 

"Kemarin itu ada Ical di sampingku, Bu. Dia denger ucapan ibu."

"Bagus! Biar dia tahu sekalian kalo keluarganya itu nggak menghargai kamu, mereka nggak anggap kamu ada! Mereka hancurkan kepercayaan diri kamu dengan berpura-pura nggak melihat keberadaanmu!" 

"Ibu ...."

"Didi, kamu jangan membela pria seperti itu lagi. Kamu sudah pisah dari dia, dia bukan suami kamu lagi. Ibu nggak mau kamu semakin sakit dengan tetap berada di Jakarta. Apalagi kalian masih tinggal satu rumah. Apa kata tetangga?"

Windy tidak pernah mengatakan pada ibunya bahwa tidak ada tetangga yang peduli dengan hubungan macam apa yang Windy dan Raikal punya. Alasan pertama, karena rumah yang Raikal dan Windy tempati memang eksklusif. Tetangga yang juga orang kaya tidak akan mempedulikan satu sama lain. Alasan kedua, ini adalah Jakarta yang orang-orangnya lebih mementingkan mencari uang ketimbang mengetahui urusan orang. Meski tak semua orang di Jakarta begitu, tapi lingkungan rumah Windy dan Raikal memang menjunjung tinggi ego masing-masing pemiliknya.

"Kan, kamu bengong lagi. Ibu udah bilang, nggak usah pusing soal anak. Ibu bisa ngurusin anakmu. Adikmu juga udah kerja, kita bisa makan apa adanya. Kamu nggak berubah jadi sombong hanya karena sudah menikah dengan orang kaya, kan?"

Windy menggeleng. "Makanan favoritku tetep sambel terasi, Bu."

"Bagus! Pulang secepatnya, jangan nunggu perutmu semakin besar. Kalo nggak, nanti bair ibu suruh adikmu jemput, jadi nggak perlu--"

Ucapan ibu Windy terputus saat Raikal masuk ke rumah dan langsung mencium pipi perempuan itu. Raikal tidak malu-malu untuk melakukannya meski ada ibu Windy yang menyaksikan dari panggilan video itu. Raikal justru menatap ke arah kamera dan berkata, "Eh, Bu. Apa kabar? Didi di sini alhamdulillah sehat. Kami sehat. Cucu ibu juga yang bakal lahir di sini sehat. Kami baru cek kandungan kemarin, cucu ibu gendut banget."

Windy termenung dengan sikap Raikal. Matanya seketika saja memanas. Windy masih ingat bagaimana mudahnya Raikal mengambil hati ibu perempuan itu ketika pertama kali diajak berkenalan ke kampung. Raikal sudah seperti artis terkenal yang membuat orang kampung terpana dan mengerubungi pekarangan rumah Windy. Ibunya juga sangat bangga karena akan memiliki mantu yang kualifikasinya memang didambakan banyak mertua. Namun, melihat betapa kakunya ekspresi ibu Windy ketika Raikal muncul di layar ... itu juga menyakiti Windy. 

Menyadari bahwa ibunya tak mau menanggapi ucapan Raikal dan malah mengarahkan kamera ke langit-langit rumah, Windy dengan segera menyuruh pria itu menuju kamar.

"Kamu bersih-bersih sana."

"Aku mau ngomong sama ibu--"

"Raikal," panggil Windy dengan sangat serius. Pria itu langsung terdiam dan tak bisa berkutik ketika Windy sudah dalam mode seperti ini. "Aku nggak mau mengambil tindakan gegabah yang akan disesali nantinya. Jadi, tolong. Kasih aku dan ibuku waktu bicara. Berdua."

Raikal menarik napas dalam dan mengalah. "Aku masuk dulu kalo gitu, jangan marah ke aku, ya?"

Pria itu meninggalkan ruang santai dengan mengecup kening Windy sebelum berjalan ke arah kamar pria itu sendiri. Windy menaikkan pandangan agar air matanya tidak jatuh. Ketika bersiap kembali bicara dengan ibunya, panggilan itu sudah diakhiri. Ibu marah. Sepertinya Windy harus mencari cara untuk membujuk ibunya setelah ini.

[Bab 6 sudah bisa dibaca duluan di Karyakarsa 'kataromchick', ya. Happy reading!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top