Tiga Puluh Delapan

Benda-benda kecil di dalam genggamanku ini terasa seperti monster-monster jahat yang siap mencabut nyawa. Aku menghela dan mengembuskan napas panjang berulang-ulang sebelum duduk di atas kloset.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali merasa takut seperti ini. Mungkin malah tidak pernah. Aku bahkan tidak setakut ini saat terombang-ambing di lautan saat kecelakaan kapal yang merenggut nyawa orangtuaku. Waktu itu aku mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti.

Beberapa menit ke depan, hidupku bisa saja berubah total. Aku akhirnya memutuskan membeli beberapa buah test pack dengan merek berbeda setelah jadwal haidku terlambat satu minggu. Jadwal haidku tidak pernah benar-benar teratur, tetapi kurasa ini saat yang tepat untuk mencari tahu.

Aku memejamkan mata sejenak sebelum membuka kepalan tangan. Ini saatnya. Aku tidak bisa mundur lagi. Jari-jariku tampak gemetar ketika membuka telapak tangan. Tiga dari lima buah test pack yang aku beli ada di situ.

Jantungku memukul kuat, seolah hendak berontak dan keluar dari rongganya saat menunggu hasil test pack. Menunggu belum pernah terasa semenegangkan ini. Menggunakan 3 buah alat tes sekaligus mungkin berlebihan, tetapi aku butuh kepastian. Dua yang lain akan kugunakan beberapa hari ke depan, kalau hasil tes hari ini negatif dan aku belum mendapat tamu bulanan.

Dua hari lalu Yudistira menanyakan hasil tes itu. Rupanya dia juga menghitung waktunya. Aku hanya menggumamkan kata 'belum' dan berlalu dari hadapannya. Karena aku tinggal di rumah Ibu dan dia juga pulang ke sini setelah kantor, sulit untuk menghindari pertemuan dengannya meskipun aku sudah mencoba. Setidaknya, kami akan bertemu di meja makan saat sarapan.

Setelah sekali lagi memejamkan mata, aku kemudian meraih test pack yang kuletakkan di meja wastafel setelah mencelupnya ke dalam cairan urine. Siap atau tidak siap, kegalauanku beberapa minggu terakhir ini akan terjawab juga. Satu garis berarti negatif, sedangkan 2 garis berarti aku positif hamil.

Aku menghembuskan napas lega saat melihat hanya satu garis yang muncul. Aku buru-buru mengambil 2test packyang lain. Sama. Syukurlah. Keterlambatan haidku hanya masalah hormon saja, meskipun rasa khawatir itu belum sepenuhnya hilang. Mungkin saja belum terdeteksi, kan? Aku bukan dokter, jadi tidak terlalu mengerti cara kerja sistem reproduksi manusia. Namun untuk sekarang, hasil tesnya menenangkan.

Ketiga benda itu lantas kukemas. Konyol sekali kalau ada orang lain yang menemukannya, terutama Ibu dan Mbak Yesti. Sulit berbohong dengan barang bukti seperti ini.

Aku belum lama duduk di depan meja makan saat Yudistira datang dan ikut duduk di sampingku. Kami hanya berdua setelah Mbak Tima yang mengatur makanan kembali ke belakang.

"Aku mau nasi goreng." Yudistira mengulurkan piringnya padaku.

"Nggak nunggu Bapak sama Ibu dulu?"

"Nggak usah. Aku berangkat duluan."

Aku malas memperpanjang percakapan, jadi mengambil piring yang diulurkannya dan aku isi dengan nasi goreng dan lauk yang ada di atas meja.

"Kamu nggak makan?" tanya Yudistira.

"Nanti saja, tunggu Bapak sama Ibu." Ini saat yang tepat untuk memberitahunya. "Hasil tesnya negatif," lanjutku setengah menggumam.

"Kamu beneran sudah tes?" Yudistira melepaskan sendoknya.

"Tadi subuh."

"Bisa saja hasilnya salah, kan?"

"Aku pakai 3 test packyang mereknya beda. Yang bagus. Semua hasilnya sama. Negatif."

"Mungkin saja belum terdeteksi, Kay. Kata buku yang kubaca, HCG di awal pembuahan kadang belum terdeteksi."

"Kecilkan suara kamu!" desisku tajam. Ini percakapan yang sangat pribadi. Aku tidak mau seisi rumah mengetahui apa yang sudah kami lakukan setelah tidak punya hubungan apa-apa.

"Kemungkinannya masih ada selama kamu belum haid. Gini aja, kita ke rumah sakit dan melakukan tes darah. Di buku bilang kalau hasilnya lebih akurat. Bahkan sudah bisa dideteksi beberapa hari setelah pembuahan."

Tidak, aku tidak akan pergi ke rumah sakit untuk memastikan hal itu. Aku bahkan tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. "Tidak!" Aku langsung menggeleng. "Aku yakin hasilnya negatif. Terlambat gini hanya masalah hormon saja. Kita nggak akan kembali bersama. Kita di sini hanya untuk memberi dukungan kepada Ibu. Dan kita nggak akan bicara soal itu lagi."

Yudistira menatapku lama sebelum mengedik. "Baiklah, kalau itu maumu."

Caranya mengucapkan kalimat itu terlalu santai meskipun tatapannya intens. Aku jadi tidak yakin dia memahami apa yang kukatakan. "Kita nggak akan kembali bersama," ulangku lebih tegas. "Aku pulang murni karena Ibu."

"Aku dengar apa yang kamu bilang, Kay. Nggak perlu diulang-ulang."

Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan sikap ngototnya, penerimaan yang semudah itu malah menggangguku. Sesuatu lantas menyusup dalam benakku. Tentu saja Yudistira tidak akan berkeras lebih lanjut karena dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sudah kembali di sisi ibu. Bukankah itu yang selama ini dia kejar dariku sampai ke Malino? Dia total dalam melakukan sesuatu. Dan tujuannya sudah tercapai. Untuk apa lagi dia harus pura-pura berkeras menginginkanku? Ini saatnya untuk menata hidupnya bersama Indira. Hubungan mereka pasti tegang karena niat Yudistira untuk kembali kepadaku. Mungkin itu juga yang menyebabkan mereka berpisah.

"Aku hanya ingin memastikan. Syukurlah kalau kamu mengerti."

"Nggak kayak kamu, aku selalu mendengarkan apa yang kamu katakan, Kay.Tapi siapa juga yang mau buang waktu untuk mendengarkan seorang pembohong, kan? Aku memang akan selalu jadi pembohong di matamu."

"Jangan playing victim seperti itu!" Aku menjaga supaya suaraku tetap rendah. Yudistira membuat seolah-olah akulah penjahatnya di antara kami berdua.

"Bukan playing victim, Kay. Memang itulah yang kamu pikirkan tentang aku. Sekali pembohong, tetaplah pembohong. Kalau kamu nggak berpikir gitu, kamu pasti mau kasih aku kesempatan untuk menjelaskan banyak hal sama kamu. Tapi sudahlah, seperti katamu, kita nggak perlu bicara lagi. Aku akan melakukan semua hal yang akan membuat kamu nyaman. Aku akan mengikuti semua aturan main yang kamu tetapkan. Kamu benar kalau Ibu adalah prioritas kita sekarang. Aku nggak mau bertengkar dengan kamu lagi. Kamu bisa saja pergi lagi, kan? Kalau siklusnya berulang, pasti akan lebih sulit untuk menemukan kamu nanti." Yudistira mendorong piringnya menjauh. "Aku nggak terlalu lapar lagi. Nanti saja brunch sambil meeting di kantor." Dia bergerak menjauh dari meja makan tanpa menoleh lagi.

Aku menatap punggungnya sebal. Mengapa dia yang harus marah-marah?

"Yudis belum keluar sarapan?" suara Ibu membuatku menoleh. Dia rupanya tidak memperhatikan posisi kursi di sampingku yang tidak rapi.

"Ehm... dia sudah ke kantor, Bu." Aku buru-buru menarik piring nasi goreng Yudistira yang belum sempat dia cicipi tadi.

"Bapak memang bilang hari ini akan sibuk banget. Ada penandatanganan akuisisi. Ibu nggak terlalu paham juga." Ibu duduk di depanku. Dia mengernyit melihat piringku. "Kamu lapar banget ya? Biasanya nggak sarapan nasi, kan? Apalagi sampai segitu banyak."

Aku meringis. "Iya, lapar, Bu." Padahal aku sama sekali tidak lapar. Aku tidak mungkin mengatakan kepada Ibu jika Yudistira melewatkan sarapan karena perdebatan kami.

Bapak menyusul di meja makan beberapa menit kemudian.

"Minggu depan kamu mulai masuk kantor, Kay. Sudah cukup istirahatnya, kan? Kamu pasti bosan tinggal di rumah saja. Kamu bisa libur kalau harus menemani Ibu kamu ke rumah sakit."

"Iya, Pak." Aku suka menemani Ibu di rumah, tetapi Bapak benar, untuk ukuran aku yang sudah terbiasa sibuk, tinggal di rumah seharian memang terkadang membosankan.

"Butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan kantor setelah kamu pergi cukup lama, tapi itu pasti nggak masalah untuk kamu."

Aku memang tidak akan bermasalah dengan penyesuaian diri, karena tahu aku berada di posisi di mana orang yang akan berusaha menyesuaikan diri denganku, bukan sebaliknya. Yang membuatku sedikit tidak nyaman adalah kenyataan bahwa aku akan menghabiskan banyak waktu di tempat yang sama dengan Yudistira. Itu tantangan terberatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top