Tiga Puluh Enam
Yudistira jelas tidak menyangka aku menanyakan hal itu, karena matanya sontak membelalak. Hanya dengan melihat ekspresinya, pertanyaanku lantas terjawab dengan sendirinya.
"Itu bukan hal yang seharusnya kita bicarakan di dalam mobil kayak gini, karena pembahasannya akan panjang," katanya menghindar menjawab langsung.
"Jawaban untuk pertanyaan itu pendek saja. Pendek banget malah. Aku bertanya pakai kata 'apa' bukan 'mengapa'."
"Kay, i—"
"Ya atau tidak?" desakku dengan nada tegas. Meskipun sudah tahu jawabannya, aku ingin mendengar dia mengakuinya. Akan lebih mudah untuk mengatasi perasaanku saat tahu bahwa aku memang tidak lebih dari orang yang pernah salah mampir di dalam hidupnya.
Yudistira menatapku tidak berdaya. "Ya, tapi hu—"
"Aku sudah bilang kalau aku hanya butuh jawaban ya atau tidak," Aku memotong cepat. "Aku nggak butuh penjelasan." Semua penjelasan berisi pembelaan diri. Sekarang aku belum siap untuk bersikap pengertian dan maklum.
Satu hal yang sangat ingin aku tahu sudah terjawab. Ya, Yudistira kembali pada cinta dalam hidupnya setelah perceraian kami. Itu sudah lebih dari cukup. Sebut saja aku egois, tapi aku tidak ingin lebih terluka lagi. Kalau aku memberi kesempatan kepada Yudistira untuk menjelaskan, dia bisa memengaruhi persepsiku. Dari obrolan teman-temannya yang sempat kutangkap, dan kedatangan Indira di rumah sakit, aku jelas tahu mereka masih berhubungan. Aku tidak akan menjadi orang ketiga lagi. Seperti kata Yudistira, orang belajar dari kesalahannya. Aku juga seperti itu.
"Itu nggak adil, Kay. Tentu saja kamu harus mendengar penjelasanku. Kamu mau bicara soal itu sekarang? Baiklah, kita bicarakan itu sekarang juga."
Aku menggeleng kuat-kuat. "Sudah kubilang kalau aku nggak butuh penjelasan." Aku menunjukkan layar ponselku yang berdering. Anira menghubungiku. "Aku harus mengangkat ini."
"Kamu bisa menghubungi dia setelah kita bicara." Yudistira mengulurkan tangan, mencoba menjangkau ponselku.
Aku buru-buru menjauhkannya. "Jangan kekanakan!"
"Kamu yang kekanakan, Kay. Aku berhak menjelaskan hubunganku dengan Dira."
"Dan aku nggak berkewajiban mendengarnya. Kamu kembali bersama perempuan yang kamu cintai setelah kita berpisah. Aku tahu itu memang akan terjadi."
"Kamu nggak tahu. Kamu berasumsi."
"Dan nyatanya asumsi itu benar, kan? Jadi jangan bilang lagi kalau kamu sekarang mendekatiku bukan demi Ibu." Aku menahan tangan Yudistira yang masih berusaha meraih ponselku yang masih terus berdering. "Jangan khawatir, aku nggak menyalahkan kamu. Itu memang wajar. Dan kita seharusnya nggak perlu berdebat soal ini. Kita punya kesamaan. Kita berdua akan melakukan apa pun untuk Ibu. Tapi kali ini kita akan melakukannya dengan cara yang benar. Kita berdua akan berada di sisi Ibu dan mendampinginya sebagai anak. Nggak ada lagi tipu-menipu."
"Kenapa sih kamu harus keras kepala seperti ini?" Nada Yudistira ikut naik mengimbangiku. "Siapa yang mau menipu kamu?" Dia mengembuskan napas kuat-kuat. "Dengar, Kay, aku juga nggak mau bertengkar dengan kamu. Aku hanya mau bilang kalau kamu nggak punya pilihan dan harus menikah lagi denganku kalau...," Dia memberi jeda pada kalimatnya. Rupanya dia masih sadar jika perdebatan kami ikut didengar Pak Mus. "Kamu tahu maksudku."
Aku tahu maksudnya. Dia masih berharap aku hamil. Kepercayaan dirinya membuat emosiku seperti tersulut. "Dasar licik!" desisku geram.
"Aku tahu. Aku sudah mengakuinya sama kamu."
"Apa yang kamu harap nggak akan terjadi!"
"Jangan terlalu yakin, Kay."
Ini akan menjadi perdebatan yang sia-sia. Aku menghela dan mengembuskan napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan diri. "Kembali bersama untuk menyenangkan Ibu bukan solusi. Ibu nggak akan bahagia kalau kita nggak bahagia. Dan kita jelas nggak akan bahagia kalau memaksakan diri."
"Apa kembali padaku rasanya sesulit itu, Kay? Kamu benar-benar yakin nggak akan bahagia kalau kita kembali bersama? Kita dulu bahagia sebelum aku merusaknya, kan?"
Aku mengepalkan tangan. Tidak, aku tidak akan teperdaya oleh ekspresi tulusnya. Itu pasti hanya sandiwara. Sulit untuk percaya setelah tadi melihat Indira dengan mata kepalaku sendiri. "Kita nggak bahagia. Kalau kamu dulu merasa bahagia bersamaku, kamu nggak akan langsung kembali kepada Indiri setelah kita bercerai."
"Aku nggak langsung kembali sama dia setelah kita bercerai. Sudah kubilang kalau kamu harus memberi aku kesempatan untuk menjelaskan."
Aku kembali menggeleng. "Aku nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Dan kita nggak akan kembali bersama. Bahkan tidak demi Ibu."
"Kita akan bicara lagi soal ini setelah kondisi kamu jelas. Kalau hasilnya positif, kamu nggak punya pilihan, kan? Kamu tahu itu."
Aku membuang pandangan keluar jendela. Aku tidak suka berada dalam posisi tidak bisa memilih, tetapi Yudistira benar tentang hal itu. Aku akan kembali kepadanya kalau aku benar-benar hamil. Aku tidak mungkin egois dan mengorbankan darah dagingku sendiri atas kesalahan yang kulakukan dengan sadar. "Kamu benar, kita akan bicarakan lagi nanti. Tapi sekarang, tolong berhenti menjelaskan. Aku beneran nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu."
Sepanjang sisa perjalanan menuju ke rumah kami lalui dalam keheningan. Bahkan helaan napasku terdengar bising di telingaku sendiri.
**
Perasaan emosional menguasai hatiku saat mengawasi perkebunan dari restoran. Setelah meninggalkannya hari ini, entah kapan aku akan kembali ke sini lagi. Tiga tahun ternyata bukan waktu yang singkat untuk membangun ikatan emosi dengan tempat ini.
Sebagian besar lahan yang dulunya masih berupa hutan sekarang tertata rapi dengan jajaran pohon buah dan perkebunan sayur. Wahana waterpark , vila-vila, pabrik teh dan jus, juga restoran ini adalah tempat yang aku rencanakan dan bangun di kurun waktu itu.
Perjalanan hidup memang tak bisa diramal. Beberapa bulan lalu, tak pernah terpikirkan jika aku akan meninggalkan tempat ini. Aku bahkan sudah punya rencana-rencana baru untuk memperkenalkan agrowisata ini lebih luas. Dan sekarang, rencana-rencana itu tidak akan bisa kurealisasikan sendiri.
Namun, tidak mungkin membandingkan Ibu dengan tempat ini. Waktuku di sini memang sudah selesai. Aku akan kembali di sisi Ibu untuk menemaninya menjalani pengobatan.
Minggu lalu aku kembali ke sini untuk menyelesaikan semua urusan agrowisata, termasuk menunjuk orang yang akan menggantikanku menjalankan usaha ini. Aku tahu kalau Bapak dan Yudistira tidak menganggap penting tempat ini karena sumbangan pemasukannya dalam keuangan grup usaha tidak seberapa, tetapi bagiku yang membangunnya, agrowisata ini sangat berarti. Aku tidak mau tempat ini mengalami kemunduran setelah kutinggalkan.
Aku terus mengawasi spion mobil yang membawaku dari Malino ke Makassar. Mungkin terdengar konyol, tetapi aku merasa mengawasi sesuatu yang segera akan menjadi masa lalu. Ironinya adalah, masa depan yang aku songsong melibatkan masa lalu di dalamnya. Dan sepanjang itu melibatkan Yudistira, ada lumayan banyak air mata di masa lalu. Titik nadir harga diri seorang perempuan adalah saat menyadari dirinya bukanlah pilihan. Yudistira membuatku merasakan hal itu
Aku menggeleng, berharap apa yang baru saja kupikirkan ikut berguguran dalam benak. Bodoh memang.
Deringan telepon membuat perhatianku teralihkan. Aku buru-buru mengangkatnya. "Iya, Bu?"
"Yudis bilang kamu sudah meninggalkan Malino. Vincent mau dikasih tahu sekarang supaya ke Makassar untuk jemput kamu?"
Ini menjengkelkan. Yudistira benar-benar punya mata-mata di Malino yang melaporkan pergerakanku. Namun, aku sudah tidak penasaran lagi. Pekerjaan antek-anteknya itu toh resmi berakhir setelah aku meninggalkan pulau Sulawesi.
"Jangan sekarang, Bu." Aku tidak berniat menyusahkan. Naik pesawat komersial juga nyaman. "Aku janji mau nginap di rumah Anira sebelum pulang ke Jakarta."
"Kalau gitu, kabarin Yesti atau Yudis kalau sudah siap dijemput, biar mereka yang menghubungi Vincent."
"Baik, Bu."
"Kamu baik-baik aja kan, Kay?" Ibu terdengar mendesah. "Kamu pasti berat meninggalkan tempat itu. Ibu jadi nggak enak karena bikin kamu harus memilih antara Malino dan Ibu."
"Kapan-kapan kita bisa ke sini, Bu," aku menenangkan Ibu. "Aku nggak berkorban apa-apa untuk Ibu. Aku senang kok bisa pulang."
"Ibu tetap saja nggak enak. Tapi Ibu akan bohong kalau nggak bilang senang banget kamu pulang."
Senyumku saat akhirnya menutup telepon dari Ibu lantas surut setelah melihat pesan yang masuk. Yudistira.
Dia aktif mengirim pesan sejak aku meninggalkan Jakarta minggu lalu. Pesan-pesan remeh yang hanya kubaca tanpa kubalas sama sekali.
Yudistira : Vincent sudah siap ke Makassar.
Itu pesan yang tidak mungkin tidak kubalas. Jangan sekarang. Aku mau tinggal beberapa hari di rumah Anira dulu. Aku sudah bilang sama Ibu.
Tentu saja aku tidak bermaksud tinggal lama di rumah Anira. Besok aku akan ke Jakarta. Aku mengatakannya hanya untuk menghindari kerepotan kalau harus dijemput.
Hanya beberapa detik kemudian, ponselku kembali berdering. Aku terpaksa mengangkatnya. Kalau tidak, Yudistira benar-benar bisa mengirim Vincent ke Makassar hari ini juga.
"Hemmm...?" sambutku pendek.
"Anira sering banget ke Jakarta. Kalian tetap akan sering bertemu. Kamu nggak perlu tinggal lama di rumahnya."
"Aku nggak butuh izin kamu untuk tinggal, kan?" sindirku.
"Nggak usah bikin acara selamat tinggal segala dengan laki-laki itu."
"Itu juga bukan urusan kamu."
"Kalau bertemu dia sebelum pulang, kesannya kamu memberi harapan sama dia."
"Aku akan bertanya kalau butuh pendapat kamu. Sudah ya, tele—"
"Kamu nggak boleh memberi harapan kepada siapa pun, padahal kamu tahu kita akan kembali sama-sama."
"Itu belum pasti!" jawabku cepat.
"Kalau soal aku pernah kembali sama Dira setelah kita berpisah jadi masalah banget untuk kamu, setidaknya kasih aku kesempatan untuk menjelaskan. Atau kalau kamu masih nggak bisa percaya, kamu bisa bicara dengan Dira langsung."
"Aku nggak akan bicara tentang mantan suamiku dengan kekasihnya!"
"Tuh kan, kamu berasumsi lagi. Hubunganku dengan Dira sekarang murni hanya persahabatan saja, Kay."
"Kamu bersahabat dengan mantan kekasihmu? Manis sekali." Seharusnya aku tidak tidak perlu berkomentar, tetapi kalimat itu meloncat begitu saja dari bibirku.
"Kay, aku dan Dira sudah bersahabat jauh sebelum kami memutuskan bersama. Kamu bisa tanya Risyad kalau nggak percaya. Kami bertiga berteman sejak masih sekolah. Rasa cinta bisa pudar, hilang, atau berganti, Kay. Tapi pertemanan nggak bisa lantas terputus begitu saja. Tapi kalau kamu nggak suka aku masih berteman dengan Dira, nggak masalah. Pada satu titik, kenyamanan orang yang kita sayang adalah yang terpenting."
"Aku sudah bilang nggak mau bicara soal masa lalu."
"Hubungan kita bukan masa lalu, Kay. Kita baru akan memulainya lagi. Kali ini dengan cara yang benar. A—"
Aku menutup teleponnya. Saat ini, sopan-santun bukan hal yang terlalu penting saat berhubungan dengan Yudistira.
***
Inden untuk novel Ben dan Starting Over sudah dibuka ya. Sila mengisi form ini Bit.ly/TitiSanaria kalau mau ikutan.
Baru inden, belum PO. Peserta inden akan langsung dihitung sebagai peserta PO, jadi nggak perlu takut ketinggalan kalau PO sudah dibuka. Kalau mau inden dengan Titik Balik juga bisa kok. Sila menghubungi belibuku yang membuat form inden itu. Tengkiuuuu.... 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top