Tujuh

Huwaaahhh.... setelah menghilang sejak subuh, akhirnya lapak ini kembali juga. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaessss....

**

Semua supervisor sudah berkumpul di aula saat aku menyuruh salah seorang pegawai untuk memanggil Yudistira di vilanya. Seharusnya aku sendiri yang melakukannya, tetapi aku memilih menunggu di aula seperti yang lain. Lebih baik memulai basa-basinya di tengah orang banyak.

Hari ini aku akan memperkenalkan Yudistira sebagai pemilik agrowisata Malino Permai yang baru. Dia tidak memintaku melakukannya, tetapi karena dia memang kebetulan berada di sini, jadi sekalian saja. Supaya para pekerja yang berpapasan dengannya tidak keheranan kalau Yudistira memilih berkeliaran menginspeksi di tempat ini selama kunjungannya.

Ketika dia akhirnya masuk ke ruang pertemuan, aku mempersilakan Yudistira duduk di kepala meja. Meja di aula ruang pertemuan diatur persegi supaya semua orang bisa saling melihat. Ruangan ini yang rutin kupakai untuk rapat evaluasi bulanan untuk mengetahui kinerja Malino Permai.

Bisik-bisik segera terdengar saat melihat Yudistira duduk di kursi yang biasanya Dean atau aku tempati itu. Memang belum ada yang tahu perubahan kepemimpinan di tempat ini selain aku.

"Saya mengumpulkan Bapak dan Ibu semua untuk memperkenalkan pemilik baru Malino Permai," kataku setelah basa-basi pembuka. "Pak Yudistira Wijaya ini sudah resmi menggantikan posisi Pak Dean setelah mengambil alih tempat ini. Aku menoleh kepada Yudistira. "Selanjutnya, saya persilakan Pak Yudistira memperkenalkan diri kepada Bapak dan Ibu Supervisor yang mengawasi seluruh pekerjaan di tempat ini." Jujur, kegiatan seperti ini tidak ada dalam bayanganku saat membuat daftar alasan mengapa aku harus bertahan di tempat ini. Aku pikir Yudistira seperti halnya Dean hanyalah pemilik di atas kertas yang menerima laporanku setiap bulan.

"Terima kasih, Kay." Yudistira juga menoleh ke arahku. Aku buru-buru menunduk dan menatap catatanku. Aku tidak suka dia memanggilku seperti itu. Di sini aku biasa dipanggil dengan sebutan "Mbak Kayana" atau "Mbak Na". Pemenggalan Kay itu hanya dipakai oleh keluarganya. Dimulai dari ibunya, ayahnya, dan kemudian Yudistira sendiri. "Tempat ini tidak akan mengalami perubahan apa pun," lanjut Yudistira. "Selain perubahan kepemilikan, semuanya masih dipegang Kay. Saya tidak akan ikut campur dalam pengelolaan karena tahu tempat ini sudah berada di tangan terbaik. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu karena sudah membantu Kay mengelola tempat ini. Saya yakin ke depannya, tempat ini akan menjadi tujuan wisata yang terkenal di Sulawesi Selatan. Tidak seperti di Jawa, agrowisata memang belum familier di Sulawesi, tapi saya percaya tempat ini akan menjadi pelopor tempat wisata berbasis pertanian dan ramah lingkungan di Indonesia bagian timur."

Aku menunggu Yudistira menyelesaikan sambutannya, sebelum melanjutkan dengan presentasi profil Malino Permai secara resmi dengan menampilkan video dan foto-foto tentang tempat ini. Setidaknya dia harus tahu apa yang dia beli dari Dean, meskipun akan mengabaikanya kemudian.

Setelah pertemuan itu selesai, dan kami tinggal berdua, aku mengulurkan laporan yang sudah aku siapkan. "Ini neraca keuangan tahun lalu, dan triwulan pertama tahun ini."

Yudistira menerima dan membukanya sambil lalu. Aku tahu dia tidak membaca isinya karena hanya beberapa detik dia sudah menutup laporan itu. "Aku nggak minta perkenalan resmi seperti tadi, Kay. Toh kamu yang akan mengelola tempat ini."

"Bagaimanapun, kamu pemilik tempat ini sekarang. Kebetulan kamu datang, jadi sekalian saja." Aku mengabaikan protesnya. "Oh ya, kapan kamu pulang?"

"Aku baru datang kemarin sore, tapi kamu sudah tanya kapan aku pulang. Sekarang weekend, Kay."

Aku menatapnya waspada. "Kamu biasanya tetap sibuk saat weekend." Aku lebih suka dia tidak tinggal di sini.

"Sekarang kan nggak biasa," Yudistira menjawab seenaknya. "Biasanya aku di Jakarta, sekarang aku di Makassar. Aku nggak punya teman dekat di sini, jadi nggak akan sibuk saat weekend."

Teman-temannya. Seketika aku teringat beberapa laki-laki. Dia memang punya beberapa sahabat yang wajahnya kukenal karena mereka pernah berkunjung ke kantor. Aku tersenyum getir. Satu-satunya interaksiku dengan sahabat-sahabat Yudistira adalah saat menyalami mereka di resepsi pernikahanku.

"Aku nggak ngajak kamu bertemu teman-tamanku karena kamu nggak akan cocok dengan mereka," katanya dulu saat aku menanyakan tujuannya saat pamit keluar rumah di akhir pekan. "Kamu kan agak serius gitu orangnya, sedangkan mereka ngomongnya sembarangan. Aku nggak yakin kamu cocok dengan joke-joke mereka."

Waktu itu aku berpikir dia melakukannya untuk kenyamananku, dan aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Bodohnya aku. Ternyata dia memang sengaja tidak melibatkan aku dalam kehidupan sosialnya karena dia tahu kalau aku tidak permanen dalam hidupnya. Aku adalah bagian yang harus disimpan di satu tempat, sementara dia menjalani bagian hidupnya yang berbeda di tempat lain.

"Aku mau ke kantorku." Aku bangkit dari kursi. Aku tidak akan mengenang masa lalu sementara Yudistira duduk di dekatku. "Kalau kamu mau tur keliling perkebunan dan tempat lain di sini, aku akan meminta seseorang untuk menemani kamu."

"Kenapa bukan kamu saja? Kamu pasti lebih kenal tempat ini daripada orang lain."

Tujuanku mengirimnya tur adalah untuk menghindarinya."Aku ada pekerjaan lain." Aku berjalan menuju pintu. Yudistira mengiringiku. "Jadi, mau tur?"

"Nanti saja. Kantor kamu di mana?"

Aku menghentikan langkah. "Kenapa? Kamu mau disiapkan kantor sendiri?" Dean tidak memiliki kantor di sini karena dia memang tidak membutuhkannya. Pertemuan kami biasanya tidak formal, dan dilakukan di ruanganku.

"Nggak. Bukan gitu. Aku nggak butuh kantor di sini. Aku hanya mau lihat kantor kamu saja."

Aku menghela napas panjang. Bersikap profesional itu terkadang tidak mudah. Aku melanjutkan langkah keluar dari aula. "Kantorku di situ." Aku menunjuk salah satu pintu di dekat aula.

Yudistira berjalan mendahului dan membuka pintu ruanganku yang memang tidak terkunci. Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya. "Tempatnya nyaman," Dia mengedarkan pandangan di sekeliling ruangan sebelum duduk di sofa. "Tapi formal. Khas kamu banget. Tetap nggak meletakkan apa pun yang sifatnya pribadi di kantor."

Aku hanya mengawasinya tanpa mengatakan apa pun. Aku akan mengatur rumahku sesuai kepribadianku, tetapi tidak akan mendadani kantor. Aku tidak akan membawa barang pribadi di kantor. Aku pernah melakukannya sekali dan menyesalinya.

Setelah menikah, aku mengambil salah satu foto pernikahan terbaikku dan meletakkannya di meja kantor. Dia pasti tertawa dalam hati saat melihat foto itu di sana. Mungkin dia malah tidak hanya tertawa sendiri, tetapi juga membagi lelucon itu dengan teman-temannya, "Lo semua harus lihat betapa berdedikasinya istri jadi-jadian gue pada pernikahan konyol kami. Dia pikir gue akan hidup selamanya dengan dia. Kasihan."

Aku memilih duduk di kursiku dan menghidupkan laptop. "Kalau nggak mau tur, kamu sebaiknya balik ke vila dan istirahat saja."

"Aku sudah cukup istirahat. Tidurku nyenyak banget semalam."

"Kamu akan bosan kalau nggak melakukan apa-apa. Atau kamu ke Makassar saja." Aku bisa menyuruh sopir mengantarnya ke sana.

"Kamu mau ke Makassar? Ya sudah, kamu kasih aku tur di Makassar saja. Kalau ke Makassar ruteku hanya hotel dan bandara saja. Aku belum pernah benar-benar melihat Makassar yang sebenarnya."

Aku nyaris memutar bola mata. Siapa juga yang mengantarnya berkeliling. "Aku nggak ke Makassar saat weekend."

"Ya sudah, kita di sini saja. Di Makassar juga yang lihat hanya macet dan gedung-gedung juga, kan?"

Di Makassar banyak yang bisa dilihat selain macet dan gedung, tetapi aku malas menanggapi. Aku kemudian sibuk dengan laporan yang masuk. Kejelekan menjadi control freakseperti aku adalah, aku jadi ingin tahu semua hal sampai ke detail, jadi aku selalu melakukan double check untuk semua laporan masuk dan mencocokkannya dengan semua bagian.

Hampir satu jam kemudian, Yudistira masih duduk santai di ruanganku sambil bermain dengan iPad-nya. Aku mendesah. "Kamu nggak bosan di situ?" Kehadirannya membuatku merasa tidak nyaman, meskipun dia hanya diam dan tidak menggangguku bekerja.

"Aku baik-baik saja di sini. Teruskan saja kerjanya."

Aku tidak suka bekerja di bawah pengawasannya, meskipun statusnya sudah menjadi bosku sekarang. "Aku akan temani kamu tur sekarang." Lebih baik berada di ruang terbuka daripada di kantorku yang tertutup berdua. Aku juga sudah kehilangan konsentrasi bekerja.

"Coco Mademoiselle," kata Yudistira pelan, nyaris berbisik saat aku membuka pintu. Dia berdiri persis di belakangku. Suaranya membuat bulu kudukku meremang. "Kamu masih pakai parfum yang sama."

Tidak, aku tidak akan mengingat saat-saat intim yang kami habiskan di tempat tidur. Itu bagian yang benar-benar ingin aku hapus. Teganya dia membuatku merasa diinginkan dan dipuja sebagai perempuan hanya sebagai pemuas nafsu semata!

**

Update berikutnya berdasarkan vomen ya. Jadi jangan lupa bagi bintang.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top