Tiga Puluh
Yudistira : Kay, tolong angkat teleponku.
Yudistira : Jangan percaya semua yang dibilang Risyad.
Yudistira : Dia itu suka becanda, jadi ucapannya sulit dipercaya.
Yudistira : Candaan dia jauh lebih gila daripada aku.
Yudistira : Dia beneran nggak bisa dipercaya, Kay. Aku nggak bohong.
Yudistira : Angkat teleponku pleaseee...
Aku hanya membaca pesan Yudistira yang masuk bertubi-tubi tanpa membalasnya. Tawa Risyad membuatku mengangkat kepala dan menatapnya.
"Sorry, tapi ngerjain Yudis itu selalu menyenangkan. Biasanya dia yang rajin ngerjain aku. Kali ini skorku jauh lebih tinggi."
"Kalian selalu kekanakan seperti ini?" Aku memang tidak punya hubungan pertemanan yang cukup dekat dengan beberapa orang laki-laki sekaligus, jadi tidak tahu bagaimana mereka berinteraksi. Namun, menurutku, Yudistira dan Risyad sama-sama kekanakan dan konyol dengan kelakuan mereka saat ini.
"Maaf kalau aku malah membuat kamu jengkel." Risyad menghentikan tawa sehingga kesan jenaka yang tadi kental tergambar di wajahnya ikut terkikis.
"Aku nggak jengkel." Aku menyesap teh yang belum lama diantar pelayan. "Seharusnya aku memang sudah bisa menduga kalau semua teman Yudis itu setipe. Sama seperti dia."
"Kekanakan, maksud kamu?" Risyad ikut mengangkat cangkir kopinya. "Sebenarnya nggak selalu sih. Tergantung situasinya juga." Ekspresinya terlihat jauh lebih serius sekarang. "Aku beneran minta maaf karena sudah menampilkan kesan jelek tentang teman-teman Yudis, seolah kami sekumpulan orang konyol dan norak."
"Aku juga minta maaf karena sudah menilai dalam waktu singkat kayak gini." Ini saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang membuat Yudistira tidak pernah membawaku bertemu teman-temannya. Memang sudah terlambat karena hubungan kami sudah pecah, tetapi memuaskan rasa penasaran tidak pernah punya waktu kedaluarsa. "Aku hanya nggak kenal teman-teman Yudis." Lakukan secara perlahan, supaya tidak memancing kecurigaan Risyad. Dari sorotnya yang percaya diri, dia jelas terlihat pintar.
"Gimana mau kenal kalau kamu nggak pernah ikut nongkrong bareng kami?" Risyad menatapku cukup lama sebelum tersenyum dan berkata, "Aku tahu kalau Yudis bohong saat bilang kamu yang nggak mau ikut nongkrong bareng kami. Iya, kan?"
Aku hanya mengedik, tidak menjawab. Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi Yudistira. Aku kembali menolak panggilan itu. Pesannya kembali masuk.
Yudistira : Apa pun yang dibilang Risyad sama kamu, intinya dia hanya mau ngerjain aku saja. Jangan percaya.
"Dia beneran nyebelin kalau dalam mode panik kayak gitu, kan?" Risyad tersenyum lagi. Dia kembali menunjukkan layar ponselnya. "Ini menyenangkan." Dia meletakkan benda itu di atas meja sebelum menerima panggilan dan menekan tombol speaker. "Gue sibuk ngobrol sama Kay," katanya tanpa basa-basi. "Kalau ada yang penting, lo chat aja deh. Kalau ntar lowong, gue balas."
"Lo bakalan tinggal nama doang kalau sampai ngomong yang nggak-nggak sama Kay," jawab Yudistira.
Aku hanya diam mendengarkan.
"Ngomong yang nggak-nggak gimana? Emangnya lo punya aib yang lo sembunyiin dari Kay?"
"Kalau lo sampai nyebut-nyebut soal Di—"
"Dude, ponselnya gue speaker nih," potong Risyad cepat. "Biar lo bisa ngomong sama Kay sekarang karena dia kayaknya nggak berminat ngangkat telepon lo."
Yudistira terdiam sejenak. "Gue beneran bakal bikin perhitungan sama lo."
"Perhitungan apa? Gue baru kenalan sama Kay doang ini. Belum sempat ngobrol apa-apa juga. Lo beneran nggak mau bicara sama Kay? Dia dengerin kita ngobrol sekarang."
"Kayana. Lo nggak usah sok akrab gitu." Yudistira terdengar sebal. "Kay, jangan dengerin apa yang dibilang si Kampret itu. Buaya kayak dia nggak bisa dipercaya."
"Dude, di situ ada cermin nggak? Kalau ada, coba deh lo lihat bayangan lo di situ."
"Kasih teleponnya ke Kay sekarang!"
"Kalau Kay mau ngangkat, lo nggak akan ngomong sama dia dengan cara ini."
"Kayana!"
"Kay aja nggak keberatan gue panggil Kay kok. Kenapa lo yang sewot?" Mungkin karena merasa sudah cukup mengerjai Yudistira, Risyad kemudian mematikan speaker dan meletakkan ponsel di telinganya.
Aku menunduk menekuri ponselku sendiri, meskipun tetap memasang telinga lebar-lebar. Iya, berusaha menguping meskipun tahu itu tidak sopan.
"Yaa... lo nggak percayaan banget sih sama gue." Risyad menyentuh punggung tanganku dan memberi isyarat keluar. Gayanya benar-benar tidak mengesankan kalau kami baru saja bertemu. Aku mengangguk. Dia pasti akan membicarakan sesuatu yang tidak ingin aku dengar. "Kita kenal berapa lama sih sampai lo gitu banget. Gue...." Risyad semakin menjauh sehingga aku tidak mendengar suaranya lagi.
Dari percakapan mereka tadi, aku jelas menangkap ada sesuatu yang disembunyikan Yudistira. Dia mengingatkan Risyad supaya tidak mengatakan hal yang mereka ketahui bersama kepadaku.
Lima menit kemudian, Risyad kembali ke kursinya. Dia menyesap kopinya yang aku yakin sudah tidak panas lagi. "Cobaan persahabatan untuk laki-laki itu ada dua," katanya tanpa kutanya. "Perempuan dan kekuasaan. Sahabat bisa menikung untuk mendapatkan dua hal itu dari sahabatnya."
"Itu persahabatan yang dangkal banget." Aku tidak pernah berpikir bisa mengkhianati Anira untuk laki-laki atau jenis kekuasaan apa pun.
"Karena kita akan menjadi lebih dangkal, egois, dan emosional ketika kita mencintai seorang perempuan atau kekuasaan."
"Kenapa kita harus bicara soal itu?" Percakapan seperti ini untuk ukuran pertemuan kami yang belum cukup setengah jam rasanya terlalu berat.
Risyad tersenyum menunjuk ponselku. "Si Berengsek itu pernah nikung aku waktu masih zaman putih abu-abu. Kampret emang. Jadi dia nggak mau lengah takut aku balas dendam. Sial banget kalau ketikung sekarang, kan? Apalagi dia jelas ingat aku dulu pernah minta dikenalin sama kamu. Cinta monyet zaman sekolahan kan nggak sama dengan cinta setelah dewasa."
"Cinta setelah dewasa juga nggak selalu berakhir indah dan abadi." Satu-satunya cinta yang kurasakan malah membuat hidupku berantakan.
Risyad tertawa kecil. "Betul juga. Orang dewasa pun kelakuannya akan balik jadi kekanakan kalau itu berhubungan dengan cinta. Aku jadi kasihan sama Yudis. Kalau dia nggak lagi kerja di Surabaya, aku yakin dia bakal nyusul ke sini."
"Untuk meyakinkan supaya kamu nggak membocorkan rahasianya kepadaku?"
Risyad meneleng menatapku, lalu tersenyum lagi. "Rahasia apa? Memangnya orang yang banyak omong seperti dia bisa punya rahasia? Dia hanya takut ketikung saja."
Ada yang berubah dari sikap Risyad saat mengucapkan kalimat itu. Sikap santainya tidak sewajar sebelumnya. Dan aku tahu, dia menyembunyikan sesuatu. Persahabatannya dengan Yudistira jelas jauh lebih berharga daripada memberitahu hal itu. Mereka saling mengerjai, tetapi juga saling menjaga. Mungkin sama seperti aku dan Anira. Jadi aku memilih tidak melanjutkan percakapan tentang Yudistira lagi. Lebih baik berbasa-basi tentang tempat yang aku kelola ini.
**
Anira mematut diri di depan cerminku, seolah dia belum melakukan hal itu sebelum datang ke tempatku. "Aku kelihatan gendut ya, Na?" Dia memutar tubuhnya sekali lagi.
"Kamu nggak gendut. Pilihan baju kamu saja yang bikin sesak napas." Aku heran dengan kebiasaannya memakai baju yang pas di badan. Tidak masalah sih kalau dia tidak bolak-balik mengklaim dirinya gemuk karena lekuk tubuhnya tercetak.
"Kalau lagi program hamil gini kan aku nggak boleh gendut."
Anira dan Dean sudah lebih dua tahun menikah, tetapi belum dikarunia momongan. Kata dokternya, kualitas sperma Dean tidak terlalu bagus, jadi mereka sedang menjalani terapi untuk memperbaiki hal itu.
"Kamu nggak gendut," ulangku menghibur. "Ideal banget malah."
"Sepupu Dean ada yang kayak kucing. Anaknya belum setahun, eh, dia sudah hamil lagi. Anaknya sudah bersusun kayak anak tangga." Anira cemberut tampak iri. "Katanya, tiap berhubungan di masa subur dan lupa pakai pengaman atau keluar di luar, pasti jadi deh. Ya, rezeki orang memang beda-beda. Aku dan Dean dikasih rezeki duit, tapi belum anak."
Aku melepas sisir di tanganku. "Ehm... kata dokter kamu, cara ngitung masa subur itu gimana sih?" Mau tidak mau aku teringat kejadian di rumah Yudistira. Kalau aku sampai hamil di luar nikah, itu akan sangat memalukan. "Kalau berhubungan beberapa hari setelah haid, itu bukan masa subur, kan? Maksudku, waktu itu kondisi rahim nggak pas untuk membuahan, kan?"
Anira duduk di pinggir tempat tidurku. "Masa subur kan tergantung siklus menstruasi, Na. Beda-beda sih tiap orang. Untuk bisa tahu tepatnya, dokterku malah nyuruh catat jadwal itu selama beberapa bulan. Katanya masa subur rata-rata itu terjadi di hari ke-10 sampai hari ke-17 setelah hari pertama haid terakhir. Tergantung panjang-pendek siklus haidnya tadi. Jadi kalau siklus haidnya pendek, beberapa hari setelah haid ya sudah masuk masa subur."
"Apa...?" Aku nyaris terlonjak.
Anira berdecak. "Sok kaget kayak kamu bisa hamil saja. Dulu nikah sama Yudis juga nggak sempat hamil. Sekarang gimana mau hamil? Aku yakin kamu bahkan nggak pegangan tangan sama Adam sampai status kalian jelas. Which is nggak tahu kapan kalau kamu belum move on."
"Sial...!" Aku menutup wajah dengan kedua belah tangan. Rasa laparku benar-benar hilang, padahal tadi perutku sudah berbunyi saat Anira datang untuk menjemputku ke restoran karena Dean dan Risyad sudah pergi lebih dulu.
"Ada apa sih?" Anira sudah berdiri dan menepuk bahuku. Aku merasa lunglai. Untung saja aku duduk di kursi rias. "Kok kamu kayak panik begitu?"
Aku menatap Anira pasrah dari pantulan cermin. "Aku dan Yudis...," Aku menelan ludah. "Kami ... kami melakukannya." Anira pasti mengerti maksudku.
"Kalian... apa?" Anira nyaris berteriak. "Astaga...! Aku pikir kamu pergi nengok Ibu, bukannya malah bikin anak pas hubungan kalian kacau begini!"
"Iya, aku tahu. Aku memang kacau," aku mengerang tak berdaya. "Itu nggak direncanakan."
"Tentu saja nggak direncanakan. Kamu bukan orang yang suka merencanakan dosa."
"Jadi aku harus gimana?"
"Ya kembali sama Yudis. Memangnya ada jalan lain?"
Aku buru-buru menggeleng. "Aku belum yakin sama dia meskipun dia memang minta aku kembali."
"Apa lagi yang bikin kamu nggak yakin? Aku nggak terlalu kenal Yudis, tapi aku percaya dia pasti bertanggung jawab. Dia tahu konsekuensi dari perbuatan kalian. Kalian sudah sama-sama tua begini."
Entahlah. Masih ada yang mengganjal tentang Yudistira. Salah satunya adalah ucapannya saat percakapan yang di-speaker Risyad tadi. Seandainya Risyad tidak sigap memotong, aku yakin Yudistira akan menyebut nama Indira. Dia selalu memanggilnya Dira. Yudistira tidak mau Risyad menyebut nama itu di depanku. Itu berarti sesuatu, kan? Aku hanya tidak mau ikut memberatkan Anira dengan kecurigaanku.
"Aku masih perlu berpikir."
"Kamu masih punya waktu berpikir sampai tes kehamilan kelihatan hasilnya. Tapi kalau positif, kamu nggak punya pilihan selain rujuk. Kasihan anak kalian."
"Baru bisa tes setelah telat haid, kan?" Masih lebih dua minggu lagi. Ini akan jadi penantian yang panjang.
"Jangan murung gitu," Anira menunduk dan memelukku dari belakang. "Terlepas gimana pun cara kamu mendapatkannya, anak itu rezeki, Na. Aku saja yang pengin banget belum dikasih-kasih." Senyumnya yang kulihat dari pantulan cermin mengembang. "Gimana rasanya?"
"Rasa karena bisa saja punya anak di luar nikah?" Aku balas menatap sebal. "Ya, takutlah. Apa aku kelihatan senang sekarang?"
"Bukan itu. Rasanya ngelakuin itu sama Yudis. Kamu kan sudah libur lama. Aku penasaran saja gimana rasanya. Terus, kejadian berapa kali? Nggak mungkin sekali, kan? Nanggung banget."
Aku mendelik. Bertambah satu lagi orang sinting di sekitarku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top