19 - MTM
Untuk banyak hal yang menimpa kehidupan Windy saat ini, Liliana adalah orang yang sangat bersedia membantu banyak. Bukan hanya Liliana, tapi suami wanita itu juga, dan Nawasena yang selalu membuat Windy terhibur karena bersedia memberikan perhatian berlebih pada perut Windy. Intinya, Liliana dan keluarga kecilnya membuat Windy merasakan kehangatan.
"Mau dibantuin sama papinya Sena aja?" Liliana menawarkan.
Yang sedang mereka bicarakan ditengah jam makan siang yang lagi-lagi dilakukan di rooftop adalah rencana Windy untuk mencari rumah dalam waktu dekat. Liliana menawarkan bantuan yang lagi-lagi dari suami wanita itu.
"Aku nggak mau ngerepotin kalian terus, ah."
"Dari pada ngerepotin mantan? Mending ngerepotin keluarga temen yang pasti bakalan ikutan pergi sekeluarga pilih-pilih rumah buat jadi ajang refreshing."
Ya, Windy memang lebih suka menjadikan waktu-waktu yang terkadang terlihat tak genting sebagai acara keluarga bertiga. Mungkin orang lain akan melihat Liliana adalah sosok istri dan ibu yang tidak becus mengurus rumah, padahal Liliana sangat hebat karena paham bagaimana caranya mengisi waktu keluarga di momen yang mungkin dianggap tak penting bagi orang lain.
Windy tidak bisa menyembunyikan tawanya sendiri jika mengingat bagaimana Liliana dan keluarga kecilnya memang memiliki waktu bertiga untuk bisa pergi kemana pun. Restoran saat makan malam di rumah tidak dibuatkan menu makanan oleh Liliana, menggunakan waktu bertiga saat kepepet sekalipun juga bisa.
"Kamu dan keluarga kecil kamu memang hebat, Lin."
"Kamu dan ketegaran kamu juga hebat."
Windy tahu dia sudah berjuang banyak untuk bisa ada pada tahap ini. Windy perlu berterima kasih pada dirinya sendiri yang sudah bisa berjalan sejauh ini. Meski memang terlalu banyak drama yang dilewatinya meski tidak terlihat secara nyata, tapi bisa dilihat secara mental.
"Berhenti untuk membandingkan diri, Dy. Nggak ada yang bener-bener sempurna di dunia ini. Kamu secara nggak sadar mungkin udah membandingkan diri dengan keluargaku, padahal nggak ada yang sempurna dalam kehidupan seseorang."
Windy memang tanpa sadar selalu melihat kehidupan orang lain lebih baik ketimbang hidupnya. Padahal tak semua hal seperti itu. Harusnya Windy memang lebih bersyukur dengan apa yang dijalani.
"Udahlah bahas yang sedih, gimana soal rumah? Kamu jadi mau pake bantuan papinya Sena?" tanya Liliana mencoba mencari kepastian.
"Oke, deh. Aku minta bantuan suami kamu, ya."
Liliana mengangguk senang, setidaknya Windy sudah lebih tegas dalam menentukan hubungannya dan Raikal.
***
Pada jam makan siang yang super sibuk, tidak biasanya seorang Raksa Kusuma akan mendatangi rumah untuk makan bersama sang istri. Sebenarnya Yagya juga biasanya tidak berada di rumah, karena Yagya adalah wanita sosialita yang harus banyak berbaur dengan banyak ibu-ibu sosialita lainnya agar tidak menjadi bahan pembicaraan di belakang punggungnya. Namun, kali ini Yagya merelakan jatahnya berkumpul karena suaminya mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan.
"Gimana pembicaraan kamu sama Raikal? Ada kemajuan dari anak itu?" tanya Raksa pada sang istri.
"Nggak ada. Raikal masih tergila-gila sama perempuan itu dan sekarang mereka lagi nunggu kelahiran anak pertama mereka."
Yagya bisa mendengar alat makan suaminya beradu dengan meja karena sengaja dibanting dan tatapan Raksa terlihat tak tenang sama sekali.
"Apa? Anak pertama? Anak apa yang kehadirannya diluar status yang sah? Apa anak itu sudah gila?"
"Dia bilang hamilnya sebelum bercerai. Tapi ketahuannya setelah selesai sidang."
Raksa menghela napasnya dan kehilangan nafsu makan sepenuhnya. Ini adalah informasi yang tidak bisa membuat Raksa bahagia. Bahkan kabar akan hadirnya cucu tidak membuat Raksa bangga dan bahagia.
"Ayahnya Tiara mau mengajak kerjasama, dia bakalan jadi rekan bisnis yang bagus. Tapi aku tahu tujuannya mengajak kerjasama untuk mendekatkan Raikal dan Tiara. Pemberitaan mengenai Tiara dan Raikal juga sudah menyebar, kenapa sekarang tiba-tiba muncul kehamilan yang nggak diharapkan?"
Yagya hanya bisa memotong daging yang disiapkan oleh juru masak di dapur rumah mereka, tanpa berniat menatap suaminya yang tidak terlihat tergugah sama sekali dengan gagasan seorang cucu.
"Mungkin kita bisa mulai menerima anak Raikal," ucap Yagya.
"Apa? Apa yang akan dikatakan media mengenai anak itu nantinya?"
Yagya masih saja menikmati makanannya dengan santai, wanita itu tidak langsung mengatakan apa pun kepada sang suami sebelum kunyahannya pada menu makan siang mereka selesai.
"Terima anak Raikal, menangkan hak asuh, dan katakan pada dunia bahwa itu adalah anak angkat Raikal atau hasil jebakan perempuan diluaran sana. Tiara sepertinya nggak keberatan sama sekali dengan keberadaan anak Raikal yang akan lahir."
"Kamu yakin? Kamu sudah pastikan pada Tiara sendiri?"
Yagya menggeleng. "Aku nggak pernah berniat ikut campur dengan perjodohan atau semacamnya, tapi anak-anak itu sendiri yang bergerak satu sama lain. Aku cuma memantau aja. Nggak perlu banyak ikut campur, semuanya akan tetap kembali ke jalan semula."
Bagi siapa pun yang mengatakan bahwa semua ini sangat kejam, bagi Yagya dan Raksa ini adalah realita yang harus dihadapi oleh perempuan yang memaksa masuk dalam jajaran keluarga mereka.
"Kenapa anak itu selalu membantah keinginan keluarga? Siapa yang akan menjamin hidupnya baik-baik saja jika memaksakan tetap bersama perempuan miskin yang nggak tahu apa-apa mengenai kehidupan kita? Butuh berapa lama lagi dia sadar bahwa memaksakan kehendak hanya akan membuat semua pihak rugi?" Raksa tidak bisa berhenti menggelengkan kepalanya mengingat kelakuan putranya.
"Kalau kita terlalu keras, Raikal juga bakalan pergi. Kamu tahu sendiri betapa keras kepalanya dia. Bagaimana pun, Raikal yang akan meneruskan perusahaan. Kalau Raikal memilih mundur, kamu juga yang akan kesulitan mendapatkan penerus."
Raksa tidak suka jika harus memasukan orang lain dalam jajaran penerus yang menjanjikan. Putrinya, Ayura, juga tidak begitu tertarik dengan dunia bisnis. Akan sangat sulit bagi Raksa untuk baik-baik saja jika ditinggal oleh putranya.
"Bagaimana kamu bisa mengambil hak asuh anak Raikal nantinya? Jika dia laki-laki maka kemungkinan untuk menjadi penerus sangatlah terbuka. Sebelum anak itu lahir, kamu sudah harus memikirkan bagaimana caranya."
"Aku akan mencoba mengancam perempuan itu dan keluarganya. Mereka nggak akan bisa berkutik dengan kekuasaan yang kita punya."
Raksa mengangguk pada rencana istrinya. Rencana ini tidak boleh gagal dan Raksa akan menunggu hasil dari keberhasilan istrinya.
***
Raikal menunggu kepulangan Windy. Dia sengaja pulang lebih cepat untuk memastikan hari ini dia bisa bicara dengan mantan istrinya itu. Tidak ada yang membuat Raikal lebih cemas selain respon yang Windy tunjukkan. Kesalahpahaman ini harus segera diselesaikan dan tidak semakin berlarut-larut nantinya.
Tepat saat pintu rumah dibuka, Raikal bisa melihat wajah lelah Windy yang masuk dan mengucapkan salam. Raikal menjawabnya dan perempuan itu tampak terkejut.
"Ical? Kamu udah pulang?"
Raikal tidak menjawab, tapi sibuk mengamati apa yang perempuan itu lakukan.
"Aku kira kamu bakalan pulang malem kayak kemaren."
Tanpa perlu Raikal menjawab perempuan itu sudah bicara banyak tanpa diminta. Luar biasa sekali memang. Raikal sudah diabaikan tadi pagi dan sekarang dia bisa mendengar kalimat sarkas Windy.
"Aku nggak ada hubungan sama Tiara dan aku nggak berniat balik ke dia."
Raikal membuat Windy terkejut dengan mengatakan kejujuran yang tidak ditahan-tahan. Perempuan yang sedang hamil anak Raikal itu terlihat shock dan tidak bisa mengatakan apa-apa untuk sejenak. Mereka bertatapan dan Raikal tidak berniat untuk memutus kontak mata itu.
"Aku nggak mau kamu salah paham terlalu jauh, Dy. Di foto yang tersebar itu, aku terpaksa anterin Tiara pulang. Itu karena ada pegawaiku yang lihat, aku nggak bisa bertindak kasar sama Tiara dengan mengusirnya. Akan ada bahan pemberitaan lainnya yang pasti akan bikin aku diserang sama masyarakat Indonesia."
"Kenapa kamu sibuk jelasin semua ini ke aku, Cal?" tanya Windy terperangah.
"Karena kamu berhak tahu, Dy."
"Aku bukan istri kamu lagi, Cal. Kita bukan pasangan, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak harus menjadi pihak yang kamu kasih tahu. Sudah sepantasnya urusan kamu menjadi urusan kamu dan begitu pula sebaliknya. Kamu nggak perlu cemas dengan pendapatku atau salah paham di dalam kepalaku, karena aku tahu posisiku sebagai mantan istri."
Raikal menggelengkan kepalanya. "Aku harus kasih tahu kamu untuk membuat hubungan apa pun diantara kita ini berhasil. Sebagai calon orangtua, kita juga bisa saling komunikasi dengan baik supaya nggak ada miskomunikasi selama mendidik anak kita nantinya, Dy."
Windy tidak terlihat memasang reaksi yang bisa Raikal tebak dengan mudah. Perempuan itu ... entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi Raikal tidak berani menebak.
"Aku nggak keberatan kalo kamu memang mau mengkomunikasikan segalanya, tapi aku nggak merasa harus memiliki visi yang sama dengan kamu, Cal."
Untuk kali ini Raikal terkejut bukan main. Windy terlihat kembali menjadi orang asing, seperti pertemuan pertama mereka.
"Maksud kamu, Dy?"
"Aku minta maaf kalo nggak bisa memenuhi harapan kamu, tapi aku rasa aku nggak bisa lebih lama mempertahankan hubungan yang seolah diantara kita berdua sedang baik-baik saja. Aku merasa kalo lebih baik memang kita berjarak sebagai mantan suami istri. Aku nggak bisa lebih lama bersikap santai tinggal sama kamu."
"Aku nggak akan bikin kamu nggak nyaman, Dy. Kamu bisa--"
"Nggak bisa, Cal. Aku mau memulai kebiasaan baru dimana kita nggak saling membiasakan diri seolah menjadi pasangan atau teman. Kita bukan pasangan lagi, dan juga bukan teman. Kita sudah berpisah dan aku ingin semuanya jelas. Aku dan kamu hanya berperan sebagai orangtua, tapi nggak bersama. Kita bisa bahas soal waktu buat anak kita kelak, jadi untuk sesuatu yang bisa dimulai dari sekarang, mari kita membatasi diri satu sama lain, Cal."
Raikal memejamkan matanya sejenak, dia tidak tahu bahwa pemberitaannya dengan Tiara bisa membuat Windy menjadi seperti ini. Perempuan itu mungkin sangat marah karena melihatnya dan tidak langsung mendapatkan penjelasan Raikal sejak awal. Namun, Raikal berniat menjaga perasaan Windy bukan karena tak mau jujur.
"Dy, aku nggak tahu kenapa kamu memikirkan semua itu, tapi aku sungguh minta maaf karena bikin kamu marah atau cemburu."
"Bukan itu intinya, Cal. Intinya aku nggak mau kita saling melukai satu sama lain dengan menyangkal perpisahan."
Sepertinya Windy tidak tahu bahwa Raikal sudah sakit sejak awal perempuan itu meminta perpisahan.
[Yuhuuu! Aku seneng banget cerita ini udh 40 ribu kata lebih😂 padahal tadinya mau nulis 40 ribu kata aja. Nyatanya udah mulai mendekati 50 ribu kata. Yg mau baca bab 29 silakan banget ya. Nanti, kalo udh tamat di Karyakarsa, aku mau bikin giveaway nanti bakalan dpt kode voucher yang jumlahnya gak sedikit gitu deh. Ikutin cerita ini terus, ya. Thank you.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top