Tiga Puluh Tiga

Seperti harapanku, Yudistira sudah tertidur saat aku kembali ke kamarnya. Ada tumpukan kotak makanan di atas meja yang menandakan Pak Mus juga sudah dari sini.

Aku mendekat ke ranjang yang ditempati Yudistira dan mengawasinya. Tarikan napasnya teratur. Dia benar-benar lelap. Kalau dilihat dalam kondisi seperti ini, aura jail dan menyebalkannya sama sekali tak tampak.

Sejak dulu aku suka mengamati wajahnya saat sedang tidur. Aku selalu terjaga lebih dulu daripada dia. Dan sebelum membangunkannya, aku akan mengawasinya beberapa waktu. Saat itu aku selalu dipenuhi rasa syukur karena merasa beruntung bisa menikah dengan laki-laki yang kucintai. Tertidur dan terbangun di dalam pelukannya. Jadi bayangkan bagaimana perasaanku saat tahu bahwa Yudistira tidak melakukan semua itu dengan tulus karena mencintaiku. Aku hanyalah kewajiban baginya.

Aku menggelengkan kepala, tidak ingin mengingat rasa sakit itu lagi. Aku lantas berbalik menuju kamar mandi untuk buang air kecil dan membasuh wajah yang terasa berminyak. Beberapa minggu terakhir ini, jarak terasa seperti olok-olok saja. Jakarta-Makassar yang seharusnya jauh karena berada di pulau berbeda dan dipisah lautan luas, terasa sangat dekat. Tadi pagi aku masih di Malino, sekarang sudah di Jakarta.

Keran air baru saja mati secara otomatis saat ketukan pintu terdengar. Aku belum sempat keluar untuk menjawab salam saat mendengar pintu itu malah terkuak diiringi obrolan beberapa orang. Suara yang sama sekali asing.

"Dijenguk malah tidur." Terdengar suara yang diikuti kekehan yang lain.

"Cari penyakit sih. Biasanya juga nge-gym, eh malah sok-sokan sepedaan."

Sekarang aku yakin itu sahabat-sahabat Yudistira. Dan aku jadi ragu-ragu untuk keluar dari kamar mandi.

"Sepedaan itu olahraga yang bagus banget," sahut seseorang yang lain. "Gue sepedaan tiap wekeend."

"Lo yakin sepedaan tiap weekend itu emang olahraga bukan buat ngecengin cewek, To? Gue kok nggak yakin ya?"

"Sialan! Gue nggak perlu berburu cewek. Lo nggak lihat antrean cewek-cewek di kantor gue beberapa hari ini?"

"Yang antre karena kantor lo buka lowongan kerja nyari sekretaris itu?"

Tawa riuh kembali terdengar, diikuti umpatan seseorang yang dipanggil "To" itu. Sekarang akan semakin canggung kalau aku mendadak keluar dari kamar mandi.

"Eh, ngomong-ngomong, Dira udah tahu Yudis masuk rumah sakit? Risyad bilang ponsel Yudis rusak jadi nggak mungkin ngasih tahu sendiri, kan?"

"Risyad pasti udah ngasih tahu Dira setelah chat di grup waktu ngabarin kita tadi. Atau mungkin ngasih tahu Dira lebih dulu daripada kita. Nggak mungkin nggak ngabarin dia juga, kan? Dira masih di Penang, kan?"

"Iya, kan katanya seminggu. Kayaknya baru balik besok atau lusa."

Aku pelan-pelan mengunci pintu kamar mandi dari dalam, takut salah seorang teman Yudistira tiba-tiba masuk untuk buang air. Kalau itu sampai terjadi, suasananya bukan lagi hanya canggung, tetapi akan memalukan.

"Mulut gue asem nih. Sial, nggak bisa merokok di lingkungan rumah sakit, kan?"

"Gue udah bilang supaya lo berhenti ngerokok. Nggak ada gunanya."

"Nanti aja berentinya. Pas gue udah nggak punya duit buat beli rokok."

"Lo bakal tetap punya duit sampai 20 turunan, 30 tanjakan, dan 40 tikungan kalau hanya untuk beli rokok, Yas!"

"Ya, artinya gue bakal tetap ngerokok sampai mati dong."

"Ngopi aja, yuk. Daripada gangguan si Kunyuk ini tidur. Ntar kita balik lagi. Risyad katanya mau ke sini juga, kan?"

Aku menunggu sampai tak ada suara yang terdengar lagi sebelum keluar dari kamar mandi. Aku baru tahu ternyata menguping bisa memacu adrenalin karena itulah yang kurasakan sekarang.

Aku kembali mendekati tempat tidur Yudistira untuk mengawasinya sebelum meraih tas dan keluar kamar. Aku akan menghubungi Pak Mus untuk menggantikanku menunggui Yudistira. Rasanya sakit saat mengetahui Yudistira masih berhubungan dengan Indira. Tidak dulu atau sekarang, aku tetap saja hanya orang ketiga di antara mereka. Pipiku terasa basah saat mengusapnya. Tolol sekali bisa tertipu untuk kedua kalinya. Semoga saja aku tidak hamil, supaya tidak perlu terlibat dalam hubungan yang ruwet. Bukan hanya untukku, tetapi juga untuk calon anak itu.

Aku tidak tahu apakah Tuhan menerima doa dari seorang pendosa seperti aku, tetapi aku tetap mengucapkannya dalam hati. Tolong, jangan biarkan aku hamil.

**

Nyaris tengah malam saat aku sampai di rumah Ibu. Pintu ruang kerja Bapak tidak tertutup rapat, dan dari nyala lampu, aku tahu dia masih di dalam. Aku lantas menuju kamar Ibu. Bagaimanapun, aku harus memberitahu Ibu kalau telah melimpahkan tanggung jawab menunggui Yudistira kepada Pak Mus. Aku tahu Ibu tidak akan keberatan. Kondisi Yudistira toh tidak mengkhawatirkan. Dia laki-laki dewasa yang bisa menjaga diri sendiri. Dia bahkan bisa membuat dua orang perempuan terikat padanya di waktu bersamaan. Kurang hebat apalagi, coba?

"Masuk aja, Yes," Ibu menjawab ketukanku. Ibu pasti menyangka aku Mbak Yesti. Aku menguakkan pintu. Ibu berbaring miring memunggungi pintu. "Hasil lab dan semua yang berhubungan dengan dokter kamu simpan baik-baik ya. Jangan sampai kelihatan Kay. Perasaan anak itu halus banget. Dia pasti akan balik tinggal di Jakarta kalau tahu aku sakit. Aku nggak mau dia melakukannya karena terpaksa."

Aku berdiri terpaku tidak jauh dari pintu. Jadi Ibu terlihat sangat lelah di rumah sakit tadi karena memang sakit, bukan karena khawatir tentang kondisi Yudistira?

"Kay...?" Ibu tampak terkejut saat berbalik. Mungkin dia merasa aneh karena tidak mendengar respons dari Mbak Yesti. "Kok kamu di sini?"

"Aku... aku minta Pak Mus yang menunggui Yudis, Bu. Aku...," Aku memilih tidak melanjutkan mengarang alasan. Aku bergegas menghampiri Ibu yang bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang. "Ibu sakit apa?"

Ibu menatapku tak berdaya. "Ibu lebih suka kalau kamu nggak tahu."

"Ibu sakit apa?" ulangku sekali lagi.

"Jangan terlalu khawatir," Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia mengapai tanganku dan mengajakku duduk di sisinya. "Kata dokter prognosisnya nggak terlalu buruk karena ketahuannya masih stadium awal. Proses kemoterapinya juga sudah dimulai kok, Kay. Ibu akan baik-baik saja."

"Kanker?" Itu pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu setelah mendengar penjelasan Ibu. "Sejak kapan, Bu?"

Ibu mendesah. "Beberapa bulan lalu. Ibu periksa karena gampang banget capek. Tapi dokter beneran bilang kemungkinan sembuh total besar banget, Kay. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Astaga, jangan menangis." Ibu mengusap pipiku. "Makanya Ibu nggak mau kamu tahu karena reaksimu pasti kayak gini."

Aku baru merasakan lelah yang seharian terkalahkan oleh adrenalin. Sekarang aku tidak tahu mana yang membuat air mataku tidak berhenti mengalir. Ditipu kedua kalinya oleh Yudistira atau penyesalan karena pernah meninggalkan Ibu sehingga tidak berada di dekatnya di saat-saat dia sangat membutuhkanku seperti sekarang. Yang pasti, aku tidak bisa menghentikan tangis dalam pelukan Ibu yang mengusap punggungku, seolah akulah yang harus dihibur dan ditenangkan, bukan sebaliknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top