Tujuh Belas
Aku menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Yudistira sekali lagi. Kali ini aku berhasil, karena dia tidak berkeras menghalangiku lagi. Lebih baik memasang jarak sejauh mungkin supaya dia tidak tahu kalau kedekatan kami secara fisik memengaruhi kinerja otakku dalam berpikir.
"Kami hanya bicara, Bu," Yudistira menjawab Ibu lebih dulu.
"Bicaranya bisa sambil duduk kayak orang normal lain, kan? Kamu nggak perlu desak Kay sampai dia nggak bisa bergerak gitu. Yang ada juga kamu malah bikin dia risi. Lagian, ekspresi kamu nggak kayak orang ngajak bicara baik-baik."
"Ibu dari mana?" Aku buru-buru masuk dalam percakapan supaya Yudistira tidak menjawab Ibu lagi. "Aku ke sini nyusulin Ibu."
"Hanya lihat-lihat waterpark. Sudah mulai ramai." Ibu duduk di sofa. Aku menyusul di sampingnya. "Tempat ini beneran jadi tempat liburan yang menyenangkan. Jadi alternatif bagus. Anak-anak nggak harus main di mal melulu."
"Mas Yudis ikut pulang besok?" Mbak Yesti yang sejak tadi berdiri saja ikut bicara.
"Aku pulang senin pagi saja," jawab Yudistira. Dia juga ikut duduk di sofa yang terpisah dari yang kutempati bersama Ibu.
"Kamu pulang besok," sela Ibu. "Kita sama-sama. Ke Jakarta itu naik pesawat, bukan bis. Kasihan Vincent kalau disuruh bolak-balik."
"Aku bisa naik pesawat komersial, Bu. Vincent nggak harus balik buat jemput aku lagi."
"Merepotkan. Lagian, resepsi Nadine besok malam. Masa kamu nggak hadir di resepsi sepupu kamu sendiri? Hubungan kalian kan dekat. Bisa ngamuk dia kalau kamu nggak datang. Dia menikah, bukan sekadar ulang tahun."
"Tapi, Bu, a—"
"Kamu pulang besok!" Ibu mengibas dan melihat ke arahku. "Ikut Ibu ke kamar, kita harus bicara."
Aku langsung membuntuti Ibu tanpa berkata apa-apa. Bersama Ibu ribuan kali lebih baik daripada dikurung Yudistira seperti tadi. Untung saja Ibu tidak salah paham karena posisi kami kalau dilihat sepintas lebih mirip pasangan yang bersiap make out daripada berbicara.
Aku menutup pintu kamar dan menyusul Ibu duduk di pinggir tempat tidur.
"Hubungan kamu sama Adam bagaimana?" Ibu bertanya tanpa basa-basi. "Ibu nggak bermaksud ikut campur lagi. Ibu hanya bertanya sebagai Ibu kamu."
Aku menggeleng. "Hanya teman saja, Bu. Nggak lebih."
"Dia kelihatannya baik."
Adam memang baik, tetapi aku memilih tidak menjawab.
"Kamu pernah dekat dengan orang lain lagi setelah bercerai?"
Aku buru-buru menggeleng lagi. Boro-boro punya hubungan dengan orang lain, move on saja masih dalam wacana. Aku tidak akan menggunakan orang lain untuk mengatasi sakit hati dan kesepian. Aku tahu sakitnya dipermainkan, jadi aku tidak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain.
"Mungkin memang sudah saatnya kamu mencoba. Gagal dengan Yudis bukan berarti kamu juga nggak bisa bahagia dengan orang lain. Pernikahanmu dengan Yudis itu karena campur tangan Ibu. Kalau hubungan baru kamu berdasarkan keputusan dan pilihan kamu sendiri, kemungkinan berhasilnya pasti jauh lebih besar."
Dulu aku memilih Yudistira murni dari hati juga. "Tapi aku dan Adam beneran hanya teman untuk sekarang, Bu."
"Ibu nggak bicara tentang Adam saja. Maksud Ibu, hubunganmu dengan siapa saja yang akan kamu pilih nanti."
Aku diam saja.
"Ibu mengerti kalau kamu sekarang jauh lebih berhati-hati karena pernah gagal. Tapi orang yang pernah gagal itu sudah belajar bagaimana supaya kegagalannya nggak berulang." Ibu menggenggam tanganku. "Ibu hanya mau kamu bahagia, Kay. Ibu sudah pernah merusak hidupmu, dan Ibu belum bisa lega kalau belum melihat kamu bahagia."
"Aku bahagia sekarang, Bu." Aku suka apa yang aku kerjakan sekarang. Kebahagiaan tidak diukur dari punya pasangan atau tidak, kan?
"Ibu mau kamu lebih bahagia daripada sekarang. Nggak ada kebahagiaan yang melebihi daripada menjadi seorang Ibu untuk perempuan. Punya anak mungkin merepotkan, tetapi rasanya tetap luar biasa, karena hanya kepada anak saja kita bisa memberi semua yang kita miliki tanpa pamrih. Kita masih memikirkan pamrih pada pasangan, atau orangtua sekalipun, tapi pada anak, kita nggak akan berhitung, Kay. Ibu dulu berharap bisa menimang cucu dari kamu dan Yudis, tetapi kenyataannya malah seperti ini. Jadi Ibu harus ikhlas mendapat cucu dari kalian berdua dengan pasangan masing-masing. Nggak apa-apa. Cucu Ibu bisa lebih banyak, kan?"
Pernyataan Ibu membuatku bertanya-tanya. Apakah Yudistira sudah bersama seseorang sekarang? Siapa, Indira? Melihat gelagat Ibu yang berusaha menjauhkan Yudistira dariku sejak di restoran tadi, sepertinya memang begitu. Namun, aku tidak mau bertanya. Untuk apa juga?
Sebagai sesama perempuan, aku yakin Ibu tahu aku mencintai Yudistira dulu, sehingga dia mengupayakan pernikahan kami. Menanyakan status Yudistira akan membuat Ibu tahu aku masih menyimpan perasaan itu. Aku ingin Ibu menangkap kesan kalau aku sudah melanjutkan hidup.
"Kalau sudah bertemu orang yang tepat, aku pasti akan menjalani hubungan yang serius, Bu. Aku harus yakin orangnya tepat dulu."
"Kamu harus yakin pada perasaanmu, Kay, bukan pada orang itu. Kamu yang bertanggung jawab untuk kebahagiaanmu, bukan orang lain."
Itu bagian yang sulit. Aku harus menghilangkan perasaanku yang sekarang dan menumbuhkannya untuk orang lain. "Iya, Bu." Itu urusanku dengan hatiku sendiri, tidak perlu aku akui pada Ibu. Semua orang punya perdebatan dengan nurani.
**
Ibu akan berangkat pukul 4 subuh dari Malino ke Makassar, jadi aku menyetel alarm satu jam sebelumnya untuk bersiap-siap. Aku akan ikut mengantar ke bandara. Sedih melepas Ibu, tetapi karena hubungan kami sudah tersambung kembali, kami bisa bertemu kapan saja.
Aku nyaris memekik saat pintuku didorong dari luar saat aku baru saja selesai memutar kunci. Apakah ada maling atau perampok yang berhasil melewati pos satpam? Mungkin saja orang ini masuk sebagai pengunjung, dan tidak keluar lagi saat jam kunjungan berakhir. Menanti saat yang tepat untuk beraksi.
"Ini aku, bukan rampok." Yudistira yang menyelinap masuk seperti membaca pikiranku.
"Kamu ngapain di terasku jam segini?" desisku. Aku menjaga supaya suaraku tidak terlalu keras. Bisa saja ada satpam yang berkeliling di sekitar vila. Atau pegawai lain yang sif malam.
"Dingin banget di luar." Yudistira tidak menjawab pertanyaanku. Dia menutup pintu di belakangnya. "Aku pikir jaketku sudah tebal. Aku heran kamu bisa terbiasa." Dia menggosok kedua belah tangan dan meniupnya.
"Aku tanya, kamu ngapain di terasku jam segini?" ulangku lebih tegas.
"Menunggu kamu buka pintu, Kay. Kalau aku ngetuk kamu pasti nggak mau buka. Kamu punya kopi atau teh panas? Aku beneran kedinginan."
Siapa yang suruh tinggal di luar? "Sudah berapa lama kamu di teras?" Aku penasaran juga.
"Belum sejam. Kalau kamu nggak buka pintu sekarang, setengah jam lagi aku pasti sudah membeku. Ada kopi, kan? Nggak apa-apa instan."
"Ini bukan restoran." Aku menekan sakelar sehingga ruangan menjadi terang-benderang. Aku bisa melihat Yudistira lebih jelas. Dia memang kedinginan, tapi itu salahnya sendiri. Aku tidak menyuruhnya ronda di teras.
"Aku bisa bikin sendiri." Dia berjalan masuk menuju pantri. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang. Menyusahkan saja.
"Di sebelah," kataku saat melihatnya membuka salah satu pintu lemari gantung. Aku menghela napas dan menghampirinya. "Biar aku yang bikin, kamu duduk saja." Aneh melihat dia berkeliling di tempatku tanpa rasa canggung seperti itu.
"Makasih, Kay." Yudistira menurut. Dia duduk di salah satu stool.
Aku diam saja dan memilih menjerang sedikit air. Aku lebih suka membuat kopi dengan air panas yang baru mendidih daripada air dispenser. Beberapa menit menunggu air itu mendidih kami sama-sama tidak bicara. Hening menguasai ruangan.
"Kalau sudah minum, langsung balik ke sebelah saja. Nggak sampai sejam lagi kita sudah harus ke Makassar. Jangan sampai Ibu tahu kamu menyelinap ke sini untuk minum kopi." Aku meletakkan cangkir kopi yang baru kuseduh di depan Yudistira.
"Aku ke sini untuk bicara, bukan minum kopi. Tadi kita nggak sempat bicara karena sama-sama emosi." Yudistira mengangkat cangkirnya dan meletakkannya kembali tanpa disesap. Memang masih terlalu panas. "Kamu pasti bosan mendengarku terus-menerus minta maaf, tapi hanya itu yang bisa kulakukan, Kay. Kata-kata yang telanjur keluar nggak bisa ditarik kembali meskipun ingin. Aku tahu kamu sakit hati banget karena sampai sekarang kamu belum bisa memaafkan aku."
Aku menunduk menekuri jari-jari. Ke depannya, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, aku akan sering bertemu Yudistira di acara keluarga karena hubunganku dengan Ibu-Bapak sudah normal. Bersikap keras akan membuatnya curiga aku belum move on. Jangan sampai dia malah tahu aku main hati dalam hubungan kami yang bagi dia hanyalah sebatas fisik.
"Mungkin aku memang berlebihan menanggapi kamu. Kamu benar, kita sudah berpisah cukup lama. Seharusnya aku nggak bersikap seperti ini. Aku sudah nggak punya alasan untuk marah juga, kan? Aku hanya masih kaget dengan pertemuan kita." Aku mengangkat kepala dan menatap Yudistira. Semoga aku tidak terlihat gentar. "Sudah tutup buku. Kita nggak akan membahasnya lagi. Kita akan berbaikan demi semua orang. Bapak-Ibu, juga kita berdua. Bukan pura-pura."
Yudistira terlihat ragu. Dia menyipit membalas tatapanku. "Benarkah? Jujur, aku lebih suka kamu melampiaskan semua kemarahan kamu lebih dulu supaya kamu benar-benar lega."
Aku mencoba tersenyum. "Momennya sudah lewat, kan?" Rasanya aku sudah pernah mengatakan ini juga. Semoga setelah ini aku tidak lagi meradang kembali seperti saat terakhir mengucapkannya. "Kita bisa menghadapi ini lebih dewasa. Lagian, kalau aku keras, kamu akan terpancing. Seperti tadi. Jadinya malah seperti anak-anak."
Yudistira kembali mengangkat cangkir. Kali ini dia menyesap kopinya. "Ibu tadi bilang apa sama kamu?" dia mengalihkan arah percakapan.
"Ibu bilang dia ingin aku bahagia," jawabku jujur.
"Dengan Adam?"
"Dengan siapa saja yang bisa membuatku bahagia. Mungkin saja orang itu memang Adam." Aku turun dari stool di sebelah Yudistira. Ini bukan percakapan yang nyaman. Bicara kebahagiaan dengan orang yang merenggut paksa kebahagiaanku. "Aku ganti jaket dulu. Di luar pasti dingin banget."
Yudistira menangkap pergelangan tanganku dan ikut turun dari kursinya. "Jangan kasih dia kesempatan, Kay!"
"Dan jangan mengaturku. Kita baru saja sepakat untuk berdamai, kan? Baru beberapa menit lalu." Sulit sekali untuk mendinginkan kepala supaya tidak memulai pertengkaran. Aku tidak ingat kami pernah bertengkar sebelum peristiwa itu, tetapi setelahnya, hanya dengan melihatnya, aku bisa masuk mode mengamuk dalam beberapa detik.
"Kamu nggak akan berhubungan dengan orang lain." Yudistira menarikku sehingga menempel kepadanya. Dia menunduk, memiringkan kepala dan menciumku dalam. Aku masih membelalak kaget saat dia menjauhkan kepala dan bilang, "Orang sempurna seperti kamu nggak akan melibatkan diri dalam hubungan yang rumit. Ini akan membuat hubunganmu dengan siapa pun akan rumit." Dia kembali menciumku.
Apa-apaan ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top