26 - MTM
[Baca sampai tamat langsung ke Karyakarsa'kataromchick'. Happy reading 💞]
Windy sudah menjalani banyak fase kehidupan, meski tak seperti banyak orang diluaran sana, Windy paham bahwa jalan kehidupannya memiliki makna tersendiri. Tidak selalu sempurna, dan banyak kesalahan dirinya lakukan. Evaluasi dari setiap tindakannya yang sudah diambil tentu saja terjadi setelah segalanya terlewati. Windy bahkan memiliki pandangan bahwa dirinya terlalu cepat dan gegabah dalam menyikapi perasaannya sendiri terhadap respon keluarga Raikal atas kehadiran Windy sebagai anggota baru yang tidak diterima dengan tangan terbuka.
Windy tahu, kok, bahwa ucapan Liliana ada benarnya. Bahwa seharusnya Windy bisa menjadi pribadi yang lebih tidak peduli dengan perilaku orang lain, khususnya keluarga Raikal. Windy harusnya bisa mengesampingkan semua sikap keluarga Raikal dan menempatkan perasaannya sendiri pada tempat yang paling aman agar tidak merusak hubungannya dan Raikal. Sayangnya, Windy adalah Windy. Dia bukan Liliana yang memiliki segudang kekuatan berlebih. Windy bukan seperti apa yang orang lain katakan, dan Windy bukan apa yang orang lain inginkan.
Semua kelebihan dan kekurangannya, itu adalah bagian dari dalam diri yang tidak akan dimiliki orang lain dan tidak akan bisa diharapkan terjadi ada dalam diri Windy begitu saja. Masing-masing orang memiliki kehidupannya dan kepribadiannya sendiri sejak lahir. Maka bagi Windy, sudah sewajarnya mengambil jalan gegabah dengan tidak mementingkan perasaannya lagi yang masih ada untuk Raikal, dan tidak menjadikan kehamilannya untuk kembali pada Raikal. Sebab Windy ingin mengamankan perasaannya yang terlalu sensitif itu dengan cara berpisah secara utuh dari Raikal yang otomatis memutus kabar mengenai kabar keluarga mantan suaminya juga.
Sebenarnya, Windy bisa mengatakan bahwa kepribadiannya sudah terbentuk sejak dikandung oleh ibunya—Andari, yang memang sudah terbiasa menempatkan perasaan di tempat paling tinggi dibandingkan apa pun. Perasaan itulah yang membentuk Windy juga seperti sekarang, apa pun masalahnya akan terus dipikirkan dan dirasa hingga menyakiti diri sendiri. Walau sebenarnya Windy bisa menyalahkan keluarga Raikal karena memang sikap mama, papa, dan Raikal tidak ada yang bisa dibela. Namun, Windy tidak ingin menjadi anak-anak yang suka melemparkan permasalahan pada orang lain sepenuhnya. Ini adalah masalah Windy dan sudah sewajarnya jika Windy disalahkan.
Namun, Windy bersyukur karena dia memiliki ibu yang tidak suka menyalahkannya dalam keadaan apa pun. Mungkin terkesan membanggakan anak, tapi Andari memang berusaha membuat kepercayaan diri anak-anaknya terus tinggi dengan cara membanggakan mereka. Tentu saja, jika anak-anaknya melakukan kesalahan yang menyakiti orang lain secara berlebihan akan memberikan hukuman yang setimpal, tapi Andari adalah cerminan ibu yang kuat dan tahu cara menguatkan anak-anaknya di posisi pertama.
Andari adalah orang pertama yang mendengar tangisan Windy yang cengeng karena tak mampu mempertahankan diri di keluarga Raikal. Jelas saja Windy tak sanggup berada di sekeliling keluarga pria itu, karena Windy tak pernah masuk dalam lingkarannya. Windy hanya ada di sekeliling tanpa bisa masuk karena tak pernah diterima. Andari adalah orang pertama yang menguatkan Windy dan memberikan pencerahan bahwa Windy tidak dilahirkan untuk menyakiti diri sendiri dengan terus menerus berada di lingkungan yang akan menghancurkan mental Windy.
Sebagai seorang ibu, Andari selalu ada di urutan pertama bagi Windy untuk berkeluh kesah. Meski semakin dewasa, Windy tidak bisa begitu saja membagi cerita seenaknya tanpa menyaring dan mencoba menahannya lebih dulu, tapi Andari akan selalu menjadi yang pertama mendengar kesakitan yang Windy rasakan.
Sama seperti sekarang, Andari menjadi orang pertama yang tidak perlu menanyakan apakah Windy kesulitan hidup sendirian atau tidak. Wanita itu langsung meminya dipesankan tiket pesawat, datang dengan ponsel pintar yang memesan kendaraan online sendiri. Tiba-tiba saja sudah datang dengan senyuman di depan gerbang rumah Windy.
"Kenapa Ibu keras kepala banget, sih? Aku bilang aku ambil cuti buat Ibu hari ini, tapi Ibu nggak menghubungi aku sama sekali. Aku mana bisa tahu dimana posisi Ibu kalo nggak dikasih tahu dengan jelas? Aku jadi anak kesannya nggak berguna banget gitu, loh."
Andari dengan cepat mengibaskan tangannya dan mengambil tempat duduk setelah masuk ke ruang tamu rumah putrinya yang baru.
"Jangan lebay! Kamu lagi hamil begitu, jangan sampe kecapekan."
Pandangan Andari mengamati sekeliling. Ini rumah yang sudah masuk kategori besar ketimbang rumah Andari di kampung. Wanita tua itu tidak bisa membayangkan sebesar apa rumah mantan suami putrinya karena melihat rumah yang disewa putrinya sekarang saja sudah membuat takjub.
"Rumah ini gede banget, Di."
"Masa? Ini kecil kalo dibandingin sama rumahnya Ical, Bu."
Andari berdecak. "Ya, iyalah! Rumah mantan suamimu itu, kan, rumah sultan. Itu yang jadi alasan kenapa ibu nggak mau untuk datang ke Jakarta sekalipun kamu dan suamimu jemput dulu."
Windy tidak pernah mendengar alasan sebenarnya kenapa ibunya tak mau datang ke Jakarta semasa dulu Windy masih menjadi istri Raikal. Sekarang, dia bisa mendengarnya sendiri bahwa Andari keberatan dengan rumah besar yang dimiliki Raikal.
"Ibu minder sama rumahnya Ical?"
"Bukan cuma soal rumah. Lebih tepatnya, ibu nggak mau dinilai menggilai harta menantu. Ibu senang kamu mendapatkan pria mapan dan ibu mengira kamu bisa merdeka dengan kehidupan yang dikasih suamimu saat itu. Ibu senang dapet menantu kaya, tapi ya senangnya cuma sebatas bersyukur karena anak ibu bisa hidup enak. Kalo ibu sendiri, sih, nggak perlu hidup enak orang tinggal matinya aja."
"Ibu! Kenapa ngomongnya begitu, sih?"
"Kenyataannya begitu, Di."
Windy tidak pernah mengatakan secara langsung bahwa dia sangat mengagumi ibunya yang kuat dan memiliki prinsip teguh. Tidak perlu banyak orang tahu mengenai pemikiran yang Andari punya, tapi akhirnya Windy tahu seberapa jauh pikiran ibunya menimbang suatu keputusan.
"Aku kira Ibu nggak mau ke Jakarta itu karena nggak mau dinilai katrok. Tapi ternyata alasannya lebih dalem dari pada itu."
"Ya, itu udah masa lalu. Sekarang kamu sudah pisah dari pria yang nggak bisa meneguhkan dirinya sendiri. Jadi, ibu nggak punya alasan untuk nggak mau ke sini lagi. Yang terpenting sekarang adalah ibu mau menemani kamu dan memastikan cucu ibu lahir dengan sehat. Ibu nggak bisa bayangin kamu bangun malam-malam terus air ketubanmu pecah tanpa ada yang tahu. Ibu juga nggak tega kalo sampe kamu yang abru lahiran harus banyak gerak buat mandiin anakmu, gantiin baju anakmu, nyeri yang kamu rasain bisa berkali-kali lipat nantinya jadi ibu harus ada di sinni buat memastikan kamu nggak terlalu kesusahan."
Windy tersenyum karena ibunya memang sangat peka dengan semua yang Windy juga pikirkan. Jika dia masih mengandalkan Raikal, maka mantan suaminya itu akan mencari pengasuh bahkan sebelum anak mereka lahir. Sekarang Windy tak perlu mengandalkan pria itu dan bisa hidup dengan lebih tenang karena tak merasa hutang budi.
"Kopernya Ibu sini! Aku bawa masuk ke kamar."
Andari menggeser koper yang masih berada di depannya. Tanpa bicara apa pu Andari membiarkan putrinya melakukan tugas tersebut.
"Aku tadi udah masak, Bu. Mau makan sekarang?" tanya Windy yang sudah keluar dari kamar yang akan ditempati Andari.
"Nggak. Ibu mau tidur sebentar, habis itu mandi, baru makan. Ibu capek banget rasanya. Badan kalo udah tua begini, baru beberapa jam aja udah capek luar biasa."
Windy tidak ingin menyulitkan ibunya, tapi keadaan membawanya untuk tetap menjalani kehidupan yang seperti ini. Windy berdoa semoga saja ibunya bisa semakin bugar jika sudah melihat cucunya nanti.
***
Yagya yang sejatinya adalah orang yang lebih tua, mau tak mau tetap yang bergerak untuk melihat keadaan Tiara. Menurut informasi yang didapatkannya, Tiara jatuh sakit setelah mendapatkan penolakan secara keras oleh Raikal beberapa hari lalu.
"Tante!" panggil Tiara yang terlihat begitu lemas.
"Hai, Ara. Ya, ampun. Maafin tante karena baru datang sekarang, ya. Tante baru tahu soal kamu yang masuk rumah sakit."
Tiara menggelengkan kepalanya dengan dramatis. "Nggak, kok, Tante. Makasih udah mau datang ke sini buat jenguk aku."
"Ara ... maaf, ya. Karena sikap Raikal kamu jadi sakit begini. Tante nggak nyangka Raikal akan melakukan semacam itu. Padahal selama tante mengenal anak tante sendiri, Raikal nggak pernah kasar ke perempuan."
Tiara memasang wajah penuh kesedihan. Seolah membicarakan Raikal akan membangkitkan rasa sedihnya yang tak berkesudahan.
"Dia belum bisa melupakan mantan istrinya, Tante. Nggak ada yang bisa melepaskan Raikal dari bayang-bayang wanita itu. Aku yang salah karena masuk dalam kehidupan Raikal yang masih belum move on dari mantan istrinya."
Sebagai seseorang yang tidak ingin terlalu banyak mencampuri urusan hidup anaknya Yagya kesulitan untuk membela siapa. Posisinya tentu saja harus netral agar tidak salah mengambil tindakan. Bagaimana pun Yagya sangat menyayangi Raikal hingga tak mau terlalu memaksakan kehendak. Ketimbang memaksa putranya sendiri, Yagya lebih memilih untuk memaksa perempuan yang menyihir putranya saja untuk pergi.
"Maaf karena tante masih belum bisa juga membuat Raikal mengerti bahwa kamu bisa menjadi pasangan untuk dia. Raikal sepertinya membutuhkan waktu lebih banyak untuk menentukan arah hidupnya yang baru. Apalagi sekarang dia akan menyambut kehadiran anaknya, sudah pasti masih sulit memastikan Raikal bisa membuka pintu hatinya lagi. Tante hanya bisa berharap kamu nggak putus asa dengan apa pun yang berhubungan dengan Raikal."
Tiara menghela napasnya dan menatap Yagya dengan airmata yang akan keluar. "Aku berusaha untuk menunggu Raikal, Tante. Karena bagiku cuma dia yang pantas jadi pasanganku."
Dan bagi Yagya yang pantas menjadi besannya memang Tiara. Jika ada kandidat lain, maka itu adalah keluarga yang lebih kaya dan lebih berpengaruh ketimbang keluarga perempuan itu. Sejauh ini, jika nantinya Raikal bisa menemukan wanita yang lebih dari Tiara, mungkin Yagya akan melihat peluang yang lebih baik itu. Namun, jika Raikal tidak bisa menemukan wanita berkelas, maka Tiara adalah pilihan terakhir karena bersedia menunggu Raikal dan bisa berpengaruh pada bisnis suami Yagya.
"Jangan pikirkan Raikal untuk beberapa waktu ini, Ara. Kamu harus fokus pada kesembuhan kamu lebih dulu. Jangan patah semangat karena tanta tahu kamu adalah perempuan yang nggak akan mudah menyerah."
Sepertinya Yagya sudah terlalu dalam masuk kubangan materi hingga dia yakin bahwa cinta tidak akan ada jika bukan uang dan kekuasaan yang bicara.
[Bab 37 sudah uppp! Bab 38 ada yang mau tatap-tatapan, sih. Siap nggak? Happy reading! Eh, aku mau kasih ucapan terima kasih lagi buat yang rajin kasih tips. Love youuu.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top