29 - MTM

Kepanikan yang melanda Windy adalah hal yang wajar. Sudah semestinya seorang anak mencemaskan orangtuanya, apalagi jika ada kabar yang kurang tidak mengenakkan hati. Berbagai spekulasi bermunculan di dalam kepala Windy. Apa penyebab dari jatuh pingsannya sang ibu? Apakah ada penyakit yang diderita oleh wanita itu tapi tidak dibagi tahu kepada Windy? Atau ada faktor lain yang menyebabkan Andari tidak bisa mengendalikan diri dan jatuh pingsan? Satu keyakinan yang Windy tangkap, ibunya pasti syok berat dengan sesuatu hingga mengalami hal seperti ini.

Selama perjalanan, Windy dan Raden tidak saling bicara. Pria itu hanya bertanya arah kemana rumah Windy dan perempuan itu akan menjawab sesuatu fakta yang ada. Windy sudah tidak memikirkan rasa tak enak hati pada Raden dalam kondisi begini. Lagi pula, yang menghendaki untuk mengantarkan Windy adalah pria itu. Jadi, bukan salah Windy jika Raden merasa sangat bosan karena tidak diajak bicara, kan?

Windy sangat fokus terhadap jalanan hingga begitu sampai di depan gerbang rumahnya, Windy meminta Raden berhenti dan perempuan itu langsung berjalan cepat untuk membuka gerbang. Tentu saja Windy ingat harus menjamu kehadiran Raden meski dalam situasi yang dianggap tak tepat sama sekali.

Meninggalkan Raden yang mungkin akan kebingungan sendiri, Windy langsung masuk ke rumah setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh tetangga Windy. Andari terlihat lemas dibaringkan di sofa dengan kepala yang sudah disangga dengan bantal.

"Ibu," panggil Windy.

Andari tidak berkata apa-apa hanya meringis karena sepertinya merasa tak enak hati sudah mengganggu jam kerja putrinya.

"Ibu kenapa bisa sampe begini?" tanya Windy panik.

"Tadi saya lihat ibu Mbak-nya diluar mau masuk rumah, tapi belum masuk udah jatuh pingsan duluan. Kebetulan saya baru pulang kerja, sedangkan nggak ada orang yang lewat. Saya bawa ibu Mbak-nya masuk sama cari hape supaya bisa hubungin nomor orang rumah. Makanya saya langsung telepon Mbak-nya tadi."

Lelaki yang menggunakan seragam salah satu pabrik itu terlihat sangat tulus membantu dan menjelaskan dari sudut pandangnya.

"Makasih banyak, ya, Mas atas bantuannya. Kalo nggak ada yang bantu ibu saya, entah gimana jadinya."

"Sama-sama, Mbak."

Tidak lama Raden masuk dengan pakaian yang tidak bisa dikatakan biasa saja. Pria itu menjadi pusat perhatian di sana.

"Oh, suami Mbak udah ada. Saya permisi aja kalo gitu, ya. Mbak bisa bawa ibunya ke rumah sakit dianter suaminya."

Kesalah pahaman itu langsung terjadi, dan Windy tidak bisa mengatakan apa pun karena tetangganya itu sudah lebih dulu mengundurkan diri dari rumah tersebut tanpa memberikan waktu pada Windy untuk menjelaskan apa pun.

Bukan hanya soal tetangganya yang salah paham, tapi juga sekarang Windy harus menjelaskan sesuatu kepada ibunya yang menatap Raden dengan tatapan bertanya-tanya. Sudah pasti Raden akan menyebabkan banyak spekulasi orang yang melihat pria itu ketika bersama Windy.

"Didi bawa siapa itu?" tanya Andari yang menggunakan nada tanya seperti bertanya pada sosok Windy kecil.

Windy menatap Raden yang tidak berniat mengatakan sesuatu dan malah melebarkan matanya pada Windy.

"Eh ... ini bos Windy di kantor, Bu."

"Bos?" Andari tentu saja langsung syok mendapati atasan Windy datang dan Andari tidak siap sama sekali untuk menyambutnya.

"Ibu— jangan bangun dulu!"

Bukan Windy yang melarang, tapi Raden. Hal itu bukan mengejutkan Andari, tapi juga Windy yang langsung membeku karena Raden dengan sigap menahan tubuh Andari supaya tidak langsung bangun dari posisi tidurnya.

Mungkin karena menyadari tatapan dari dua orang wanita secara bersamaan, Raden langsung menegapkan tubuhnya dan berdehem untuk mengusir reaksi malunya sendiri. Raden tidak terbiasa untuk menunjukkan sisi malu pada orang lain. Dia selalu menunjukkan bagian paling profesional sebagai bos; marah-marah.

"Saya ... maksud saya Anda jangan banyak bergerak. Kondisi Anda belum sepenuhnya sehat. Saya atasan Windy di kantor dan kebetulan Windy sedang melaporkan tugasnya pada saya dan ada nomor yang menghubunginya dan mengatakann ibunya pingsan. Saya mengantarkan Windy karena menunggu kendaraan umum akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Lebih baik sesegera mungkin berangkat dan kebetulan saya memang membawa mobil ke kantor. Saya antarkan Windy ke sini karena mengingat kondisinya yang sedang hamil. Jadi, Anda tidak perlu mencurigai Windy datang dengan selingkuhannya, karena saya bukan tipe pria yang suka mengambil milik orang lain."

Kalimat panjang itu bukannya membuat dua wanita itu mengangguk paham, tapi justru membuat keduanya semakin melongo dengan bibir terbuka yang jelas tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Raden.

"Apa ada yang salah?" tanya Raden karena tidak mendapat tanggapan apa-apa.

Windy terbatuk pelan sebelum akhirnya berkata, "Bapak bisa duduk dulu. Saya akan buatkan minum."

Raden tidak berniat bersikap tak sopan dengan melarang Windy membuatkan minum. Pria itu akan bertahan sebentar sebelum akhirnya kembali ke kantor dan memberikan waktu bagi Windy untuk mengurus ibunya.

Selama Windy sibuk di dapur, Andari mengamati pria dengan setelan kantor yang sangat rapi itu. Siapa pun tahu outfit kantor Raden sangatlah berkelas dan tidak biasa saja. Andari bisa mencium aroma kekayaan dari semua aksen yang melekat di tubuh Raden. Dia tidak bisa langsung mengatakan pada Raden bahwa Windy sedang tidak menjalani hubungan dengan siapa pun. Jika Andari melakukan itu, maka pria itu mungkin berpikir bahwa Andari berusaha mendekatkan Windy pada pria itu.

"Terima kasih karena sudah memberikan tumpangan kepada anak saya, Pak." Andari menyampaikan rasa terima kasihnya.

"Oh, nggak masalah. Saya nggak mau seorang anak menyesali waktu yang dipunya karena mementingkan pekerjaan ketimbang orangtua."

Andari mengernyit dengan kalimat tersebut. "Saya tidak berangkat untuk ke akhirat, Pak. Saya hanya pingsan."

Andari merasa kalimatnya biasa saja, tapi Raden menangkap bahwa Andari tersinggung dengan ucapan pria itu tadi.

"Maaf, bukannya saya mendoakan demikian. Saya hanya nggak mau Windy merasakan apa yang orang lain diluar sana rasakan, nggak punya orangtua. Ketika orangtua sudah nggak lagi ada, pekerjaan bukan satu-satunya hal yang akan terlalu sibuk untuk dicapai lagi. Tapi pekerjaan akan menjadi satu pelampiasan dari rasa kesepian."

"Itu pengalaman yang sangat menyedihkan, tapi terima kasih sudah mengatakannya pada saya. Itu akan menjadikan pengingat untuk saya bahwa harus lebih banyak lagi mengingatkan anak-anak saya untuk bisa menghabiskan waktu bersama."

Raden terlihat mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Ketika Windy akhirnya muncul dengan teh tubruk melati buatannya, Raden tidak sungkan untuk meminumnya sedikit demi sedikit. Disaat seperti itulah Windy menggunakan waktunya untuk mengurus sang ibu.

"Minum dulu teh-nya, Bu."

Semua pemandangan itu tidak luput dari pengamatan Raden. Apa yang dilihatnya saat ini membuat Raden cemburu pada Windy. Waktu yang Windy punya bersama ibunya masih sangat banyak, sedangkan Raden sudah tidak memiliki apa pun yang tersisa. Hanya penyesalan yang bisa membuat hati pria itu berkedut dan menyusut.

Raden merasa dirinya sudah tidak pernah merasakan emosi di dalam hatinya lagi, apalagi yang berhubungan dengan keluarga. Namun, melihat Windy dan ibunya, tanpa sadar membuat airmata pria itu menetes.

"Pak? Pak Raden kenapa menangis?" tanya Windy yang kebingungan.

Raden terkejut dan langsung menyentuh pipinya. Benar apa kata Windy, pria itu menangis. Kenapa? Raden juga tak mengerti kenapa dia tiba-tiba saja menangis padahal tak merasakan apa-apa.

"Ah ... mata saya perih."

Itu adalah alasan yang tidak masuk akal untuk dicerna saat ini. Namun, Raden tidak mencoba mempedulikan masuk akal atu tidaknya alasan itu. Yang sedang pria itu cerna adalah bagaimana bisa mengubah topik pembicaraan.

"Apa kamu mau membawa ibumu ke rumah sakit? Saya bisa mengantarkan kalian."

Windy menggeleng sebagai penolakan halus. "Nggak perlu, Pak. Kalau memang ibu saya mau ke rumah sakit, kami akan berangkat sendiri."

"Oke, kalau begitu. Saya pamit kembali ke kantor."

Andari mengiyakan dan Windy sudah ikut berdiri. "Bu, aku balik ke kantor—"

"Apa-apaan kamu?!"

Windy kaget karena Raden terlihat sangat marah saat menyela ucapan Windy yang ingin pamit kembali ke kantor.

"Mak-maksudnya, Pak?"

"Yang balik ke kantor itu cuma saya sendiri! Kamu di harus tetap di rumah menjaga ibu kamu!"

Windy menatap atasannya itu dengan tak percaya. "Tapi saya nggak ngurus cuti—"

"Itu urusan saya. Kamu nggak perlu pusing mengenai hal itu."

Windy tidak berani membantah lagi. Jadi, dia hanya melakukan tugas kesopanan untuk menemani atasannya itu ke depan.

"Kalau begitu saya antar Bapak ke depan, sekalian tutup gerbang rumah begitu Bapak pergi."

Raden tidak terlihat keberatan dan menatap pada Andari. "Ibu, saya permisi. Semoga lekas membaik kesehatannya."

Andari tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Pak."

Windy berjalan di belakang tubuh Raden yang lebih tinggi. Pria itu memperlambat langkahnya hingga berhenti di teras rumah Windy.

"Pak? Mobilnya masih di depan." Windy mencoba menegur pria itu.

"Kamu beruntung masih memiliki ibu," ucap Raden tiba-tiba.

"Gimana, Pak?"

"Jangan pernah sia-siakan kehadirannya. Kamu masih bisa memanfaatkan kesempatan bersama ibumu. Kamu beruntung. Nggak seperti saya."

Windy belum mencerna apa pun, tapi Raden sudah lebih dulu berjalan menuju mobilnya dan meninggalkan Windy yang kebingungan. Pria itu hanya membunyikan klakson satu kali sebelum benar-benar menghilang dari gang perumahan Windy. Ucapan itu membuat Windy kebingungan, tapi ia tak mau mengambil pusing dan menganggap draman kedatangan Raden selesai. Kini, tinggal menghadapi penjelasan apa yang akan ibunya jabarkan mengenai alasan kenapa wanita itu bisa pingsan di depan rumah. 

[Udah baca bab 40 yang bikin kalian senyum jahat, belum? Nanti aku kasih bab lanjutan yang bikin kalian menyeringai puas pokoknya. Hahaha. Dukung aku di Karyakarsa, ya. Biar makin semangat. Makasih semuanya!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top