25 - MTM

Raikal tidak bisa merasa lega dengan waktu yang sudah semakin menipis bersama Windy. Tiba-tiba saja sudah waktunya untuk pergi dan Raikal tidak bisa menumpang lebih lama di sana. Apalagi satu persatu orang pergi dan tidak mempedulikan Raikal yang kebingungan untuk mencari alasan agar bisa lebih lama bersama Windy. Liliana dan Nawasena juga sudah lebih dulu pamit karena memiliki acara keluarga sendiri setelah ini. Raikal benar-benar frustrasi dengan situasi semacam ini. 

"Kamu belum mau pulang?" tanya Windy.

"Hm? Pulang?"

Windy mengangguk. "Iya, pulang."

"Sekarang?"

Kali ini Windy mengerutkan keningnya. "Ya ... emangnya mau kapan?"

Mereka seperti pasangan kekasih yang sedang berusaha untuk tidak linglung tapi malah terlihat bodoh. Percakapan mereka ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal untuk dilakukan. Pertanyaan dan jawaban keduanya tidak bermutu sama sekali, dan itu menjelaskan betapa mereka ada dalam situasi paling canggung yang pernah ada. 

Raikal menggaruk alisnya yang sejujurnya tidak gatal sama sekali, tapi haya itu yang bisa dilakukannya untuk bisa meredam rasa malu dan kebingungan yang menyapa. 

"Aku boleh minta makan di sini dulu?" tanya Raikal kembali mencoba peruntungan untuk tidak diusir Windy. 

"Makan? Aku bahkan nggak sanggup bikin makanan buat aku sendiri."

"Kalo gitu biar aku yang pesenin!"

Raikal dengan cepat beranjak dari tempat duduknya dan mengambil ponsel untuk melihat-lihat makanan yang akan dibeli melalui aplikasi. Pria itu memang sengaja menjauh karena Windy hampir menolak usulan tersebut. Sayangnya Raikal langsung kabur dan buru-buru meng-klik makanan dari restoran mana saja yang bisa segera diproses. Raikal bisa menggunakan alasan bahwa makanan yang dipesannya sudah terlanjur diterima oleh restoran jika Windy mengatakan agar Raikal tidak perlu melakukannya.

Kini Raikal berada di ruang taman kecil yang ada di samping rumah dan duduk di kursi sendirian. Dia menghela napas berat karena merasakan kegiatan hari ini tidak bisa dipercayai begitu saja. 

"Cepet banget dia pindah. Padahal harusnya kita bisa bareng-bareng sampe bayinya lahir."

Raikal sungguh menginginkan keluarga kecil yang normal. Dia tidak suka untuk berjauhan dari Windy dan bayi yang ada di dalam perut perempuan itu. Yang paling utama adalah, Raikal tak suka merasakan kecemasan secara berlebihan pada kondisi Windy dan bayi mereka. Di rumah itu Windy sendirian, bagaimana jika tidak ada yang tahu apa saja yang terjadi dengan Windy dan kandungannya?

"Apa gue bisa pake alasan itu buat bikin dia mikir ulang untuk tinggal sendiri?" tanya Raikal pada dirinya sendiri. Pria itu sudah seperti orang stres karena tidak bisa menguasai pemikirannya untuk tidak terus menerus menempel pada Windy. 

Rupanya, cinta yang Raikal miliki untuk Windy memang luar biasa besar. Padahal usia pacaran mereka tidaklah lama. Raikal juga tidak pernah berpikir bahwa Windy adalah perempuan yang banyak kurangnya setelah menikah. Sejujurnya mereka adalah pasangan yang memang memiliki kecocokan dan tidak banyak permasalahan satu sama lain. Namun, permasalahan itu datangnya dari luar, yaitu keluarga Raikal sendiri. 

Raikal memejamkan mata untuk menenangkan diri. Dia harus bisa bersikap tenang supaya Windy juga tidak akan tersulut amarah jika Raikal membahas mengenai kondisi perempuan itu yang tinggal sendirian ditengah kehamilan. Ya, Raikal harus untuk membicarakannya meski barang-barang di rumah itu sudah diisi dan dirapikan. 

"Cal, makanannya udah dateng. Katanya mau makan dulu disini? Cepetan!"

Raikal menoleh pada Windy yang memanggilnya. "Udah? Gimana bisa? Perasaan--" 

Dengan cepat pria itu membuka ponselnya dan memang notifikasi yang masuk sudah menyatakan bahwa pesanan diantar dengan aman. Lagi pula, Raikal sudah membayarnya melalu aplikasi tersebut. Pantas saja kurir yang mengantar makanan tidak repot-repot menelepon nomor Raikal. 

"Tuh, kan! Kamu dari tadi ngantuk apa gimana? Makanan udah sampe malah nggak buka hape. Udah buruan masuk, kita makan bareng."

Raikal tidak ingin menolak lagi, dia mengikuti langkah Windy dan mereka berdua makan bersama dalam sunyi. Semenjak pagi, Windy memang sudah semakin mengabaikan Raikal entah untuk alasan apa. Meski Windy mengatakan tidak marah, tapi Raikal merasa bahwa perlakuan perempuan itu memang seperti orang yang sedang marah. Mungkin memang Windy tidak marah, tapi Raikal juga penasaran kenapa dirinya diperlakukan dengan abai. 

Disaat makanan di piring Raikal sudah akan habis, pria itu memulai dengan kalimat pelan. "Sejujurnya aku mau ngomong sesuatu ke kamu, Dy."

Ucapan yang Raikal mulai membuat Windy menoleh dengan kunyahan yang menjadi pelan. Perempuan itu sepertinya sedang meraba-raba apa topik pembicaraan yang akan mantan suaminya bahas.

"Ngomong aja, Cal."

"Aku cemas biarin kamu tinggal sendirian dalamm kondisi hamil. Aku sebenernya mau nawarin kamu untuk tinggal di rumah sementara waktu sampai--"

"Maaf karena aku potong ucapan kamu, tapi besok ibuku udah di sini, kok. Ibu akan nemenin aku."

Raikal cukup terkejut dengan penjelasan yang Windy berikan. Setahu Raikal, mantan ibu mertuanya itu tidak mau menginjak kaki di Jakarta, sudah sejak awal mantan mertuanya itu tidak tertarik tinggal di Jakarta karena memang tidak membuat wanita itu cocok. Hebat sekali sekarang Raikal mendengar kabar ibu Windy akan menemani putrinya di Jakarta entah untuk waktu berapa lama.

"Ibu mau ke Jakarta? Serius?"

Windy mengangguk dan Raikal merasakan kekecewaan ditengah rasa leganya yang muncul sedikit. 

"Ibu siap nemenin aku karena, ya ... sama seperti yang kamu cemaskan. Aku dan kehamilanku. Jadi mulai sekarang kamu nggak perlu takut dengan kondisiku, aku akan dijagain ibu."

Itu artinya gue nggak ada kesempatan dateng ke sini. 

Raikal sepertinya memang harus bersabar dan harus mampu menahan diri untuk tidak sering datang ke rumah Windy, karena mantan ibu mertuanya pasti sudah muak melihat wajahnya. kemarahan ibu Windy akan naik jika melihat Raikal. Nasib lu, Rai! Bakal dihambat mantan ibu mertua. 

*** 

Pada akhirnya, Raikal mengajak teman-teman akrabnya untuk menemani masa kesedihan yang menimpa relung jiwanya. Derek, Gutama, dan Bantara menjadi satu-satunya orang-orang yang bisa membantu Raikal tetap waras meski sedang tak ingin sadar lagi dengan apa yang menimpanya. 

"Nyebut, Rai. Kacau banget lu malem ini."

Derek yang memang sudah menikah adalah satu-satunya orang diantara ketiga teman Raikal yang paling bisa memahami posisi Raikal saat ini. Derek paling paham bagaimana rasanya jauh dari perempuan yang dicintai, apalagi masih dianggap sebagai istri. Siapa yang tidak akan hancur hatinya mendapati semua ini? Kenyataan dimana pasangan harus terpisahkan karena adanya ketidaksetaraan antara keluarga istri dan suami. 

"Lu enak, Rek. Bini lu nggak jauh-jauh dari standar keluarga. Gue??? Pertentangannya kenceng banget! Meskipun bisa aja diterobos, tapi nyakitin hati perempuan yang gue cinta."

Gutama dan Bantara tidak banyak bicara, ini adalah urusan dua pria yang memutuskan menikah dan akhirnya ada saja luka yang melubangi hati. 

Jika Gutama bicara, mungkin dia akan mengatakan bahwa harusnya Raikal tidak buru-buru mengajak seorang wanita menikah tanpa memikirkan kemungkinan level yang bentrok. Sedangkan Bantara, sudah pasti akan menghakimi dengan mengatakan 'Gue bilang juga nggak usah nikah!' 

Satu-satunya yang bisa memberikan masukan yang ramah lingkungan alias netral saja, ya, hanya Derek. 

"Gue sama bini juga pasti punya konflik yang nggak mudah diselesaikan, Rai. Tapi bini gue emang orangnya lebih keras kepala dari bini lu. Windy mungkin memang tipe yang nggak kuat kalo harus hidup berdampingan sama keluarga lu yang kaya dan maunya punya mantu berpengaruh. Mungkin kalo dia bisa sedikit lebih bisa bodo amat, kejadiannya bakalan beda."

"Masing-masing orang, kan, beda sifatnya. Kalo bininya Tirex, sih, nggak usah diragukan lagi tahan bantingnya. Bahkan ngadepin Tirex yang mainnya gila aja sanggup." Gutama memberikan opini tambahan.

"Anjing! Kenapa bahas masalah ranjang gue, sih, Tam?!" protes Derek. 

Raikal meneguk minumannya lagi dan berharap kesadarannya hilang dan masalah bisa ikut menghilang dengan semua ini. Dia pusing mendengarkan banyak ucapan yang masuk ke telinga. Lebih baik jika Raikal tidak memikirkan apa-apa dan menjalani hidup yang dia mau saja. 

"Gue ... mau nyerah aja. Kira-kira kalo gue nabrakin diri orangtua gue bakalan ngalah nggak?"

Ketiga teman Raikal saling bertatap-tatapan sebelum akhirnya mengambil tugas masing-masing untuk menyelesaikan acara kumpul yang hanya melihat Raikal mabuk. Derek dan Gutama menarik Raikal pergi dan Bantara yang menyelesaikan pembayaran dengan kartu unlimited milik Derek. 

"Udah ngaco, udah ngaco! Bawa pulang, nih, bocah, Tam!"

Malam ini Raikal hanya semakin kacau dengan bantuan alkohol. Jika ketiga temannya tidak menahan diri dan menjadi pihak yang sadar, mereka semua tidak bisa pulang dengan benar dan malah ikut-ikutan Raikal yang sedang kalut. Untung saja mereka memang sengaja datang hanya untuk mendengarkan dan menemani Raikal yang sedang sedih. Raikal dan kehidupannya memang sedang menjadi pusat perhatian saat ini. Mungkin nanti, keadaan akan berubah hingga bukan Raikal lagi yang menghabiskan banyak alkohol dengan kekalutan masalah hidup. 

[Bab 36 udah up di Karyakarsa, ya. Kita ketemu Raikal tapi dlm kondisi baru. Selamat membaca💕]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top