13 - MTM
Raikal suka dengan interaksinya dan Windy yang kembali normal. Mereka lebih bisa mengutarakan keinginan satu sama lain meski terhalang dengan beberapa bagian. Bagian yang sangat berhubungan dengan status mereka yang tak lagi menjadi pasangan suami istri. Ada batasan yang sesungguhnya membuat Raikal kesal karena tak bisa leluasa seperti saat mereka resmi sebagai pasangan menikah.
"Aku nggak bisa masakin kamu yang ribet, ya, Cal. Aku bikinin bekal tumis sawi putih sama ayam suwir pedes. Kalo kamu nggak bisa makan itu, nanti beli aja di--"
"Apa masakan yang kamu bikin tapi nggak aku makan? Nggak ada, Dy. Masakan kamu nggak ada yang gagal."
"Tapi itu pedes, loh, ayamnya. Kamu, kan, nggak suka makan pedes."
"Tapi aku tahu kalo kamu akan selalu inget takaran pedes yang bisa aku makan."
Windy yang melihat bagaimana ekspresi Raikal yang jenaka. Pria itu tidak mengatakannya benar-benar serius, jadi Windy menanggapinya dengan tawa.
"Bisa aja kamu, Cal."
"Beneran, Dy. Apa, sih yang nggak kamu tahu soal aku?"
"Oke, oke. Kamu bener. Aku emang tahu semua kesukaan kamu. Jadi, dari pada nanti kamu telat mending sekarang kamu buruan siap-siap berangkat kerja."
Raikal mengangguk paham. "Oke, Bubu!"
Panggilan itu sudah paten untuk digunakan oleh Windy sebagai calon ibu. Tidak ada yang lebih cocok untuk Windy gunakan selain panggilan Bubu yang diinginkan Raikal dan Windy sebagai panggilan ibu dari anak mereka.
Windy bergerak mengambil ponselnya, bersiap memesan kendaraan online untuk berangkat kerja yang dimulai hari ini. Namun, gerakan itu terhenti oleh pertanyaan Raikal.
"Kamu mau pesen gojek?"
"Hm, iya. Kenapa?" balas Windy.
"Bareng aku aja. Uang kamu bisa kamu simpen, lebih irit. Jadi nanti bisa buat nambah biaya beli rumah yang kamu mau."
Tawaran itu memang tidak salah sama sekali. Malah Windy tergiur secara langsung karena alasan yang digunakan Raikal dengan baik. Namun, perempuan itu tidak tahu bahwa semua itu adalah rencana Raikal untuk bisa satu mobil dengan mantan istrinya itu.
"Yaudah, deh, bareng kamu aja."
Raikal menahan senyumannya agar tak terlalu terlihat oleh Windy. Bagaimanapun, dia tak mau Windy menyadari akalnya itu.
"Oke. Kita langsung ke mobil kalo gitu. Aku udah siap."
Windy mengangguk dan berjalan cepat lebih dulu. Raikal di belakang perempuan itu diam-diam berterima kasih pada anaknya di dalam kandungan Windy yang membuat sang mantan istri memiliki suasana hati yang sangat baik hari ini. Karena jika suasana hati Windy buruk, maka banyak alasan yang akan muncul dari bibir perempuan itu.
Selama perjalan, Raikal tak ingin suasana menjadi kaku. Dia membuat banyak topik pembicaraan yang memang sejenak terdengar seperti wawancara.
"Jadi gimana sama suasana kerja di kantor baru kamu?" tanya Raikal.
"Belum tahu juga, sih, Cal. Kan, baru mulai kerja hari ini."
Raikal menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana mungkin bisa menanyakan hal itu disaat Windy saja baru melakukan wawancara kemarin.
"Oh, iya, ya. Hahaha. Maaf, maaf. Aku terlalu nggak sabar dengerin cerita-cerita kamu."
"Aku nggak tahu kalo kamu menunggu aku buat cerita soal kantor baruku. Tumben banget kamu pengen tahu."
"Ya, soalnya kamu pasti punya pikiran buat nggak cerita ke aku. Mengingat status kita yang udah bukan suami istri lagi. Aku berharap kamu bisa cerita dengan leluasa ke aku, Dy. Aku nggak akan menutup telinga buat kamu. Nggak akan lagi."
Windy hanya bisa menatap mantan suaminya dari samping untuk bisa merasakan emosi yang Raikal tunjukan saat mengatakan semua itu. Nggak lagi, katanya. Mungkin Raikal memang baru tersadar setelah semua yang mereka lalui. Kenapa harus ada perpisahan lebih dulu untuk membuat pria itu tersadar?
"Hm ... nggak janji, Cal. Aku kayaknya nggak mau membiasakan diri begitu. Aku mau menyelamatkan hati aku sendiri."
Kali ini Raikal yang terkejut hingga membagi fokusnya untuk menoleh pada Windy. Ucapan sang mantan istri menjadi beban tersendiri bagi Raikal dan itu adalah pertanda tak baik. Windy akan semakin menjauh dari Raikal dan pria itu tak akan siap menghadapinya.
***
Permasalahan hidup ini memang banyak, Raikal jelas memiliki banyak permasalahan hidup yang tidak bisa terpisahkan meski sedang bekerja. Namun, Raikal tahu bahwa tidak seharusnya dia bertindak dengan sangat taktis untuk urusan pekerjaan. Beban pikiran dari masalah pribadi harus memiliki tempat tersendiri dan tidak mengganggu pekerjaannya di kantor.
Menjelang makan siang, Raikal memberikan keringanan pada asistennya untuk keluar lebih dulu karena tak mau nantinya harus menunggu lebih lama saat Raikal sudah ingin mengerjakan sesuatu lebih cepat. Dion memang sudah terbiasa juga dengan berbagai ritme tiba-tiba yang mengharuskannya meng-handle pekerjaan di kantor. Menjadi asisten Raikal selalu memberikan kejutan-kejutan yang tidak bisa ditebak bagi Dion, meski begitu gajinya juga bisa dikatakan banyak bonusnya karena sering kali dibuat susah oleh Raikal disaat-saat tertentu.
Berbagai pekerjaan selalu memiliki bagian tidak menyenangkan dan Dion selalu bersedia tanpa menunjukkan wajah mengeluh jika Raikal sudah menyulitkannya.
Perutnya yang sudah kelaparan mengajak Raikal untuk membuka bekal dari Windy. Dengan wajah yang super bahagia, dia membawa bekal tersebut di sofa yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu. Air mineral dingin sudah Dion siapkan sebelum pergi makan siang dan Raikal hanya perlu membuka kotak bekalnya saja untuk bisa menikmati masakan Windy. Namun, gerakannya terhenti karena pintu ruang kerjanya dibuka oleh seseorang begitu saja.
"Rai!"
Ekspresi Raikal langsung menjadi kecut seketika. Melihat siapa yang datang, Raikal yakin perutnya tidak terisi dengan makanan tapi malah terisi dengan permasalahan baru.
"Tiara? Kamu, kok, bisa ke sini?" tanya Raikal.
Tiara terlihat tidak masalah sama sekali dengan respon yang Raikal tunjukkan. Malah yang ada menjawab pertanyaan Raikal dengan mudahnya.
"Bisalah, Rai. Aku, kan, tahu kamu kerja dimana. Aku juga tahu ruangan kamu. Bukan hal yang sulit buat dateng ke sini."
Raikal sangat tidak nyaman dengan sikap biasa saja yang Tiara tunjukkan. Apalagi ketika perempuan itu menaruh paper bag yang cukup besar di meja.
"Ini apa?" tanya Raikal.
"Makanan. Aku bawain buat kita makan siang bareng."
Sungguh Raikal tidak mengerti bagaimana cara untuk menghadapi Tiara dengan benar. Sikap perempuan itu sangat jauh dari kata canggung, dan jelas saja Raikal tidak bisa berkutik.
"Kita makan bareng, ya, Rai. Aku tahu kamu suka banget sama makanan laut, saus asam manis selalu jadi--"
"Tiara, maaf sebelumnya kalo aku kasar. Tapi aku udah nggak tertarik dengan semua menu makanan yang nggak dimasak sama istri--" Raikal salah menyebutkan status Windy yang sudah berubah. " ... maksudnya Windy."
Tiara yang tadinya terlihat sangat semangat mendadak lesu dan matanya menangkap kotak bekal yang ada di pangkuan Raikal.
Raikal tidak bisa menghadapi mantan kekasihnya yang sepertinya akan menangis dalam waktu dekat. Raikal tidak tahu kenapa perempuan itu menunjukkan sikap demikian padahal selama bertahun-tahun setelah berpisah, Tiara tidak mendekatinya lagi.
"Kalo ini ada hubungannya sama keinginan mamaku yang menyukai kamu sebagai menantu, aku minta maaf sekali lagi, aku nggak bisa mengabulkannya. Aku akan segera menjadi ayah dari anak yang dikandung Windy. Kami akan jadi orangtua. Aku nggak ingin membuat kamu salah paham lebih jauh, jujur bahwa aku memang nggak punya perasaan apa pun lagi sama kamu. Perasaanku sepenuhnya untuk Windy. Walau mamaku punya keinginan untuk memaksakan kehendak, nggak ada kebahagiaan yang kekal buat kamu. Aku mencintai Windy dan anak kami. Aku bisa memilih menjadi orang biasa ketimbang menyakiti diriku sendiri, dan aku yakin kamu juga akan sama sakitnya kalau memaksakan kehendak."
Raikal sudah mengatakan dengan jujur apa yang ada di kepalanya. Sejujurnya Raikal tahu papanya akan sangat keberatan jika melepaskan Raikal dari perusahaan yang sudah dipimpin Raikal dengan baik. Menjadi orang biasa saja tidak akan ada dalam kamus kehidupan Raikal, sebab ia bisa lebih sukses ketimbang papanya dengan tangan dingin yang ia miliki. Namun, Raikal memang berprinsip demikian sejak awal. Dia akan melepaskan kemewahan yang dimilikinya dan menyesuaikan diri dengan Windy begitu kesempatan datang padanya.
"Aku tahu kamu memang udah memutuskan hubungan kita sejak lama. Aku tahu kamu nggak memiliki perasaan apa pun. Tapi aku ... merasa sangat tersiksa dengan nggak bisa mengungkapkan perasaanku ke kamu, Rai. Aku sayang kamu, sepenuh hatiku."
Raikal menggelengkan kepalanya dengan cepat "Jangan pertahankan perasaan itu. Aku nggak memiliki apa pun untuk membalas perasaanmu, Tiara. Lebih baik kita memutus segalanya--"
"Bahkan untuk jadi temanku kamu nggak bersedia?" sela Tiara dengan mata memerah dan air mata yang mulai turun.
Raikal membenci situasi seperti ini. Dia tak menyukai harus berbelas kasihan pada seorang perempuan yang tak dirinya kehendaki, tapi Raikal juga tak bisa bersikap kasar karena Tiara tidak pernah bertindak kasar padanya.
"Aku mohon, Raikal. Be my friend. Aku mohon, please, please, please!"
Apa yang sedang Tiara lakukan? Dan apa yang bisa Raikal lakukan untuk menjauhi perempuan di depannya ini?
[Udah baca sampe bab 20? Makin banyak keseruan yang bakal drama banget, deh. Happy reading!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top