Tiga Puluh Dua

Suasana mendadak senyap setelah Ibu, Mbak Yesti, dan Risyad meninggalkan kamar perawatan Yudistira. Aku memilih duduk di sofa yang lumayan jauh dari tempat tidur Yudistira sambil memainkan ponsel untuk membaca berita-berita remeh supaya tidak bengong saja. Aku tidak pernah suka memainkan game di ponsel karena menganggap itu pemborosan waktu, tetapi aku mungkin harus mengunduh salah satu game permainan kata selama menunggui Yudistira sebagai perintang waktu supaya tidak bosan.

"Kay, AC-nya terlalu dingin," suara Yudistira membuatku mengangkat kepala dari ponsel.

Aku meraih remote AC yang tergeletak di atas meja di depanku untuk menaikkan suhu. Setelah itu kembali menekuri ponsel.

"Kay, duduknya di dekat sini dong." Yudistira menunjuk kursi di sisi tempat tidurnya yang tadi sempat diduduki Risyad.

"Aku bisa nungguin kamu dari sini, jangan bawel!"

"Tapi betisku gatal." Kali ini dia ganti menunjuk betisnya yang tidak terbebat. "Nggak bisa kamu garuk dari situ."

"Nggak usah digaruk, ntar malah gatalnya nyebar dan makin jadi. Tahan aja!"

"Ya, nggak bisa ditahan, Kay. Beneran gatal nih."

Aku mendesah sebal, tetapi kemudian pindah ke dekatnya juga. "Bagian mana yang gatal?"

"Di betis, Kay."

Aku menyibak selimut yang menutup betis yang ditunjuknya. "Iya, tadi kamu sudah bilang, tapi di betis sebelah mana? Nggak mungkin semua betis kamu gatal kalau nggak alergi."

"Di sebelah kanan di bawah lutut."

Aku menggaruk bagian betis yang dimaksud Yudistira.

"Ke bawah sedikit, Kay. Eh, bukan di situ, geser ke kanan sedikit. Iya... ya, di situ. Gatal kalau nggak digaruk itu nyebelinnya sama dengan kalau mau bersin, tapi nggak jadi. Atau pas lagi nanggung terus pintu kamarnya diketuk Ibu."

Aku mengikuti perintahnya tanpa membantah sama sekali, tetapi menancapkan kuku sedikit lebih keras daripada yang seharusnya. Candaannya sama sekali tidak lucu.

"Wadduuuhhh... garuknya jangan pakai tenaga dalam dong, Kay. Kalau luka, waktu rawatku bisa lebih lama lagi."

Aku nyaris berdecak. Ini seperti berurusan dengan anak balita. "Kalau digaruk memang rasanya seperti itu."

"Ya sudah, nggak usah digaruk, dielus-elus saja. Nanti juga gatalnya hilang."

Aku langsung menarik tanganku dari betisnya. "Elus saja sendiri." Aku berdiri hendak kembali ke sofa.

"Aku lapar, Kay. Ambilin makanan dong."

Aku menarik napas panjang, tetapi tidak membantah. Meja makan kecil khusus pasien kudorong sehingga posisinya pas di depannya yang duduk bersandar di tumpukan bantal. "Segini sudah bisa, kan?"

Yudistira menatapku dengan sorot yang dibuat polos. "Bisa. Kan disuapin."

"Yang cedera itu kaki kamu, dan setahuku kamu nggak pernah menyuap makanan pakai kaki. Makan sendiri!"

"Yang kelihatan cedera memang hanya kaki aku, Kay. Tapi semua badanku rasanya remuk. Saat sepedaku diseruduk, posisi mendaratku jelek banget. Niatnya mau olahraga pagi-pagi, eh malah keserempet bocah." Yudistira menunjukkan telapak tangannya yang lecet, meskipun tidak bermakna. "Nih, luka, kan?"

"Astaga, lukanya memang besar banget," sindirku menampilkan raut kaget yang dibuat-buat. "Aku sampai heran kamu kelihatan baik-baik saja dan masih bisa bicara dengan telapak tangan yang seperti itu."

"Harusnya tadi aku minta disuapin Ibu saja sebelum dia pulang," gerutu Yudistira.

Aku memilih mengalah dan meraih piring makannya sebelum duduk di pinggir tempat tidur. Yudistira membuka mulut dengan patuh setiap kali aku mengulurkan sendok di depan mulutnya. Dia menghabiskan semua makanan di piringnya. Aku jadi merasa seperti kembali ke masa lalu saat sedang merawat seorang balita di panti. Bedanya, balita yang ini berukuran jumbo.

"Habiskan!" kataku saat mengulurkan gelas air putih. Setelah menyingkirkan meja makan, aku kembali duduk di kursi.

"Kay, makasih sudah mau datang ya."

"Hemm...."

"Kamu datang karena khawatir dan peduli sama aku, kan?"

Aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. "Kenapa kamu nggak tidur saja biar sakitnya nggak terlalu berasa?" Meskipun tidak mengakui kakinya sakit, aku sempat melihatnya meringis beberapa kali tadi.

"Risyad bilang apa sama kamu?" Yudistira tidak memedulikan apa yang kukatakan.

"Dia bilang banyak hal. Apa yang mau kamu tahu?" Aku balik bertanya. Aku tidak menyangka Yudistira akan memilih waktu seperti sekarang untuk membicarakannya. Aku tahu dia pasti akan bicara tentang Risyad, tetapi tentu saja tidak saat ini. Aku pikir dia akan fokus dengan kemanjaan dan lebaynya karena sedang sakit.

"Bukannya kamu yang mau bertanya tentang apa yang kamu dengar dari dia?"

Aku memang punya banyak pertanyaan. Saking banyaknya, aku sampai tidak tahu harus memulainya dari mana. "Dari mana aku tahu kamu menjawab jujur kalau aku bertanya? Kamu memulai hubungan kita dari kebohongan."

"Aku kan sudah pernah janji nggak akan bohong lagi soal apa pun lagi, Kay. Aku memang nggak mungkin bisa memaksa kamu untuk percaya, tapi aku sungguh-sungguh."

Mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. "Risyad bilang dia sudah ngasih tahu kamu keberadaanku sejak tahun lalu." Aku menatap Yudistira saat mengatakan, "Kamu sudah tahu akan bertemu aku saat ke Malino tempo hari, kan?"

Yudistira balas menatapku. "Tentu saja aku sudah tahu. Itu bukan kebetulan, Kay. Sebelum ke Malino, aku sudah pernah melihat kamu beberapa kali, tapi aku memang sengaja nggak menemui kamu waktu itu. Aku menunggu saat yang tepat."

"Dan saat yang tepat itu perlu waktu hampir satu tahun?" Aku nyaris memutar bola mata. Alasannya tidak masuk akal.

"Aku harus menemukan cara untuk membuat kamu terikat dan nggak lantas kabur atau malah mengusirku saat kita bertemu lagi, Kay. Aku nggak bisa muncul begitu saja di depan kamu tanpa rencana. Akhirnya aku bisa mendekati Dean melalui Risyad yang sudah lebih dulu bermitra dengan dia. Dean bisa jadi perantara karena kamu kerja sama dia. Tentu saja dia nggak tahu maksudku. Investasi pabrik semen itu bagus untuk pengembangan usaha, dan aku juga bisa menyelipkan perkebunan yang kamu kelola dalam kesepakatan. Iya, aku tahu itu licik, Kay. Tapi aku harus melakukannya untuk mendapatkan kamu kembali."

Aku terus menatap Yudistira.

"Aku perlu waktu untuk meyakinkan dewan komisaris kalau investasi pabrik semen itu akan berhasil karena dana yang masuk ke sana nggak sedikit," lanjutnya. "Nggak semua orang setuju karena sudah merasa stabil dengan usaha yang sekarang. Nggak ada yang bisa menjamin investasi itu akan sukses seratus persen, kan? Dan dana yang disuntik untuk usaha itu nggak bisa kembali dan dinikmati dalam waktu singkat. Kamu tahu gimana prosesnya, Kay." Yudistira menggapai tanganku. "Saat aku memikirkan cara untuk membuatmu kembali, aku ingin melakukannya dengan benar, Kay. Terencana seperti kebiasaan kamu. Nggak impulsif supaya kemungkinan berhasilnya lebih besar. Aku tahu kamu nggak gampang percaya kata-kata jadi lebih baik merencanakan tindakan untuk memerangkap kamu." Yudistira menggeleng cepat. "Bukan dalam arti buruk. Maksudku, kamu terperangkap harus bekerja denganku. Itu rencananya. Dan memang berhasil. Sebenarnya aku masih akan menunggu sampai proses kerja sama dengan Dean ditandatangani sebelum aku muncul di depanmu, tapi rencana itu berubah saat aku tahu kamu sedang dekat dengan laki-laki sok ganteng itu."

Maksudnya pasti Adam. "Dari Dean?"

Yudistira kembali menggeleng. "Bukan. Meskipun kami nggak pernah bicara tentang kamu, Dean pasti tahu hubungan kita. Dia nggak pernah menyebut nama kamu di depanku. Nggak sekalipun, sampai ketika perkebunan itu aku selipkan dalam kesepakatan dan dia berusaha menolak."

"Risyad?" tebakku lagi.

Yudistira menggeleng lagi. "Bukan."

Aku membelalak melihatnya. "Astaga, kamu punya mata-mata di Malino yang kerja di tempatku?" Aku sama sekali tidak menduganya. "Siapa?"

"Apa kamu akan memecatnya kalau aku kasih tahu?"

Percuma juga memecatnya karena Yudistira akan mencarikan pekerjaan lain untuk orang itu. Bukan hal yang sulit untuk dia lakukan. "Sejak kapan kamu menyuruh orang memata-mataiku?" Ini benar-benar menyebalkan.

Yudistira menyeringai. Tampang seriusnya tadi lenyap tanpa bekas. "Sejak aku tahu kamu ada di Malino."

"Dasar licik!" aku menggeram.

"Aku tahu. Kan tadi aku sudah ngasih tahu duluan kalau tindakanku memang licik, Kay."

"Astaga...." Aku kehilangan kata-kata. Rasanya sedikit menyeramkan menyadari kalau selama ini aku diawasi seseorang.

"Kay... punggungku kok ikutan gatal ya?"

Aku mendelik menatapnya. "Garuk saja sendiri!" Aku tahu dia mengalihkan percakapan.

"Ya... nggak mungkin bisa garuk punggung sendiri, kan? Nggak cedera saja sulit, apalagi dalam keadaan kayak gini."

"Ya sudah, tahan saja sampai gatalnya hilang!"

"Kay...."

"Bagian mana lagi yang gatal?" sambutku jengkel. "Mungkin kamu memang butuh obat alergi. Apa aku harus panggil dokternya sekarang biar sekalian diperiksa?"

"Bukan soal gatal. Aku cuman mau bilang kalau perempuan yang hamil itu memang cenderung emosional karena gejolak hormon. Persis kayak kamu sekarang."

"Apa?" Seharusnya aku tadi pulang saja dengan Ibu, dan membiarkan Mbak Yesti yang menunggui Yudistira. Tinggal lebih lama di sini tidak terlalu bagus untuk keseimbangan emosi.

"Aku maklum kok. Nggak masalah. Menyalurkan emosi itu normal. Bagus malah untuk perkembangan anak kita."

"Aku nggak hamil!" desisku memelototinya.

"Aku yakin kamu pasti belum tes."

Aku menutup mata, mengumpulkan kesabaran. "Aku keluar sebentar. Sepertinya aku butuh kopi."

"Jangan minum terlalu banyak kopi. Kafein dosis tinggi nggak bagus untuk kehamilan."

Aku berdecak. "Dari mana kamu tahu soal hormon dan kafein itu?"

"Aku sekarang sudah penuh persiapan," katanya bangga. "Aku sudah baca buku tentang kehamilan. Tanya saja Ibu kalau nggak percaya. Dia lihat bukunya saat ke rumah."

"Apa?" Sekarang aku nyaris syok. Laki-laki ini bukan hanya kekanakan, tetapi juga gila.

"Tenang saja, aku hanya bilang baca itu biar lebih siap untuk jadi ayah. Tentu saja aku nggak bilang kita sudah DP duluan."

Aku buru-buru menuju pintu. "Aku benar-benar harus minum kopi." Aku perlu waktu untuk mendinginkan kepala. "Kamu tidur deh." Aku yakin Yudistira tidak akan mencoba beristirahat kalau aku terus di dekatnya. Dia akan terus bicara. Lebih baik meninggalkannya sebentar.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top