24 - MTM

Jika saja manusia bisa menentukan jalan ceritanya sendiri tanpa keputusan Yang Maha Kuasa, maka Windy sudah akan menentukan hal-hal yang baik saja untuk ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya. Namun, jika dia hanya menemukan hal-hal yang baik, mungkin pandangan hidupnya tidak akan cukup banyak dan baik. Windy tidak akan bisa memberikan pandangan yang positif terhadap pilihan orang lain, Windy hanya akan sibuk menghujat tanpa mencoba melihat dari kacamata yang lain. 

Windy yakin kehidupan yang dijalaninya kini sudah menjadi kehidupan yang sangat pas. Meski tak sempurna dan masih banyak kekurangan, hidup Windy tidak berjalan secara berlebihan. Dia berusaha untuk tidak menjadi pribadi yang suka menyakiti diri sendiri dengan ucapan yang tidak penting. 

"Hai, Raikal!" sapa Liliana pada mantan suami Windy itu. 

Hari ini memang hari kepindahan Windy menuju rumah barunya yang akhirnya dipilih berdasarkan biaya sewa dan segala macam pertimbangan. Bagi Windy rumah barunya sudah sangat mencukupi apa pun yang bisa perempuan itu dapatkan. Untuk nanti mengurus bayi juga rumah yang akan digunakannya sendirian tidak bermasalah sama sekali. Maka dari itu Liliana bertatap muka dengan Raikal yang menyapa dengan sopan.

"Hai juga, Liliana."

"Sena, salam sama Om Raikal."

Nawasena menuruti perintah maminya tanpa membantah. Anak itu memang tidak banyak bicara tapi bukan tipikal yang pemalu. Raikal mengusap pipi Nawasena sebagai bentuk rasa gemas melihat pipi anak itu. Nawasena memang tidak terlalu gemuk, tapi cukup berisi. Meski begitu, Nawasena tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. Maka dari itu Nawasena lebih memilih bergabung dengan para pekerja yang akan mengangkut barang-barang yang siap diantar menuju rumah baru Windy. 

"Sena! Ya, ampun. Kamu jangan ganggu orang lagi kerja, dong."

"Aku bantuin, Mami."

"Belum waktunya, nanti kalo kamu sudah besar baru bisa bantuin. Kalo kamu disitu kamu malah ganggu."

Mau tak mau Nawasena memang mundur. Anak itu kembali berada di dekat Raikal yang tidak menjauh dari sisi Windy. Siapa pun yang melihatnya pasti membaca gelagat pasangan itu sebagai sebenar-benarnya pasangan yang masih saling mencintai. 

"Om misi," ucap Nawasena.

"Hm? Permisi mau ke mana?" tanya Raikal.

"Mau gantian pegang perut tante Dy."

Suasana seketika saja menjadi tegang. Bagaimana pun, Nawasena adalah laki-laki, meski masih anak-anak. Raikal sejujurnya merasa kalah dengan keberadaan anak itu. 

"Maafin Sena, ya, Rai. Dia emang seneng banget pegang perutnya Windy."

"Ya, nggak apa-apa. Namanya juga anak-anak."

Liliana memasang senyuman yang ambigu, karena sebenarnya wanita itu bisa membaca sikap kaku Raikal yang tadinya mau menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan Windy sebelum pergi, malah dikalahkan dengan Nawasena yang tidak bisa diganggu gugat. 

Untuk mengusir suasana yang agak tegang, Liliana menjadi penengah agar Raikal terdistraksi oleh kegiatan Nawasena dengan perut Windy. 

"Gimana kerjaan? Aman, Rai?" 

Raikal tahu itu pertanyaan basa basi, tapi pria itu tetap menanggapi. "Alhamdulillah berjalan baik, aman. Yang nggak aman justru kehidupan pribadi." 

Satu curhat colongan Liliana kantongi. Melihat bagaimana Raikal sangat kehilangan dan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan, Liliana kasihan juga. Namun, semua keputusan kembali lagi diserahkan pada Windy. 

"Semoga semuanya makin lancar. Kalo ada yang nggak lancar, lebih baik memang dibicarakan setelah keadaan membaik." 

Liliana tidak mau mengatakan dengan gamblang apa pun yang dipahami dan dibicarakan saat ini. Jangan sampai pembicaraan Liliana dan Raikal terdengar oleh Windy dan membuat perempuan itu bingung lagi. 

"Pak barangnya yang mau dibawa sudah ini aja?" tanya salah seorang pekerja yang ditugaskan oleh Raikal untuk mengangkut barang pindahan. 

"Dy? Masih ada yang mau dibawa? Ini Bang Yadi mau mastiin lagi." 

Windy yang tadinya sibuk menjawab pertanyaan Nawasena menjadi kembali fokus pada tujuan utamanya. "Udah, kok. Nggak ada lagi, kita bisa berangkat sekarang." 

Raikal dan Liliana kompak mengangguk untuk pergi ke rumah baru Windy dengan mobil masing-masing. Saat Windy bergerak menuju mobil Liliana, tentu saja Raikal langsung panik. 

"Dy, mau kemana?" 

"Mobil Liliana," jawab Windy. 

"Aku sama siapa? Aku belum tahu rumah kamu, loh." 

Liliana yang mengerti bahwa Raikal ingin memiliki waktu berdua lebih lama menggunakan akalnya untuk membuat Windy mau berangkat dengan mantan suaminya itu. 

"Kamu bareng Raikal aja, Dy. Aku, kan, udah tahu dimana rumah baru kamu. Arahin Raikal yang bener." 

Padahal, banyak cara untuk bisa sampai ke rumah baru Windy tanpa harus perempuan itu memberitahu secara langsung. Toh nanti mobil Liliana yang menuntun dan Raikal bisa mengikuti. Jika kehilangan jejak, Raikal juga bisa mengikuti arahan maps di internet. Sungguh tidak perlu Windy menghabiskan waktu di dalam satu mobil yang sama dengan Raikal lagi. Namun, Windy tidak ingin berdebat dan menghabiskan waktu. Lebih baik berangkat sekarang tanpa repot. 

***

Ibu [ Di, ibu mau ngomong.]

Ada pesan yang masuk dan berasal dari ibu Windy. Sudah agak lama memang Windy tidak mendapatkan respon dari ibunya, jadi ini adalah kesempatan yang bagus.

Windy [Aku nanti telpon ibu. Aku skrg lagi pindahan ke rumah baru.]

Ibu [Rumah baru masih sama Raikal? Apa pindah jadi tinggal sendri?]

Windy [Nanti aku kasih tahu vidcall Bu.]

"Kerjaan?" tanya Raikal yang mungkin terbawa rasa penasaran karena melihat Windy sibuk dengan ponselnya sendiri.

"Ibu."

"Ibu mau telepon? Kalo iya, aku nggak akan banyak bicara. Eh, tapi ibu pasti curiga dengan mobil yang lagi jalan ya?"

"Aku bilang aku telepon nanti."

Windy bicara tidak banyak pada Raikal karena tak mau lebih sering berinteraksi dengan pria itu. Bagaimana lagi? Selama lima tahun bersama dan kini akhirnya terpisah, pasti ada kebiasaan yang tidak bisa begitu saja disingkirkan. Termasuk rasa rindu yang terbiasa menempel di hati Windy dan tidak akan dibiarkan merajalela disaat seperti ini. Windy harus tegas dengan dirinya sendiri supaya tidak menangis atau menunjukkan betapa Windy tak mau berpisah dengan Raikal. 

Hormon kehamilan yang sangat kuat juga akan mempengaruhinya begitu besar. Jadi, Windy berusaha seminimalis mungkin bicara atau bertatapan dengan Raikal. Semua itu untuk menjaga hatinya dan pikirannya agar tetap waras.

"Kamu ... marah sama aku, Dy?" tanya Raikal.

"Aku marah sama kamu? Marah kenapa?" 

Raikal mengangkat kedua bahunya. "Aku nggak tahu, aku cuma merasa kamu agak sinis sama aku hari ini. Apa ada kesalahan yang aku buat ke kamu tanpa aku sadar?"

Windy menggeleng pelan. "Nggak ada, aku cuma males banyak omong karena ngerasa capek aja. Belakangan ini dengan usia kehamilan yang makin gede, wajar banget kalo mood aku cepet naik dan turun. Tidur aja aku bisa ngerasa capek, apalagi ini, pindahan."

Windy memang tidak pandai berbohong, tapi dia memang tidak mau mengatakan kejujuran pada Raikal. Kejujuran macam apa yang akan dikatakan? Aku ngerasa udah rindu sama kamu padahal belum sepenuhnya tinggal sendiri. Aku nggak mau tinggal sendirian karena sepi. Semua kalimat itu akan terasa aneh dan membuat Raikal merasa ada kesempatan untuk kembali bersama nantinya. Lagi pula, Windy harus menguatkan tekad karena ini memang keinginannya sendiri, tidak ada paksaan dari orang lain sama sekali. 

"Kalo memang bener begitu, aku lega. Tapi kalo kamu memang marah sama aku, apa pun itu, aku minta maaf, Dy. Aku nggak mau kesan perpisahan ini jadi buruk buat kamu."

"Beneran, Cal. Udah, deh, jangan dibahas terus. Yang ada aku malah makin bad mood terus aku bisa marah beneran sama kamu."

"Oke, oke, nggak akan aku bahas lagi."

Mereka menikmati perjalanan dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, tapi sekarang Windy ingin fokus dengan rumah barunya.

*** 

"Jadi kamu akhirnya pindah? Tinggal sendirian?" 

Tidak butuh waktu lama bagi ibu Windy melayangkan pertanyaan tersebut begitu panggilan tersambung. 

"Iya, Bu. Ini aku tinggal sebentar tukang pindahannya buat telepon Ibu." 

"Ibu lega, akhirnya kamu nggak tinggal bareng sama mantan suami kamu. Ini lebih baik. Jadi, biaya buat bayar tempat tinggal bisa kamu urus sendiri? Atau mau dibantu?" 

Windy menggelengkan kepalanya meski itu adalah panggilan suara. "Aku udah dapat kerjaan yang enak, kok. Gajinya cukup buat bayar sewa rumah, Ibu nggak perlu repot mikirin masalah itu." 

Kaki Windy digerakkan untuk menggapai rumput di taman kecil yang ada di rumah tersebut. Dia mendengarkan kalimat ibunya yang banyak mengucap syukur. Windy bisa merasakan kelegaan yang terpancar dari suara sang ibu. 

"Karena kamu lagi hamil dan sendirian, ibu akan minta adik kamu beliin tiket buat ke Jakarta. Ibu nggak tenang biarin kamu sendirian." 

Windy tidak berniat merepotkan ibunya yang sudah tidak lagi muda. Namun, keinginan ibu Windy disaat seperti ini tidak akan bisa dibantah. Lagi pula, Windy yang tidak tinggal bersama Raikal lagi membuat wanita baya itu tidak tenang karena jika terjadi apa-apa pada Windy tidak ada yang mengawasi secara langsung. 

"Padahal niat aku pindah supaya ibu nggak kepikiran, tapi sekarang malah bikin Ibu mau nyusul ke Jakarta." 

"Nggak masalah. Kamu sekarang fokus urusin rumah baru, besok ibu telepon kamu begitu sampe Jakarta. Nanti ibu pesen ojek atau apalag ke rumah barumu. Kirimin ibu alamatnya juga, ya." 

Satu sisi Windy lega karena dia bisa membuat ibunya merasa tenang tidak sibuk memberi peringatan kepada Windy agar tidak tinggal dengan Raikal lagi. Namun, satu sisi Windy juga tidak sepenuhnya mau seperti ini. Harusnya jika pernikahannya adalah hubungan yang sehat, Windy tidak perlu merepotkan ibunya untuk datang ke Jakarta. 

Huh, hidup ini memang benar-benar pilihan yang masing-masing ada risikonya. Windy tidak bisa memilih pada pilihan yang sepenuhnya nyaman. Risiko selalu menanti di depannya. Dan entah risiko apa lagi yang akan datang padanya setelah ini. 

[Haiii! Udah mampir bab 34? Makin bikin geregetan, deh. Makasih yg udh mau mampir dan kasih tips. Sumpah, meskipun gak aku sebutin akunnya, tapi aku seneng banget. Dukungan kalian dan tips yg kalian kasih itu berguna banget buat aku yang mengandalkan penghasilan dari nulis ini😭 makasih ya. Beli kuota tiap saatnya itu perlu duid dan kalian jalan rezekiku💕]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top