28 - MTM
[Versi cetak kisah ini sudah habis, tapi kalian bisa baca lengkap langsung di Karyakarsa atau ebook nya, ya. Happy reading.]
Semua ibu di dunia ini selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tidak heran jika Andari juga menginginkan hal yang terbaik untuk putrinya. Meski Windy sudah begitu tua untuk selalu dicemaskan, tapi Andari akan selamanya mencemasan anak perempuannya yang dibesarkan dengan keringat dan usaha besar. Tidak perlu semua orang tahu mengenai semua usaha yang Andari keluarkan untuk membesarkan Windy sejak berada di dalam kandungan. Yang terpenting adalah, Windy akan selalu menjadi anak-anak yang akan selalu dilindungi oleh Andari.
Ketika melihat keberadaan Raikal di depan rumah putrinya, Andari sudah sangat kesal. Dia akan selalu kesal pada pria yang tidak memiliki sikap untuk melindungi keluarga kecilnya. Meski Windy memang tidak lebih berpengaruh dari segi ekonomi bagi Raikal, tapi seharusnya pria itu bisa mengerti bahwa prioritas dalam pernikahan adalah seorang istri dan anak.
Andari tidak tahu apa yang dikatakan oleh Windy pada mantan suaminya hingga akhirnya Raikal memilih pergi. Tapi itu menjadi keuntungan bagi Andari karena wanita tua itu tidak perlu sibuk mengeluarkan kemarahannya dan menghabiskan tenaga untuk itu.
Namun, malam tadi bukanlah apa-apa. Andari memang berhasil untuk menahan kemarahannya pada Raikal, tapi yang tidak Andari ketahui adalah kemarahannya diuji pada hari berikutnya. Hari dimana Andari tidak pernah berharap bisa melihat keberadaan Yagya—mantan besannya yang hampir tak pernah bicara dengannya. Wanita itu menunjukkan kemampuannya dalam soal keuangan dengan penampilan yang sangat mencolok. Blazer, celana bahan yang kainnya sangat jatuh dan bergerak dengan anggun mengikuti pemakainya, kacamata hitam, rambut yang tergelung apik, serta rias wajah yang on point mengejek Andari yang saat itu hanya menggunakan daster batik dan sedang menyiram tanaman layaknya pembantu.
Kulit kening Andari bertumpuk membentuk kerutan yang padat dan wanita itu yakin bahwa kerutan itu akan membekas dalam waktu lama mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Permisi," ucap wanita itu bagaikan orang asing yang sedang bertamu.
Mereka saling kenal, tapi cara bicara Yagya seolah tidak pernah mengenal Andari sebelumnya.
"Bu Yagya. Saya masih ingat dengan Anda, ada kepentingan apa sampai heboh ke rumah anak saya?"
Andari tidak terintimidasi dengan penampilan Yagya, justru ibu dari Windy itu menekankan kata 'heboh' untuk menyindir penampilan Yagya yang luar biasa bagaikan artis yang akan menghadiri red carpet.
"Karena kamu sudah langsung bertanya pada intinya, saya juga akan langsung pada intinya. Tolong ganti pakaianmu dan ikut saya untuk bicara."
"Saya bukan pesuruh Anda, Bu Yagya. Kalau memang mau bicara, silakan masuk ke dalam karena saya tidak pergi tanpa sepengetahuan anak saya."
Andari sebagai tuan rumah tidak akan mengalah hanya karena penampilan Yagya yang mahal itu. Dia akan tetap memimpin apa pun yang menjadi keputusannya. Orang miskin bukan berarti tidak memiliki prinsip dan sikap.
"Kenapa? Kalau keberatan lebih baik Anda pergi dari pada jadi tontonan tetangga anak saya."
Yagya sepertinya bisa membaca suasana sekitar yang memang sudah mengamatinya dengan sebelah alis menukik. Mana ada orang di perumahan itu yang berpenampilan seperti Yagya saat ini. Jadi, mau tak mau Yagya masuk ke rumah sederhana yang sekarang menjadi tempat tinggal Windy setelah keluar dari rumah putranya.
Andari hanya menyuguhkan air mineral dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan Yagya. Tentu saja air mineral itu tidak akan pernah disentuh oleh Yagya, dan Andari tidak peduli.
"Saya yakin anak saya nggak akan pernah memberitahukan alamat rumah ini kepada Anda. Mengingat hubungan kalian yang nggak seperti mertua dan menantu. Dari pada kamu dapat alamat rumah anak saya?" tanya Andari.
"Nggak harus nanya anak kamu lebih dulu untuk tahu segalanya. Saya bisa mengetahui apa pun yang saya mau."
Andari mendengkus dengan ucapan wanita kaya itu. "Terserahlah. Jadi, apa tujuan kamu dating ke sini?"
"Tujuan saya jelas dan nggak rumit. Menjauh dari anak saya dan berhenti menggunakan kehamilan sebagai alasan untuk tetap saling mengenal. Raikal sudah memiliki kehidupan sendiri, tapi kenapa kalian selalu membuat masalah?"
Andari tidak menyalak seperti anjing yang sedang marah. Justru wanita itu tertawa dengan apa yang Yagya katakan.
"Lah? Anakmu yang bermasalah, kenapa jadi kami yang dibilang membuat masalah? Coba dipikir lagi pakai otak yang bener, kamu sebagai ibu juga pasti tahu kelakuan anakmu yang memalukan. Melarang mantan istrinya pindah, selalu ngasih nafkah padahal nggak pernah anakku pakai, datang malam-malam kayak maling cari mangsa. Jangan pura-pura bodoh, Bu Yagya. Akui saja kalo kamu itu malu karena anakmu kesangkut sama anak perempuan saya yang dari kalangan bawah. Masa anak orang kaya punya selera dibawahnya? Yang bikin malu siapa? Tanpa anak saya pakai guna-guna, itu anakmu sudah mepet duluan terus, kok!"
Yagya kini terlihat kesal karena ucapan Panjang lebar Andari yang jelas mengiris harga dirinya, apalagi yang dibicarakan oleh Andari adalah putra kebanggaan Yagya.
"Orang miskin kalau bicara nggak pernah bikin nyaman telinga."
"Orang kaya juga kalo bicara nggak mikir pake otak tapi pake uang!"
Yagya berdecak. "Apa pun ucapan kamu, tolong dengarkan baik-baik. Menjauhlah dari anak saya karena saya nggak mau Raikal terus mencari anak kamu yang memanfaatkan kehamilannya itu. Kalau kamu masih punya muka, lebih baik nggak usah berpikir dua kali untuk balik ke kampung atau ke mana pun itu. Saya nggak tertarik untuk menyematkan status cucu untuk anak yang dikandung Windy. Jadi, pergilah sebelum saya menjalankan uang saya untuk membuat Anda dan anak Anda kapok mencari kesempatan memanfaatkan anak saya terus menerus."
Jika Andari harus mengatakan kejujuran saat ini, maka dadanya memang terasa panas dan penuh dengan bara api. Namun, dia masih bisa berpikir dengan benar untuk tidak membuat masalah berlarut-larut dan bisa dibawa ke meja hijau hanya karena Andari kesal dan menganiaya orang kaya seperti Yagya.
"Silakan gunakan uang Anda untuk hal yang lebih penting, Bu Yagya. Saya tidak akan berpikir dua kali untuk membuat hidup anak saya lebih damai. Dan saya bisa jamin, meskipun saya dan Windy pergi, yang akan kesulitan juga Anda sendiri. Nanti, kalua putra Anda sibuk mencari Windy dan anaknya, itu akan membuat uang Bu Yagya sangat berguna."
Andari tidak menunggu lebih lama lagi untuk mengusir Yagya dari rumah Windy. "Silakan pergi, saya rasa pembicaraan ini sudah selesai. Tidak perlu ada yang Anda katakana lagi karena seharusnya bukan anak saya yang sibuk pergi, tapi tolong atur anak kamu yang nggak tahu diri selalu mencari mantan istrinya yang miskin ini."
***
Di kantor, Windy bekerja tanpa ada firasat apa-apa. Dia menjalankan pekerjaannya dengan baik dan tidak berusaha untuk menggunakan waktu luang untuk bersantai-santai. Tria—si anak magang yang akrab dengannya selalu berpindah dari satu divisi ke divisi lain dan hanya menyapa Windy dengan lambaian tangan serta seruan kecil saja sebelum akhirnya kembali sibuk bersama mentornya di sana.
Sejujurnya Windy tidak tahu kenapa hari ini dia merasa sangat lelah. Entah karena dia mendapati Raikal yang hampir diamuk oleh ibunya, atau justru karena ada hal lain yang memang membuatnya tidak nyaman sendiri. Windy sendiri tidak ada firasat aneh karena saat dia berangkat kerja, ibunya memang terlihat sehat dan tidak keberatan di rumah sendirian. Namun, Windy tidak merasa tenang sepenuhnya hingga merasa Lelah sendiri padahal tidak banyak melakukan aktivitas berat.
"Wirindya Sari!"
Windy mendongak dan melihat Helga yang kembali memanggilnya. Ya, sekarang Windy sudah tahu nama dari wanita yang selalu diminta memanggilnya jika ada urusannya dengan Raden, bos besar mereka.
"Iya, Mbak."
"Naik ke atas, ikut saya."
Windy tidak tahu apa yang akan terjadi lagi sekarang. Sungguh dia tidak mengerti apa kesalahannya lagi sampai 'Pak Raden' memanggilnya. Terakhir kali dia berhadapan dengan pria itu adalah di lift dan tidak mendapatkan kesan yang baik. Bagaimana mau baik? Raden saja ketus sekali bersikap pada Windy.
"Udah hafal ruangannya Pak Raden, kan?" tanya Helga.
"Sudah, Mbak."
"Bagus, nanti langsung masuk jangan nunggu dibukain sama si bos."
"Iya, Mbak."
Windy akhirnya dibiarkan berjalan sendiri lagi oleh Helga menuju ruangan Raden. Dengan kode QR yang sudah ada, Windy masuk dan Raden tampak menyangga keningnya dengan tangan yang terkepal. Mendadak saja Windy merasa ingin berbalik arah karena tak mau menghadapi apa yang terjadi.
"Permisi, Pak."
"Kamu bilang sama pegawai kantor soal saya yang nulis puisi romantis dan menyebarkan kabar kalo saya ini gay??!"
Windy tertegun. Raden tidak membutuhkan basa-basi lagi hingga menyerukan kalimat yang membuat Windy sungguh bingung.
"Saya nggak menyebarkan apa pun, Pak."
"Bagaimana bisa kamu nggak menyebarkan berita apa pun, kalo semua pegawai membicarakan saya seperti itu ketika mereka menggunakan waktu luang? Kamu yang tahu soal notes itu. Dan kamu pasti menyimpulkan hal negatif tentang tulisan saya!"
Windy menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak."
"Lalu, kalo bukan kamu siapa lagi pelakunya?"
Windy yakin bahwa dia hanya menceritakan semua hal itu pada Liliana, tapi mana mungkin temannya itu menyebarkan semua it uke pegawai lain?
"Saya minta maaf sebelumnya, Pak. Tapi saya memang sempat membahasnya dengan Liliana—ehm, maksud saya Ibu Liliana. Kami menghabiskan waktu makan siang di rooftop dan membicarakan mengenai Anda dan tulisan yang Anda buat. Saya katakana bahwa saya nggak menyangka penulis puisi romantis itu adalah seorang pria dan atasan di kantor ini. Sungguh saya hanya mendiskusikannya dengan Ibu Liliana saja."
"Terus soal yang gay?" tanya Raden.
"Itu ... murni dari spekulasi saya sendiri yang saya bagi kepada Ibu Liliana. Kami teman cukup dekat, Pak. Makanya saya berani mengungkapkan spekulasi saya kepada Bu Liliana. Kalau ada yang membicarakan semua itu dan bukan saya atau Bu Liliana, kemungkinan besar ada pegawai yang saat itu mencuri dengar pembicaraan saya dan Bu Liliana."
Windy tidak berbohong dan Raden pasti bisa melihat itu.
"Saya juga mengenal Liliana, dia bukan tipe orang yang akan berteman dengan tukang bohong. Jadi—"
Drrtt drrtt
"Maaf, Pak. Ponsel saya ada yang menghubungi."
Raden menghela napasnya dan berkata, "Angkat dulu, siapa tahu penting."
Windy menggunakan kesempatan itu untuk menerima telepon yang nomornya berasal dari sang ibu.
"Assalamualaikum, Bu?"
"Mbak, ini tetangga sebelah. Ibunya pingsan, nih. Mbak bisa pulang sekarang nggak ya?"
Windy tidak bisa menutupi wajahnya yang langsung pucat karena mendapatkan kabar ini.
"Ibu saya pingsan ...?"
"Iya, Mbak. Tolong segera pulang, ini saya bingung mau bawa ibunya ke rumah sakit atau gimana."
"Saya pulang sekarang."
Windy tidak bisa tenang mendapatkan kabar ini. Begitu Kembali berhadapan dengan Raden, pria itu sudah berdiri di depannya.
"Pak ... ib—ibu saya pingsan," ucap Windy terbata.
"Saya tahu. Kamu bawa mobil?"
Windy menggelengkan kepala.
"Saya antar kamu. Nunggu kendaraan umum terlalu lama, kondisi orang tua kamu lebih penting."
Windy tidak tahu apa keputusannya benar atau tidak, tapi dia mengikuti rencana Raden karena tawaran pria itu sangat membantu. Saat ini, Windy tidak peduli dengan penilaian orang lain atau semacamnya, karena yang terpenting adalah kondisi ibunya.
[Udah baca bab 39 duluan? Siap ending dalam beberapa bab lagi, kan?]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top