Tiga Puluh Lima
Sosok Indira masuk dalam garis pandangku saat mobil yang dikemudikan Pak Mus berhenti di pelataran parkir rumah sakit. Meskipun hanya melihatnya dari balik kaca jendela yang gelap, dia masih semenakjubkan yang terakhir kuingat. Pakaian yang jelas tampak didesain khusus untuk tubuhnya, dan make up natural yang semakin menonjolkan kecantikannya. Sulit untuk tidak merasa iri, padahal aku bukan orang yang gampang punya perasaan seperti itu saat melihat perempuan lain, betapa pun cantiknya mereka.
Semua laki-laki normal pasti akan jatuh cinta dengan mudah kepada perempuan seperti Indira. Saat ini aku semakin memahami betapa berat pengorbanan Yudistira untuk Ibu. Sangat tidak mudah melepas perempuan seperti Indira. Dan dia akan melakukannya untuk kedua kali.
Berada di posisi Indira juga pasti sangat menyebalkan. Kehilangan laki-laki yang dicintainya karena perempuan yang kelasnya bahkan jauh berbeda dengan dirinya pasti menyesakkan. Apalagi dia terancam mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Kalah dari perempuan yang sama. Aku.
Sepanjang hidup, aku tidak pernah membayangkan akan masuk dalam hubungan orang lain sebagai orang ketiga. Aku pernah menjadi saksi tangisan Anira yang cukup panjang saat pacarnya ketika kuliah meninggalkannya untuk orang lain. Ketika itu aku berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah menjadi alasan perempuan lain meneteskan air mata karena hubungan asmara segitiga.
Sialnya, ternyata aku berada di posisi itu tanpa sadar karena Yudistira menempatkan aku di sana dengan segala tipu dayanya.
"Kita sudah sampai, Bu," suara Pak Mus menyadarkanku. Dia pasti berpikir aku melamun sehingga tidak sadar kami sudah sampai di rumah sakit.
"Iya, Pak. Ini mau turun kok." Aku mendorong pintu mobil persis ketika mobil Indira yang dikemudikan sopir meninggalkan pelataran parkir.
Syukurlah kami tidak bertemu di ruang perawatan Yudistira, karena suasananya akan luar biasa canggung kalau itu sampai terjadi.
Sebenarnya aku tidak harus ke rumah sakit hari ini karena Ibu tidak mengajakku saat bilang akan ikut menjemput Yudistira pulang. Namun, rasanya tidak benar saja membiarkan Ibu pergi bersama Mbak Yesti, sementara aku tinggal di rumah. Jadi aku menawarkan diri ikut supaya Ibu merasa kalau aku dan Yudistira memang benar-benar sudah berdamai. Sama sekali tidak ada ganjalan lagi di antara kami, dan bertemu Yudistira sama mudahnya dengan bertemu Ibu, Bapak, atau Mbak Yesti.
Masalahnya, tepat saat kami akan keluar rumah, tiba-tiba ada keluarga yang datang bertamu. Kadang-kadang semesta memang tidak merestui rencana-rencana yang kita buat. Ibu dan Mbak Yesti harus tinggal, sementara aku akhirnya tetap pergi ke rumah sakit.
Yudistira tidak sendiri di dalam kamarnya ketika aku dan Pak Mus masuk. Ada seorang laki-laki muda lain yang ada di situ. Aku belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Melihat gesturnya menghadapi Yudistira, aku yakin dia bukan salah seorang sahabatnya. Geraknya menunjukkan rasa hormat.
"Nggak macet ya, kok cepat banget sampainya?" Yudistira mengikuti gerakanku dengan tatapan.
"Dokternya bilang sudah bisa pulang sekarang, kan?" aku memilih mengabaikan pertanyaannya.
"Iya, sudah boleh kok. Tinggal rawat jalan aja."
"Kalau gitu, aku akan menyelesaikan administrasinya." Aku melihat Yudistira sepintas. Dia memang sudah mengganti seragam rumah sakit dengan kemeja miliknya sendiri.
"Sudah diselesaiin Jerry kok." Yudistira menunjuk laki-laki muda yang buru-buru mengulurkan tangan kepadaku.
"Jerry, Bu," dia membungkuk sedikit saat menyalamiku. "Asisten Bapak Yudistira. Semua sudah diselesaikan, Bapak siap pulang."
Dalam hati aku menggerutu. Kalau tahu Yudistira ditunggui asistennya dan tidak butuh aku untuk menyelesaikan tetek-bengek yang berhubungan dengan administrasi rumah sakit, aku tidak perlu sok pahlawan menggantikan Ibu yang sedang menerima tamu untuk datang ke sini. Seharusnya aku tahu kalau orang seperti Yudistira tidak akan telantar walaupun tidak diurusi. Sudah terlambat untuk menyesalinya sekarang.
"Pak Mus, tolong bilang sama perawatnya kalau Bapak sudah siap pulang. Sekalian minta dibawain kursi roda." Aku menoleh ke arah Pak Mus yang masih berdiri di dekat pintu. Lebih baik mengirim Pak Mus ke tempat jaga perawat daripada menekan tombol untuk hal yang tidak emergensi.
"Baik, Bu." Pak Mus sigap keluar kamar.
"Aku bisa pakai kruk kok," kata Yudistira.
"Lebih praktis pakai kursi roda!"
"Sarapan di rumah nggak enak banget ya? Biasanya kamu memang rada galak kalau pas lagi lapar."
Aku menatap Yudistira datar, lalu beralih menuju bedside cabinet yang diperuntukkan bagi pasien.
"Sudah dikemas semua, Bu," ucap Jerry yang mengerti maksudku.
Pak Mus kemudian muncul dengan seorang perawat yang mendorong kursi roda. Syukurlah. Aku tidak perlu menanggapi candaan Yudistira yang sama sekali tidak lucu.
"Aku nggak suka kelihatan seperti orang yang sakit parah sehingga harus didorong pakai kursi kayak gini," gerutu Yudistira saat sudah didorong Jerry keluar ruangan.
Aku pura-pura tidak mendengar, terus berjalan di depan, menyusul Pak Mus yang membawa tas.
"Karena Bapak belum masuk kantor, laporan dari konsultan tentang akuisisi Mitra Usaha itu akan saya bawa ke rumah Bapak untuk dibaca," Jerry mengalihkan perhatian Yudistira dari kursi roda dengan percakapan tentang pekerjaan.
"Kamu sudah baca dan pelajari, kan?"
"Sudah, Pak. Prospeknya bagus. Tapi Bapak pasti ingin membacanya sendiri sebelum mengambil keputusan untuk dibawa ke rapat direksi."
"Aku nggak akan tinggal di rumah selama masa pemulihan. Jadi bawa ke rumah orangtuaku saja."
"Baik, Pak."
Aku tidak punya pilihan selain duduk di kursi belakang bersama Yudistira. Tidak mungkin menemani Pak Mus duduk di depan tanpa terlihat menggelikan.
"Kalau tahu bakal kayak gini, aku akan olahraga di rumah saja, daripada bersepeda. Bahkan jalan dalam kompleks pun sudah nggak aman lagi karena bocah-bocah tanggung yang lagi belajar nyetir," Yudistira mulai menggerutu lagi saat mobil sudah bergerak meninggalkan area rumah sakit.
Aku diam saja, berusaha terlihat sibuk dengan ponsel.
"Aku pikir kamu datang dari Makassar buat nungguin aku. Nggak tahunya kamu cuman nengokin bentar terus balik ke rumah Ibu. Kelihatannya mungkin nggak parah, Kay, tapi rasanya beneran sakit."
Aku tidak menanggapi.
"Bosan banget di rumah sakit."
Kali ini aku berdecak mendengar kalimat garing itu. "Kamu hanya tinggal dua malam di rumah sakit."
"Tetap aja membosankan kalau nggak ada kamu."
Aku menyesal terpancing menjawab, dan sudah terlambat untuk berhenti. "Jangan lebay. Kita sudah berpisah beberapa tahun," jawabku setengah mengguman supaya tidak tertangkap Pak Mus.
"Waktu itu memang jauh lebih berat. Kamu nggak tahu saja gimana rasanya."
"Aku sudah tahu kalau Ibu sakit," aku memutus gurauan Yudistira. Aku tidak akan melayaninya bercanda lebih lama.
Seperti dugaanku, rautnya segera berubah serius. "Maaf aku nggak bilang," katanya sambil menghela napas. "Ibu nggak mau kamu sampai tahu. Nggak mungkin membantah Ibu. Kamu tahu gimana dia." Yudistira mengernyit, seolah baru menyadari sesuatu. "Kok Ibu bisa berubah pikiran dan bilang sama kamu?"
"Aku menyesal pernah meninggalkan Ibu karena hubungan kita nggak berhasil." Aku mengabaikan pertanyaan Yudistira. "Aku nggak mau merasakan penyesalan yang lebih dalam lagi nanti. Jadi, aku akan kembali ke sini untuk menemani Ibu menjalani pengobatannya."
"Kamu pergi karena aku. Bukan sepenuhnya salahmu, Kay. Hanya saja, dulu aku sama sekali nggak menduga kamu pergi, karena kamu bukan tipe orang yang menghindari masalah. Kepergian kamu beneran pukulan berat untuk Ibu."
"Pergi memang keputusan bodoh," aku terpaksa mengakuinya. "Dan aku nggak akan melakukan hal bodoh seperti itu untuk kedua kali." Aku mengangkat tangan untuk menghentikan Yudistira yang sudah membuka mulut untuk menanggapi. "Kita nggak akan membahas masa lalu lagi. Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku hanya mau bilang kalau keputusanku untuk kembali ke sini murni karena Ibu. A—"
"Melihat sikap dan reaksi kamu yang kayak gini, kurasa aku tahu apa yang sekarang ada dalam pikiran kamu," Yudistira tetap memotong kalimatku. Tidak ada lagi sisa-sisa raut jail di wajahnya. "Kamu pasti berpikir kalau aku mendekati kamu karena Ibu, kan?"
Aku tidak suka kenyataan kalau Yudistira terkadang bisa membaca pikiranku dari sikap yang aku tampilkan. "Kamu mau membantah?"
"Orang yang bisa belajar dari kesalahan itu bukan hanya kamu, Kay. Kamu mungkin nggak percaya, tapi aku juga bisa melakukannya. Aku sudah berkali-kali bilang supaya kamu tanya kalau ada yang mau kamu tahu dari aku. Aku kan sudah berjanji untuk jujur. Cara kamu bicara seperti ini nunjukin kalau kamu sama sekali nggak percaya sama aku. Memang bukan salah kamu karena merasa seperti itu, tapi ada orang yang pantas dapat kesempatan kedua, Kay."
Sekarang aku bukan hanya menoleh kepadanya, tetapi juga nyaris berbalik menghadapnya. Tidak lagi terlalu peduli kepada Pak Mus yang pasti bisa mendengar percakapan kami dengan jelas.
Yudistira mau beradu soal kejujuran? Baiklah, mari kita lihat seberapa jujurnya dia. "Aku hanya mau tanya satu hal sama kamu." Aku sengaja mengulur, tidak langsung menanyakan hal yang selama ini menghantui batok kepalaku sejak pertemuan kami kembali.
"Kamu bisa menanyakan semua yang ingin kamu tahu, Kay."
"Aku hanya penasaran pada satu hal saja." Aku menatap Yudistira lekat saat mengucapkan pertanyaan itu. "Apa kamu dulu kembali bersama Indira setelah kita bercerai?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top