14 - MTM

"Cinta yang menyimpan luka adalah cinta yang tak memiliki kuasa.

Berbagai macam budaya dunia akan hancur melebur oleh cinta.

Satu makna tak bernyawa cinta adalah rasa yang tak bisa diungkap. 

Membagi dunia dengan cinta adalah isyarat.

Jika berdua lebih baik adanya."

Windy sama sekali tidak mengerti kenapa dia bisa menemukan notes kecil berukuran A5 yang berisikan puisi-puisi mendayu seperti ini. Dia menemukannya di dekat pintu lift. Sebagian cover berwarna hitamnya sudah kotor dengan injakan sepatu. Sepertinya sang pemilik tidak menyadari sudah kehilangan benda tersebut. 

Jika Windy baca, sepertinya seorang wanita yang bisa menuliskan kalimat puitis seperti ini. Sepertinya kemampuan berbahasa pemilik notes itu sangat bagus hingga Windy merasa minder hanya dengan membaca sekilas saja. 

"Halo, Mbak Windy!" sapa salah seorang mahasiswa magang. 

"Oh, hai! Maaf aku lupa nama kamu siapa kemaren?" 

"Tria, Mbak." 

"Oh, iya, Tria. Maaf ya."

Tria mengangguk santai. "Mbak baru kerja hari ini?" tanya Tria. 

"Iya, baru banget hari ini aku mulai kerja." 

Windy bekerja di salah satu perusahaan fashion Indonesia yang menyediakan berbagai macam mode. Mulai dari pakaian bahkan hijab bagi kalangan menengah ke atas. Posisi Windy sendiri berada di bagian divisi sales yang dipimpin oleh Lilian, dan Windy masuk sebagai salah satu admin bagian e-commerce brand fashion tersebut. 

"Semangat kalo gitu Mbak Windy. Aku harus ikut magang bagian support dulu hari ini. Sampai ketemu lagi!" 

Sebenarnya Tria bukan mahasiswa yang sengaja genit mendekati Windy. Justru Tria ini agak gemulai, meski berusaha ditutupi dengan tampilannya yang cowok banget, semua itu tidak bisa mengelabuhi Windy. Tria anak magang yang mencari teman bicara di kantor. Karena tak nyaman bicara dengan senior, maka Tria memilih mengakrabkan diri dengan Windy yang kemarin seharian melakukan sesi wawancara. Mereka mengobrol saat jam makan siang, karena Windy belum juga mendapatkan giliran dipanggil wawancara. Tria memiliki mata yang jeli karena menyadari perut Windy yang buncit. Intinya, mereka akrab dalam satu pertemuan. Sekarang, mereka jadi teman bicara jika bertemu. 

Windy tidak mudah dengan orang baru, itu sebabnya dia hanya bisa tersenyum sopan pada pegawai lain yang sudah lebih dulu masuk. Untungnya, Liliana adalah kepala divisi di sana, jadi Windy memiliki waktu lebih cepat untuk memahami pekerjaannya dan tidak kebanyakan melamun seperti anak baru lulus. 

Penemuannya pagi ini disimpan lebih dulu oleh Windy di meja kerjanya, karena siapa tahu anak anak divisi sales yang memang kehilangan notes tersebut. Jika ada yang melihat, pasti akan mengakuinya. Dan Windy akan memulai pekerjaannya tanpa memikirkan hal lain. Dia harus fokus bekerja untuk dirinya sendiri dan anak yang dikandungnya. 

***

Windy sudah mengerjakan banyak hal hari ini. Ia sangat berterima kasih pada Liliana yang bisa membantunya secara diam-diam. Juga mengingatkan Windy pada jam makan siang melalui pesan. 

Liliana [ makan siang bareng yok!]

Windy meraih ponselnya dengan cepat dan membalas temannya itu. 

Dydy [udh gak sibuk bu ketua?]

Liliana [ gak lah! Yg ada kamu yg sibuk anak baru. Hahaha]

Windy tahu temannya itu memang sengaja meledeknya. Tapi ledekan itu tidak membuat Windy kesal, justru dia terhibur dengan pesan Liliana itu. 

Dydy [aku bawa bekal, loh.]

Liliana [ya gpp. Aku juga. Makan di rooftop, deh. Di sana enak suasananya.]

Windy menimbang ajakan itu dan segera mengiyakan. 

Dydy [oke.]

Windy membereskan banyaknya catatan di meja dan mengambil kotak bekalnya sebelum naik menuju rooftop. Untung saja kantor itu memang menyediakan lift menuju rooftop. Karena Windy tak mau kelelahan disaat dirinya berbadan dua seperti ini. 

Di atas sana, Liliana sudah menunggu. Windy takjub dengan rooftop perusahaan itu yang memang seperti kafe. Pemilik perusahaan ini mungkin sangat modern hingga mendesain rooftop sekeren ini. Bahkan ada meja berjajar untuk mengadakan barbeque untuk sekitar 20 orang. 

"Sini!" panggil Liliana yang tidak sabaran karena Windy sibuk menatap sekeliling rooftop itu. 

"Bagus banget, sih, ini tempat." Windy berucap. 

"Ya, karena yang punya orang kaya, Dy." 

"Untung banget aku punya temen kayak kamu, bisa masuk perusahaan sekeren ini." 

"Jangan muji dulu, kerjaan di sini juga keren. Sangking kerennya kamu bakalan jadi pegawai goib kalo lembur. Bisa kekunci di kantor sangking sibuk sama kerjaan." 

Liliana menggunakan itu sebagai kalimat gurauan saja. Pekerjaan Liliana yang menuntut untuk dikerjakan secepatnya memang membuat sibuk. Itu sebabnya Liliana merasa menjadi makhluk gaib karena bekerja keras tapi tak terlalu dipedulikan oleh perusahaan. 

"Kamu, tuh, bisa aja kalo ngomong, Lin."

Windy yang duduk akhirnya baru menyadari bahwa meja penuh diisi dengan berbagai makanan. 

"Kamu bawa bekal segini banyaknya?" tanya Windy tak percaya. 

"Iya, ini bekal aku. Tadi dianterin sama gofood." 

Windy menggelengkan kepalanya tak percaya dengan ucapan temannya itu. "Itu namanya bukan bekal, tapi pesen!" 

Liliana tertawa singkat dan menyiapkan semuanya. 

"Kamu, kan, tahu, Dy. Aku bukan sosok perempuan yang rajin kayak kamu. Aku kerja keras biar bisa beli makanan yang aku suka." 

Liliana memang sosok yang tak mau ribet dengan urusan makanan. Bukan karena Liliana tidak bisa memasak, tapi memang tak sempat. Anak dan suaminya tentu saja disiapkan makanan oleh pembantu mereka. Namun, tidak ada perdebatan sama sekali soal itu. Suami Liliana dan anaknya tidak pernah protes karena memang cuek. Nawasena yang masih kecil saja sudah datar bukan main, apalagi papanya yang memiliki sifat itu sejak awal. 

"Kamu nggak usah repot, ya, Dy. Besok-besok aku nggak mau kamu tiba-tiba bawain makanan tambahan karena aku males bawa bekal kayak kamu." 

Windy menggelengkan kepalanya. "Nggak akan. Aku udah capek duluan nyiapin bekal buatku sama Ical, kok. Lagian duit kamu lebih banyak, gampang beli makanan begini." 

Liliana menghentikan gerakan tangannya yang akan mencomot cumi-cumi asam manis pesanannya. 

"Bikinin bekal buat Raikal juga?" tanya Liliana tak percaya. 

Windy yang menyadari ekspresi temannya itu langsung berusaha memikirkan alasan yang tepat. "Ya ... soalnya emang Ical nggak bisa makan kalo bukan masakanku." 

"Itu, sih, cuma alasan aja." 

Windy terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Liliana yang memang menebak dengan tepat. 

"Bukannya aku mau ikut campur urusan kalian, cuma aku ngerasa kalian sekarang ini malah kayak punya hubungan tapi diluar pernikahan gitu, loh. Ya, kalo kamu menganut paham barat, terserah ya. Aku ngeliatnya kamu jadi kayak ... apa ya? Hm ... malah nggak berguna banget cerai kalo masih nggak bisa move on satu sama lain. Sampe makanan aja mesti kamu yang nyiapin." 

Windy juga menyadari hal itu. Dia yakin bahwa semua ucapan Liliana memang benar. 

"Makanya aku lebih milih kasih saran ke kamu buat rujuk. Jadi nggak perlu ribet gitu loh. Keliatan banget kalo kalian masih saling cinta. Soal urusan keluarganya, coba deh buat bodo amat. Aku aja nggak deket-deket amat sama keluarga suami. Soalnya emang keluarga suami pada pendiem. Jadi, aku mutusin buat nggak peduli sama kehidupan keluarga suami. Mau ribut besar, mau diem-dieman, nggak ada yang boleh melibatkan keluarga." 

Windy mendengarkan dengan baik saran yang Liliana berikan. 

"Emang nggak semua orang bisa kayak aku, sih. Tapi aku rasa memang lebih baik kamu mulai fokus aja ke hubungan kamu, Raikal, dan anak kalian. Kalo misal keberatan ngeliat keluarga Raikal yang sama-sama di Jakarta, kamu pindah deket rumah keluarga kamu aja atau jauh dari dua-duanya. Ya, itu pun kalo kamu mau lakuin. Kamu pikirin aja dulu baik dan buruknya. Kalo memang nggak tertolong, yaudah, pisah beneran pisah biar nggak serba nanggung. Kalo niat pisah, tapi masih deketan, menurutku kalian baper melulu setiap hari." 

Windy harus mengakui itu. Dia memang terbawa perasaan setiap kali berdekatan dengan Raikal. Terlalu banyak kebiasaan-kebiasaan yang mereka miliki dan mencakup tingkat kemesraan yang selalu membuat Windy tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. 

"Udah, udah. Pikirin itu nanti aja. Kita makan dulu, nikmatin makanannya. Karena di dunia ini makanan jauh lebih enak dari pada permasalahan orang dewasa." 

Lagi dan lagi Windy dibuat tertawa dengan gurauan Liliana. Ketua divisi yang satu ini memang unik. 

[Gimana, gimana? Udah baca bab 22 duluan? Sebentar lagi kayaknya udah ending, sih. Soalnya ini cerita udah mendekati 40 ribu kata. Kan emang tujuan plot cerita ini gak muluk muluk amat.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top