11 - MTM
Windy pulang ke rumah dengan taksi online karena memang dia tak mau dinilai memiliki segalanya dan bekerja hanya untuk menghabiskan waktu senggang saja. Kakinya berjalan melewati gerbang yang dibuka oleh satpam rumah itu.
"Gak dijemput Bapak, Bu?"
"Oh, memang saya nggak minta dijemput, Pak Imin."
Satpam itu mengangguk dengan cepat dan tidak menjegal langkah Windy untuk masuk ke rumah. Dari yang terlihat dari wajah majikan perempuannya, kelelahan sudah memenuhi wajah wanita itu.
Windy sendiri memang tidak berusaha untuk memperpanjang pembicaraan karena kehamilan membuatnya cepat sekali merasa lelah. Tujuannya sudah jelas ingin masuk ke rumah dan segera beristirahat tanpa gangguan. Ini masih jam tiga, mantan suaminya pasti belum pulang dari kantor. Windy memiliki kesempatan untuk menghabiskan banyak waktunya sendirian. Dia bisa memikirkan apa saja yang terjadi tanpa harus kebingungan menghadapi Raikal dengan perasaan canggung setelah pembicaraan mereka tadi pagi.
Semua hal yang berhubungan dengan pernikahan, cinta, dan keluarga, memang bukan hal yang mudah untuk diselami. Mereka membangun hubungan dengan baik-baik, dan seharusnya memang diakhiri dengan cara yang baik tanpa menimbulkan permusuhan. Windy menghindari yang namanya terlalu membenci sesuatu, apalagi keluarga Raikal. Toh, nantinya keluarga Raikal akan tetap menjadi keluarga bagi anaknya dan Raikal. Menyebarkan rasa benci pada keluarga mantan suaminya sungguh bukan hal yang baik.
Windy membuka pintu rumah dan mengganti sepatunya dengan sandal rumahan. Langkahnya sangat yakin ketika memasuki rumah dan tidak menyadari keberadaan Raikal yang merebahkan tubuhnya di sofa dengan ponsel yang dipegang. Windy terlalu lelah dan tak fokus dengan hal di sekitarnya.
"Kamu baru pulang?"
"Astaga!" Windy bergerak ke belakang untuk memastikan siapa yang melayangkan pertanyaan padanya. Apakah itu makhluk nyata atau bukan.
Windy memastikan penglihatannya dan mendapati wajah Raikal yang semakin nyata ketika dilihat dengan jarak dekat.
"Kamu, kok, udah di rumah? Kamu nggak kerja?"
"Aku kerja. Pulang cepet."
Windy mengernyit. "Tumben? Biasanya kamu paling anti pulang cepet. Apalagi semenjak jadi pimpinan tertinggi."
Perempuan itu membuka blazer-nya dan tidak memandang sepenuhnya pada Raikal. Untuk beberapa waktu, Windy tidak mendengar balasan apa pun dari bibir Raikal. Ketika Windy menoleh pada mantan suaminya itu, rupanya Raikal menatap Windy tanpa. Tindakan itu membuat Windy tidak mengerti sama sekali. Apa yang salah dengan pertanyaannya hingga Raikal memilih tak menjawab dan terus menatap Windy?
"Kamu kenapa, Cal? Apa kamu ... dipecat?"
"Kalo aku dipecat, kamu ada masalah sama itu, Dy?"
Windy menggeleng. "Nggak, itu hak kamu mau jadi bos atau pengangguran. Lagian, kalo kamu jadi pengangguran juga keluarga kamu nggak akan diem aja."
Terlalu mudah bagi Windy untuk menyampaikan semua itu hingga tanpa sadar membuat Raikal memasang wajah putus asa.
"Cal? Aku apa ucapan aku menyakiti kamu?"
"Aku nggak merasa tersakiti karena kamu mengucapkan semua itu, tapi aku merasa sakit karena baru bisa memahami ucapan kamu yang nggak mencemaskan aku sama sekali karena menurut kamu keluargaku nggak akan membiarkan aku hidup susah. Kamu nggak cemas dengan aku yang bekerja atau nggak, tapi kamu nggak bisa memanfaatkan kelebihanku itu selama kita menikah."
"Maksudnya?"
Raikal memasang wajah yang membuat Windy merasa tak bisa mementingkan kepentingannya yang ingin masuk ke kamar tanpa mengindahkan pria itu. Mau tak mau Windy menggunakan waktunya untuk melayani pembicaraan dengan mantan suaminya itu.
"Aku ketemu sama mama tadi," ucap Raikal yang membuat Windy terkejut.
Sejujurnya Windy tak ingin menebak apa pun. Namun, Windy tak mau menjadi penyebab pertengkaran antara ibu dan anak. Kecemasan Windy adalah Raikal benar-benar mengkonfrontasi mamanya dan menggunakan Windy sebagai topik pembicaraan.
"Sebelum kamu menjelaskan apa pun, aku mau tahu tanggapan kamu. Apa aku berhak mendengar mengenai pertemuan kamu dan mama kamu?"
Windy semakin bingung karena Raikal kembali terdiam. Sebenarnya, apa yang ada di dalam pikiran Raikal saat ini?
***
Mama kamu. Bahkan tak ada sebutan kata 'mama' saja yang digunakan oleh Windy untuk mantan ibu mertuanya itu. Raikal menjadi sangat memahami sekarang ini, bahwa memang Windy tidak memiliki ikatan semacam itu dengan Yagya.
"Ical? Kenapa nggak kamu jawab? Jadi aku perlu dengerin mengenai pertemuan kamu dan mama kamu atau nggak?"
"Aku pengen kamu denger, tapi kayaknya percuma juga. Pembicaraan itu nggak bikin masalah selesai. Yang ada aku makin nyesel karena baru tahu respon mama soal kamu yang nggak dianggap berarti."
Windy tidak terlihat mengambil pusing, sebab perempuan itu hanya mengangguk setelah menghela napasnya pelan.
"Ya, aku juga tahu pasti mama kamu nggak akan banyak merespon soal aku. Pesanku cuma satu, Cal. Jangan bertengkar sama keluarga kamu karena perpisahan kita. Aku malah jadi nggak enak kalo kamu melakukan itu."
Raikal tidak tahu apakah Windy hanya merasa datar kepada keluarga pria itu saja atau ternyata Windy sudah biasa-biasa saja kepada Raikal. Ada rasa ingin tahu dalam pikiran Raikal. Dia ingin tahu apakah masih ada rasa cinta yang Windy miliki untuk Raikal? Apakah perempuan itu sudah kebas atas perasaannya pada Raikal? Atau mungkin masih ada rasa cinta yang dimiliki Windy? Tapi kenapa perempuan itu tidak terlihat menunjukkan kecemburuan terhadap hadiah yang Tiara kirimkan?
"Apa kamu baik-baik aja, Dy?" tanya Raikal ambigu.
Bagi Windy, pertanyaan itu tak jelas mengarah ke mana. Apakah untuk respon mama Raikal atau mengenai sesuatu yang masih melekat erat di dalam hati perempuan itu.
"Kenapa aku harus nggak baik-baik aja?" balas Windy dengan pertanyaan juga.
Raikal mendudukan dirinya dan menatap Windy lagi tanpa mengatakan apa pun. Pria itu sudah melakukannya berulang kali seperti itu dan Windy terlihat bingung.
"Kalo nggak ada yang mau kamu bahas lagi aku masuk ke kamar--"
"Yang menerima hadiahnya kamu atau orang lain?" tanya Raikal pada akhirnya.
Raikal bisa melihat mantan istrinya itu berpikir sejenak entah untuk apa.
"Pak Imin yang terima, tapi aku yang masukin ke kamar kamu."
"Kamu tahu siapa pengirimnya?"
Windy menggelengkan kepalanya. "Pak Imin nggak tahu nama perempuan yang kirim hadiah buat kamu. Pak Imin bilang perempuan itu nyari kamu tapi kamu nggak ada, terus pak Imin bilang ada aku di rumah. Mungkin itu yang bikin perempuan itu milih nitipin ke pak Imin."
Raikal mengangguk dengan pelan. Pria itu berdiri setelah meletakan ponselnya di atas sofa. Langkah Raikal jelas tertuju pada Windy yang berdiri tanpa mengatakan apa-apa. Perempuan itu tidak terlihat akan memundurkan langkah meski Raikal bisa saja mencium perempuan itu. Namun, Raikal memang tak berani untuk mencium Windy karena mengingat kemarahan mantan istrinya itu beberapa waktu lalu. Yang Raikal bisa lakukan adalah menatap Windy dan dibalas perempuan itu tanpa mundur. Setelah beberapa saat bertatapan, Raikal memilih menurunkan pandangan dan menaruh telapan tangannya pada permukaan perut Windy.
"Hai! Apa kamu baik-baik aja hari ini? Bubu kamu pasti maksain buat kerja keras hari ini cari kerjaan. Papi di sini nungguin kamu pulang dengan perasaan takut. Kalian berdua perempuan, nggak ada yang jagain kalo ada apa-apa sama kalian."
Raikal bersyukur karena Windy tidak menjauhkan diri, padahal tadi pagi mereka masih saling berdebat dan meninggalkan kesan tak akur. Untung saja Windy sepertinya melupakan kejadian tadi pagi dengan cepat. Raikal memang tak salah memilih pasangan, karena Windy bukan tipikal perempuan yang selalu mengungkit masalah yang sama berulang kali.
"Kenapa pertanyaan papi nggak dijawab, Nak?"
"Aku oke, Papi."
Raikal tersenyum mendengar jawaban yang datangnya dari bibir Windy dan sengaja dibuat seperti suara bayi itu. Rupanya perempuan itu masih sama tidak sok menjaga image di depan Raikal.
"Beneran? Kamu nggak lagi bantuin bubu aja, kan? Papi nggak mau kamu kecapekan, loh."
"Cal, namanya hidup kalo capek itu wajar. Kalo nggak ada capeknya, malah kayak robot. Manusia itu, kan, punya perasaan. Mana bisa nggak capek, sih?"
Raikal yang semula menatap sekilas Windy kembali fokus pada perut perempuan itu.
"Denger nggak, Nak? Bubu kamu kesel karena papi nanya-nanya sama kamu. Bubu kayaknya nggak suka papi khawatir sama kamu--"
"Jangan sembarangan kalo ngomong!" Windy langsung menutup mulut Raikal dengan tangan.
Bukannya merasa tersiksa, Raikal malah tertawa dalam bekapan tangan mantan istrinya. Dia senang karena sore ini mereka tidak bertengkar dan bisa sedikit mengembalikan suasana yang tadinya sangat menekan mereka satu sama lain hingga menjadi sangat gloomy. Mungkin sebaiknya Raikal memang tak perlu memikirkan apa pun lagi yang berkaitan dengan keluarganya. Toh, Windy sudah merasa bebannya berkurang dengan tidak menjadi menantu Yagya lagi. Raikal tak mau menambah beban perempuan itu dengan pembahasan mengenai keluarga Raikal. Semakin diungkit maka akan semakin menyakitkan bagi Windy. Dan mungkin ... Raikal bisa memikirkan kemungkinan bahwa mereka bisa damai dan dekat sebagai orangtua bayi mereka. Tentu saja selama tak ada pihak yang mendekati Windy.
[Di Karyakarsa udah aku up sampe bab 16 ya. Happy reading!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top