27 - MTM

Kepala Raikal berdenyut-denyut ketika membuka mata. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tadi malam selain dia mengajak geng kwartet-nya untuk pergi ke salah satu pub yang tidak rusuh. Raikal tadinya hanya berniat minum satu atau dua teguk untuk membuatnya sedikit melepaskan beban akan rasa cintanya pada Windy. Namun, Raikal tidak menyangka bisa berakhir tepar begini dan terbangun dalam keadaan yang paling menyedihkan.

"Sialan, ternyata efek mabuk nggak enak banget. Tahu gitu mendingan nggak usah minum," gumam Raikal yang seolah baru menyadari efek dari alkohol yang menyebalkan.

Begitulah manusia, sudah dilarang karena banyak keburukannya malah dilakukan. Seolah tidak ada tempat untuk mengadu atas semua permasalahan yang ada hingga memilih melakukan hal negatif yang malah menambah beban saja.

Raikal berniat untuk mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Namun, niatan itu tertunda karena kedatangan tamu yang tak diundang di rumahnya.

"Raikal!" seru Yagya.

Raikal memejamkan mata sejenak dan tidak menanggapi seruan mamanya yang sudah membuka pintu kamar pria itu. Kepala Raikal semakin mau pecah dengan kalimat beruntun yang dikeluarkan oleh Yagya.

"Kamu belum siap beraktivitas? Ini udah jam berapa, Raikal? Mama kira kamu sengaja belum ada di kantor karena tahu mama akan ke sana, tapi apa yang mama lihat sekarang ini? Kamu masih sangat berantakan."

Raikal masih terdiam dan membiarkan mamanya untuk berulah. Wanita tua itu mengendus udara sekeliling kamar dan bisa menebak aroma apa yang sudah menusuk penciumannya. Dengan segera Yagya menutup lubang hidungnya dan bernapas menggunakan mulut.

"Kamu mabuk??! Astaga, Raikal!"

"Mama ngapain di sini? Aku lagi nggak mau berdebat sama mama."

Yagya menggelengkan kepalanya tak percaya dengan ucapan putranya sendiri. "Kalau mama sampai nekat masuk ke wilayah kamu, itu tandanya ada hal yang memang nggak beres. Ada hal penting yang harus mama sampaikan sama kamu."

Raikal mengangguk-anggukan kepala meminta agar mamanya menyelesaikan topik pembicaraan pagi ini secara langsung. "Yaudah, Mama mau bilang apa? Ada hal penting apa selain membicarakan Tiara dan keluarganya yang berpengaruh?"

Raikal bisa mendengar helaan napas mamanya yang sangat jelas meski sengaja menunduk memegangi kepalanya yang sakit. Yagya tampaknya sudah sangat frustrasi dengan sikap putranya yang semakin hari semakin kacau.

"Mama nggak akan bicara dengan kamu yang belum bersih. Mama nggak mau bicara sama orang yang masih dalam pengaruh alkohol."

"Aku udah sadar sepenuhnya, Ma. Kepalaku cuma sakit karena minum semalam."

"Itu efeknya, karena kamu nekat minum alkohol. Jangan-jangan kamu minum di tempat umum? Gimana kalau ada yang merekam kamu? Nama kamu lagi melejit dan dicari orang-orang yang penasaran karena pemberitaan kamu dan Tiara. Kamu bisa menyebabkan masalah kalau—"

"Mama mendingan tunggu diluar, aku akan mandi dan setelah itu bicara sama mama."

Sadar bahwa itu adalah kalimat pengusiran, Yagya akhirnya memilih keluar dan menunggu sesuai instruksi putranya. Apa yang bisa dilakukan Yagya selain menunggu? Lebih baik memang menantikan anaknya rapi dan kembali dalam keadaan sadar yang baik ketimbang menceramahi Raikal yang belum beranjak dari tempat tidur.

Sepeninggal mamanya, Raikal berdecak keras dan tidak langsung turun dari tempat tidur. Dia ingin mengumpulkan kesadarannya lebih dulu dan meraih semangatnya kembali untuk menjalani hari ini. Raikal akan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit untuk bisa bicara dengan mamanya yang banyak sekali permintaannya.

"Haaah! Habis ini masalah apa lagi yang bakalan dateng?"

***

Yagya melihat sekeliling. Rumah yang putranya tempati itu terlihat sangat sepi. Padahal Yagya ingin tahu keberadaan perempuan yang sudah membuat Raikal tergila-gila. Yagya ingin tahu seperti apa penampilan Windy sekarang ini, sebab terakhir kali bertemu dengan mantan menantunya itu adalah saat Raikal memboyong sang istri pindah dari rumah Yagya.

Hubungannya dan Windy memang tidak baik karena sudah jelas Windy tidak masuk dalam kriteria yang Yagya dan suami inginkan. Mendengar kabar kehamilan Windy juga tidak membuat Yagya bahagia. Justru menurut Yagya hal itu malah akan semakin menghambat langkah Raikal untuk bisa maju dengan segala usaha yang putranya itu punya. Anak dari Windy hanya akan membuat Raikal semakin mencurahkan perhatian pada makhluk kecil yang kemungkinan besar tidak akan Yagya sukai karena dilahirkan oleh Windy.

Jangan salahkan Yagya, karena rasa tak suka itu datang akibat Windy yang terlalu lancang masuk dalam hidup Raikal. Harusnya perempuan itu memastikan lebih dulu seperti apa keluarga yang Raikal punya, bukan hanya asal datang dan tidak mempedulikan apa yang dibutuhkan oleh keluarga Raikal. Harusnya Windy masih bersyukur karena Yagya tidak mencampuri apa pun selama Windy menikah dengan Raikal. Memang Yagya tidak berniat dekat dengan Windy yang saat itu masih berstatus sebagai menantunya, tapi juga tidak berniat mengganggu. Jika Windy tersiksa dengan sikap Yagya yang tak berniat mengganggu, apakah itu salah Yagya?

Memikirkannya saja membuat Yagya muak dan kesal. Perempuan macam apa yang sibuk melemparkan kesalahan pada pihak lain? Jika tak suka, ya, sudah pergi saja. Kenapa harus menghabiskan waktu lima tahun untuk akhirnya pergi dan sadar diri bahwa Windy adalah bagian yang tidak diharapkan oleh keluarga Raikal?

Jika hanya mengandalkan cinta, Yagya sudah lebih dulu berpengalaman bahwa rasa cinta tidak akan bertahan lama. Bagi Yagya, mantan menantunya memang perempuan bodoh saja karena mengira cinta bisa bertahan selamanya dan bisa mengubah sikap seseorang. Padahal tidak! Lebih bodoh lagi karena Windy tidak mengharapkan apa-apa dari Raikal yang kaya raya. Dari sana, sudah jelas bahwa Windy bukanlah perempuan yang memiliki tujuan jelas.

Pintu kamar Raikal terdengr terbuka dan menunjukkan tubuh tegap putra Yagya itu. Raikal sudah menggunakan jas rapi dengan rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa. Kali ini Yagya puas dengan penampilan anaknya yang sudah benar-benar menunjukkan sisi pemimpinnya.

"Mama mau ngomong apa? Langsung aja sekarang, aku mau ke kantor."

"Mana istri kamu? Mama mau bicara juga sama dia."

"Nggak ada, udah pindah."

Yagya tidak tahu harus bersyukur atau tidak dengan hal ini. Namun, wanita tua itu tetap fokus pada tujuannya untuk mempengaruhi anaknya lebih dulu.

"Kamu tahu Ara sakit dan malah bersikap santai begini."

Raikal terlihat tidak suka dengan ucapan mamanya. "Loh? Memangnya aku harus nggak santai? Untuk alasan apa? Aku bukan siapa-siapanya Tiara lagi, hubungan kami udah lama selesai. Dia aja yang nggak bisa move on sampai bikin drama luar biasa begini."

"Apa pun yang dia lakukan, itu karena dia merasa hanya kamu yang pantas menjadi pasangannya."

"Tapi aku nggak, Ma."

Yagya menarik napas dalam-dalam sebelum memulai kalimatnya lagi.

"Kenapa kamu nggak bisa bersikap realistis? Pernikahan bukan hanya tentang cinta, Raikal. Kamu harus memikirkan masa depan."

"Masa depannya siapa yang Mama maksud?"

"Tentu aja masa depan kamu—"

"Masa depan mama dan papa yang nggak mau kehilangan apa pun."

Perdebatan itu sebenarnya melukai Yagya dan Raikal, tapi mereka tidak bisa keluar dari lingkaran ini. Berdebat dan terus berdebat tanpa ada yang mau mengalah, itulah lingkaran mereka saat ini.

"Kalau papa dan mama memiliki masa depan yang bagus, kamu juga akan begitu. Anak-anakmu kelak juga akan begitu. Kenapa kamu malah sibuk ingin menurunkan kelas yang kamu punya? Kamu bisa mencintai banyak wanita, tapi kamu akan hidup dengan yang realistis saja."

Raikal menggeleng tak percaya dengan ucapan mamanya. Pria itu memilih untuk mengabaikan ucapan Yagya dan pergi menuju dapur.

"Raikal, mama sangat serius. Cobalah jalani dengan Ara, perjodohan nggak selamanya buruk."

Raikal memilih tidak menanggapi ucapan mamanya hingga pria itu berpamitan untuk pergi ke kantor, meninggalkan Yagya yang kembali gagal untuk mempengaruhi Raikal.

***

Sudah payah sekali Raikal menjalani hari. Bangun telat bersama dengan rasa pusing, berangkat ke kantor juga terlambat dengan banyak tugas yang tidak berjalan baik, jadi dia hanya punya satu tujuan untuk bisa menjalani hari dengan benar; menemui Windy.

Raikal tahu dia akan menyebabkan banyak masalah dengan datang tanpa peduli dengan respon yang akan mantan mertuanya berikan. Sejujurnya, Raikal sangat peduli dengan respon apa yang akan Andari tunjukkan begitu mendapati Raikal datang, tapi sungguh pria itu tidak bisa menahan diri untuk menemui Windy. Dia merindukan mantan istrinya itu hingga menebalkan muka meski nantinya akan berisiko diusir oleh mantan mertuanya.

Raikal tahu dirinya hanya memiliki satu nyawa yang tidak bisa dibandingkan dengan kucing, tapi disinilah dia sekarang. Keras kepala memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah Windy dan berusaha untuk masuk ke rumah mantan istrinya. Untung saja gerbang belum dikunci hingga Raikal bisa masuk dan menekan bel rumah agar penghuni di dalam bisa tahu bahwa ada tamu yang ingin datang bertandang.

Degup jantung Raikal bertalu keras, dia menunggu agak lama karena orang di dalam tidak kunjung membukakan pintu. Lalu, gerakan Raikal sekali lagi memencet bel diakhiri dengan seseorang yang berbicara di belakang tubuhnya.

"Nggak ada orangnya di dalam, karena yang punya baru balik dari minimarket!"

Tubuh Raikal membeku, dia masih ingat betul suara dari mantan mertuanya. Jadi, dia sulit menentukan apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini.

"Ngapain kamu?" tanya Andari begitu Raikal berbalik badan.

Tatapan Raikal terpatri pada Andari sebelum akhirnya menatap Windy yang terlihat sama bingungnya.

"Ibu." Raikal berniat mencium tangan Andari tapi wanita itu langsung menepis.

"Pergi dari sini!"

Belum apa-apa Raikal sudah diusir, rupanya memang dia sedang tidak beruntung hari ini.

"Ibu, saya mau—"

"Saya bukan ibu kamu. Dan segera kamu pergi dari sini sebelum tetangga malah keluar karena keributan yang kamu buat ini."

Raikal menatap Windy berharap bisa mendapatkan bantuan.

"Bu, biar aku yang suruh Ical pulang. Ibu masuk aja ke dalam duluan, ya."

Andari semula berniat tak setuju, tapi karena putrinya yang meminta akhirnya wanita itu memilih masuk dan mengabaikan Raikal.

"Kamu ngapain ke sini?"

"Aku ... mau ketemu kamu, Dy."

"Aku, kan, udah bilang aku nggak akan kenapa-napa. Aku udah dijagain sama ibu."

"Tapi aku kangen, Dy."

Windy menepuk jidatnya sebelum mengatakan kalimat yang membuat Raikal semakin patah semangat.

"Mulai sekarang kamu harus terbiasa untuk melupakan rasa kangen kamu. Kalo kamu mau ketemu aku, telepon aku dulu dan kita ketemuan hanya untuk memastikan bayi kita baik-baik aja. Aku akan ajak kamu periksa ke dokter kandungan, selebihnya nggak ada jadwal ketemuan tanpa alasan jelas. Sekarang, kamu bisa pulang, Cal."

Hah, Tuhan. Kenapa harus semiris ini nasib cinta saya? 

[Udah baca bab 38? Aku jamin kalian bakalan suka, sih. Bentar lagi kisah Windy dan Raikal juga kayaknya end. Aku nggak jual versi cetak atau e-book, ya. Pokoknya cuma bisa ditemukan di akun karyakarsa aku aja.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top