Tiga Puluh Satu

Anira, Dean, dan Risyad benar-benar menghabiskan akhir pekan di Malino. Hari Minggu ini adalah hari ketiga, sekaligus hari terakhir mereka berada di perkebunan.

Setelah sarapan, Risyad memintaku memandunya melakukan tur di kebun buah, sementara Anira dan Dean lebih memilih kembali ke vila. Mereka tidak tertarik menggigil di luar ruangan. Lagi pula, tempat ini adalah milik mereka sebelum diambil alih Yudistira. Dean dan Anira sudah hafal detailnya.

"Berkeliling mengawasi tempat ini bisa jadi olahraga yang efektif banget," kata Risyad sementara kami berjalan. "Pantas saja badan kamu masih selangsing dulu, padahal kalau dingin begini kan bawaannya lapar melulu."

"Ada kendaraan untuk berkeliling." Aku menunjuk salah satu kendaraan yang biasa digunakan mengangkut pengunjung yang melintas tidak jauh dari tempat kami. "Aku hanya jalan kaki kalau lokasi yang mau dilihat dekat dengan bangunan kantor. Berkeliling di tempat ini jalan kaki setiap hari bukan olahraga, tapi percobaan bunuh diri. Tempatnya luas banget. Aku bukan atlet yang butuh latihan sekeras itu."

Risyad tertawa. "Waktu lihat kamu di rumah Dean tahun lalu, aku beneran mau negur. Tapi aku pikir waktunya nggak tepat."

Aku menghentikan langkah dan menatap Risyad. "Kenapa?"

"Karena aku tahu Yudis sedang mencari kamu. Artinya waktu itu kamu sedang menghindarinya. Dan menghindari Yudis berarti menghindari teman-temannya juga. Aku nggak mau merusak kenyamanan kamu."

"Tapi kamu mengatakan pada Yudis kalau melihatku di tempat Dean." Aku nyaris memutar bola mata. Itu juga merusak kenyamananku. Aku tidak bilang menyesali pertemuanku kembali dengan Yudistira karena itu membuat hubunganku dengan Ibu dan Bapak membaik, tetapi perasaanku waktu pertama melihatnya datang ke Malino benar-benar bercampur aduk, dan itu jelas tidak nyaman.

"Yudis sahabatku," Risyad sigap membela diri. "Dan aku tahu dia sedang mencarimu. Masa aku nggak bilang padahal tahu kamu ada di mana."

Aku mengalihkan perhatian pada ponselku yang berdering. Telepon dari Mbak Yesti. Jantungku langsung berdegup kencang. Perasaan khawatir seketika menerjang. Mbak Yesti jarang menghubungiku kalau tidak ada hal penting. Ini pasti ada hubungannya dengan Ibu.

"Kenapa?" Risyad menunjuk ponsel yang hanya aku pandangi. "Kok nggak diangkat?"

"Nggak apa-apa. Ini mau diangkat kok." Aku bergerak menjauhinya sebelum mengangkat telepon dari Mbak Yesti. "Ibu kenapa, Mbak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Ibu nggak apa-apa, Kay," jawaban Mbak Yesti dengan nadanya yang setenang biasa membuatku lega. "Aku nggak menghubungi kamu karena Ibu."

Syukurlah Ibu nggak apa-apa. Tinggal jauh dari Ibu memang menimbulkan rasa waswas. Kondisi kesehatannya sejak menjalani operasi transplantasi hati membuatku khawatir. Saat memikirkannya sekarang, rasanya konyol pernah memutus hubungan dengan Ibu karena sakit hati kepada Yudistira. Ternyata, bahkan orang serasional diriku bisa mengambil keputusan impulsif karena terpengaruh perasaan. Khas perempuan. "Ada apa, Mbak?"

"Ibu memang nggak apa-apa, Kay, tapi Mas Yudis masuk rumah sakit."

"Apa?" Baru sekitar 2 jam lalu Yudistira mengirimkan pesan. Memang tidak kubalas, tetapi aku membaca pesan-pesan itu. Isinya hal-hal remeh seperti biasa. Dia sama sekali tidak menyebutkan kalau dia sakit. Laki-laki itu akan menjelma menjadi makhluk paling manja dan berlebihan kalau sedang tidak enak badan, jadi dia pasti akan menyebutkan soal itu kalau memang sakit. Isi pesannya yang terakhir malah mengatakan kalau dia akan bersepeda keliling kompleks perumahannya. Seperti yang kubilang, hal-hal remeh. "Maksudku, dia kenapa, Mbak?" Aku memperbaiki pertanyaanku saat sadar seperti sedang membentak Mbak Yesti.

"Diserempet anak yang sedang belajar nyetir mobil, Mbak."

Aku langsung berpegang pada batang pohon mangga di dekatku. Detak jantungku yang tadi sudah normal, meningkat lagi. "Dia... dia...." Aku kesulitan melanjutkan pertanyaanku. Rasanya tidak siap untuk mendengar berita buruk.

"Dia nggak apa-apa," Mbak Yesti menenangkan. "Maksudku, kakinya kayaknya lumayan parah, tapi dia sadar kok. Ponselnya rusak jadi dia nggak bisa menghubungi kamu langsung. Dia minta aku yang ngasih tahu kamu."

"Ibu gimana, Mbak." Yudistira adalah anak kesayangan Ibu. Aku bisa membayangkan kepanikannnya.

"Ibu belum dikasih tahu. Tunggu Mas Yudis selesai diperiksa dan dirawat dulu. Tapi Bapak ada di sini kok." Mbak Yesti berdeham sebelum melanjutkan. "Mas Yudis minta supaya kamu ke Jakarta. Kamu tahu gimana dia kalau lagi sakit kan, Kay?"

Aku tidak langsung menjawab.

"Ibu pasti akan lebih tenang kalau kamu ada di sini, Kay," lanjut Mbak Yesti.

Aku menghela napas panjang. Mbak Yesti benar, Ibu butuh dukungan dari semua orang yang dekat dengannya. "Aku akan ke Jakarta hari ini, Mbak."

"Itu keputusan bagus, Kay."

Aku kembali menarik napas panjang berulang kali setelah menutup telepon.

"Ada apa di Jakarta?" tanya Risyad yang sudah berdiri di dekatku. Dia rupanya ikut mendengarkan percakapanku dengan Mbak Yesti.

"Yudis kecelakaan," jawabku singkat.

Risyad tampak terkejut. "Yang bener? Belum sejam lalu kami masih telponan kok." Dia mengoyangkan ponsel di tangannya. "Karena nggak bisa datang ke sini, dia terus ngingetin supaya aku nggak meracuni pikiran kamu." Risyad lantas sibuk dengan ponselnya. "Nggak tersambung."

"Kata Mbak Yesti, ponselnya rusak waktu kecelakaan," aku mengulang penjelasan Mbak Yesti.

"Jadi kamu mau ke Jakarta? Kalau gitu, kita bareng aja."

**

Dari bandara, aku dan Risyad memutuskan langsung ke rumah sakit tempat Yudistira dirawat. Meskipun Mbak Yesti sudah mengatakan jika kondisi Yudistira tidak mengkhawatirkan, sulit untuk tidak merasa waswas. Saat ini aku benar-benar menyadari kalau aku memang masih sangat mencintainya. Aku tidak akan merasa seperti ini seandainya rasa cinta itu tidak sebesar yang kurasakan sekarang.

"Yudis pasti nggak apa-apa," kata Risyad menenangkan. Dia menepuk punggung tanganku. Kami berada dalam mobil yang dikemudikan sopir yang menjemputnya. "Katanya cuman keserempet saja, kan?"

"Banyak orang yang tewas karena keserempet." Aku tahu maksudnya baik, dan aku seharusnya tidak membantah, tapi cara Risyad mengatakan kalimat itu terlalu enteng.

"Aku juga khawatir, Kay. Yudis memang kadang nyebelin, tapi dia tetap saja sahabatku. Dia nggak boleh kenapa-napa sampai aku bisa membalas semua candaan konyolnya yang sama sekali nggak lucu. Kamu nggak tahu aja apa yang sudah dia lakukan untuk ngerjain aku sejak kami masih SMP."

Kali ini aku memutuskan tidak membantah dan memilih melihat keluar jendela untuk mengawasi lalu lintas Jakarta yang padat. Kalau Yudistira dan Risyad sudah bersahabat sejak SMP, hubungan mereka pastilah sangat erat. Cara orang mengekspresikan kekhawatiran memang berbeda-beda.

"Waktu Yudis bilang kamu orangnya resmi dan serius banget, aku pikir berinteraksi dengan kamu pasti nggak gampang," Risyad kembali memecah kebisuan di antara kami. "Ternyata setelah kenal kayak gini, kamu nggak seserius yang semula aku duga. Yudis memang hanya nggak mau ngenalin kita saja dulu, karena dia takut aku beneran tertarik sama calon istrinya."

Aku menoleh dan membalas tatapan Risyad. "Aku yakin kamu dan sahabat Yudis yang lain tahu alasan mengapa Yudis menikahiku."

Risyad tersenyum. "Tentu saja. Karena dia akhirnya menemukan orang yang bisa mengimbangi dan mengontrolnya."

Aku ikut tersenyum miris. "Apa aku kelihatan sebodoh itu?"

Risyad menyipit melihatku. Senyumnya menghilang. "Maksud kamu?"

"Kamu pikir aku percaya Yudistira kalau nggak bilang sama kalian kalau dia menikahiku atas permintaan Ibu? Nggak usah pura-pura nggak tahu mengapa Yudis menikah denganku dan mengapa pula kami bercerai. Aku nggak sebodoh itu."

Risyad langsung meraih ponselnya yang berdering. Terlalu cepat sehingga jelas terbaca kalau dia menghindar melanjutkan percakapan itu. Aku kembali melihat keluar jendela sementara Risyad menjawab teleponnya.

Diingatkan kembali tentang alasan pernikahanku meskipun tidak secara langsung terasa menyesakkan. Apalagi oleh sahabat yang selama ini berusaha Yudistira jauhkan dariku. Orang yang pasti menjadi tempat curhat Yudistira saat merasa bimbang ketika Ibu menyodorkan permintaan itu. Bisa saja keputusan yang dibuat Yudistira untuk menerima permintaan Ibu terjadi karena campur tangan teman-temannya.

"Aku minta maaf kalau jadinya malah membicarakan hal yang mungkin sangat sensitif untuk kamu, Kay," suara Risyad terdengar lagi setelah dia menutup teleponnya. "Hanya saja, kamu nggak seasing itu untuk kami, teman-teman Yudis, karena dia sering banget ngomongin kamu."

Aku tidak yakin soal itu, tetapi tidak menanggapi.

"Saat sahabat kamu terus membicarakan istrinya, otomatis kamu merasa mengenalnya, meskipun hanya melalui sudut pandangnya. Mungkin itu yang membuatku jadi bersikap sok akrab sama kamu. Dhias, Tanto, dan Rakha juga pasti akan merasa seperti itu saat bertemu kamu."

Aku terus diam. Syukurlah karena kecanggungan itu tidak berlangsung lebih lama karena mobil yang kami tumpangi akhirnya memasuki pelataran parkir rumah sakit.

Ada Ibu dan Mbak Yesti di kamar perawatan Yudistira saat aku dan Risyad masuk ke sana.

"Kay...!" Yudistira lebih dulu berseru saat aku muncul dari balik pintu. Melihat senyumnya yang lebar, aku merasa menghabiskan terlalu banyak energi untuk khawatir. Kalau tidak melihat betis sampai kakinya yang dibebat, aku tidak percaya dia benar-benar kecelakaan. Tidak ada tanda-tanda kemuraman atau kesakitan layaknya orang yang baru tertimpa musibah.

Aku bergerak mendekati dan memeluk Ibu lebih dulu.

"Makasih sudah datang, Kay." Ibu mengusap punggungku. "Ibu sampai bosan disuruh menghubungi kamu terus. Yudis nggak percaya waktu Yesti bilang kamu akan datang hari ini juga."

"Aku bukan nggak percaya, Bu. Aku hanya mau memastikan saja," jawab Yudistira berkelit.

"Lo kenapa bisa sampai keserempet sih?" Risyad yang sudah berada di dekat tempat tidur Yudistira menggeleng-geleng. "Kedengarannya nggak elit banget. Private jet lo mendarat darurat di halaman Istana Merdeka, itu baru keren."

"Sialan! Keserempet aja bikin tulang pergelangan kaki gue sampai geser. Gue landing dengan posisi salah pas sepeda gue diseruduk dari belakang. Gue masih terlalu muda untuk ngalamin kecelakaan elit yang bikin nyawa melayang."

"Sudah makan, Kay?" Ibu membuatku mengalihkan perhatian dari Yudistira dan Risyad. "Kalau belum, kamu pulang ke rumah saja dulu sama Pak Mus. Biar Ibu sama Yesti yang nungguin Yudis di sini."

"Ibu sama Mbak Yesti yang pulang istirahat saja," Yudistira menjawab sebelum aku sempat membuka mulut. "Biar Kay yang nungguin aku di sini. Suruh Pak Mus yang bawain makanan untuk Kay." Dia kembali melihat Risyad. "Lo juga pulang deh. Capek kan dari Makassar?"

"Gue barengan sama Kay dari Makassar. Dia juga pasti capek," jawab Risyad sambil tertawa menggoda.

"Kay bisa istirahat di sini sambil nungguin gue."

"Udah uzur, modusnya masih ala ABG. Nggak malu sama umur?"

Ibu mengusap lenganku. "Kamu nggak apa-apa tinggal di sini, Kay?"

Wajah Ibu tampak lelah sehingga aku langsung mengangguk setuju. "Nggak apa-apa, Bu. Ibu dan Mbak Yesti pulang saja." Urusan kecanggungan berdua satu ruangan bersama Yudistira untuk waktu yang lama akan kupikirkan belakangan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top