Tiga Belas

Aku bertemu ibu Yudistira saat masih SMA, ketika menjuarai lomba penulisan esai yang disponsori oleh Wijaya Grup. Dia yang menyerahkan hadiahnya kepadaku.

Ketika acara selesai, aku tidak bisa langsung pulang karena hujan turun sangat deras. Mustahil menembusnya untuk sampai ke halte tanpa basah kuyup. Bapak guru yang mendampingku menerima penghargaan sudah pulang lebih dulu. Dia tidak mengajakku ikut karena hanya membawa satu jas hujan. Aku memutuskan menunggu hujan reda di depan gedung sambil mengawasi tetesan air yang turun dengan rapat.

"Kamu nggak dijemput, Nak?" suara itu membuatku menoleh. Ibu Yudistira sudah berdiri di sampingku. Tidak lama kemudian, sebuah mobil datang dan berhenti di depan kami.

Aku menggeleng, tidak menjawab. Gerakan sopir yang tergesa turun dan membuka pintu mobil untuk perempuan cantik itu lebih menarik perhatianku.

"Hujannya kayaknya bakal lama. Yuk, ikut saja. Rumah Ibu nggak jauh dari sini. Setelah ngantar Ibu, Pak Mul bisa mengantarmu pulang."

Aku buru-buru menggeleng. "Nggak usah, Bu. Terima kasih," jawabku sesopan mungkin.

Ibu Yudistira tertawa kecil. "Kamu takut diculik ya? Ibu dan Pak Mul bukan penculik kok. Yuk, masuk ke mobil." Dia sudah setengah mendorong bahuku.

Aku tidak punya pilihan selain ikut. Jok mobil itu rasanya sangat nyaman. Setelah terbiasa dengan angkutan umum, duduk di situ rasanya seperti bertumpu di gumpalan awan.

"Nama kamu siapa? Tadi disebutin, tapi ibu sudah lupa." Tentu saja dia lupa. Menghadiri acara seremonial pasti bukan sesuatu yang personal. Dia tidak perlu menghafal nama.

"Kayana, Bu."

"Kelas berapa?" dia terus bertanya ramah.

"Kelas XI, Bu."

"Anak Ibu sudah tamat SMA," katanya tanpa ditanya. "Sekarang sudah kuliah. Semoga saja belajarnya jadi lebih rajin dan nggak nge-game melulu." Dia tersenyum. Dari caranya bicara, aku menangkap kesan kalau anaknya kuliah di luar kota. "Oh ya, rumah kamu di mana?"

"Saya... saya tinggal di panti, Bu." Sebenarnya aku enggan menyebutkannya. Biasanya orang akan menatapku prihatin begitu tahu aku anak panti. Dikasihani itu rasanya tidak nyaman.

"Oh ya?" seperti dugaanku, ibu Yudistira langsung berbalik dan menatapku lebih saksama. "Apa nama pantinya?"

"Harapan Mulia, Bu."

Waktu itu, ibu Yudistira tidak jadi singgah di rumahnya. Dia ikut bersamaku ke panti dan bertemu ibu panti.

"Kamu beruntung ketemu dia," kata ibu panti yang memanggilku setelah ibu Yudistira pulang. "Dia memasukan kamu dalam daftar penerima beasiswa di yayasannya. Katanya kamu pintar, sayang kalau nggak melanjutkan sekolah setamat SMA. Belajar yang rajin, jangan bikin Ibu itu kecewa."

Dan aku kuliah menggunakan beasiswa penuh dari yayasan ibu Yudistira, meskipun aku tidak pernah bertemu dia lagi sampai beberapa tahun kemudian. Dari ibu panti aku tahu kalau ibu Yudistira kadang-kadang datang untuk mengantar bantuan, tetapi karena aku sudah kos di dekat kampus, kami tidak pernah bertemu muka.

Pertemuan kami berikutnya terjadi saat aku mengambil kerja paruh waktu menjadi SPG salah satu booth di PRJ. Aku menegurnya sebagai sopan-santun saat dia mengunjungi booth yang aku promosikan.

"Kayana, kan?" Dia langsung mengingatku. Aku bahkan terkejut sendiri karena waktu itu aku memakai make up yang lumayan tebal. Syarat pemilik produk. Postur tubuhku juga sudah berbeda dengan saat terakhir bertemu. "Ya ampun, Kay, kamu cantik banget, Ibu sampai pangling!" Dia langsung memenggal namaku tanpa canggung. Masih seramah dulu.

"Ibu, terima kasih beasiswanya." Aku belum punya kesempatan untuk mengatakannya langsung, jadi aku menggunakan kesempatan itu. Belum tentu kami akan bertemu lagi.

Ibu Yudistira mengusap punggungku. "Kamu pantas mendapatkannya. Ibu dikasih laporan perkembangan nilai orang-orang yang mendapat beasiswa dari yayasan, dan nilai kamu yang paling tinggi." Kami memang harus mengirimkan nilai setiap semester ke yayasan yang memberi beasiswa untuk dievaluasi. Orang-orang yang berinvestasi pada pendidikan kami tentu saja tidak mau uangnya terbuang sia-sia. Ibu Yudistira menoleh pada seseorang yang berdiri di dekatnya. "Yes, kasih Kay kartu nama. Kita bisa ikutkan dia di pameran batik kita bulan depan. Pasti nggak sulit untuk dia menghafal sejarah batik dan jenisnya."

Sejak saat itu, komunikasiku dengan ibu Yudistira tidak putus. Kami memang hanya bertemu ketika yayasannya mengadakan acara, tapi hubungan kami baik. Aku sengaja menjaga jarak karena tahu meskipun ramah, aku tahu kalangan seperti itu memilih orang-orang yang berada di sekeliling mereka. Dan aku tidak suka terkesan menjadi penjilat kalau memaksakan diri mendekat.

Hubungan kami baru benar-benar dekat setelah aku tamat kuliah dan ibu Yudistira memintaku membantu Mbak Yesti mengurus jadwal kegiatannya selama beberapa bulan, sebelum menyuruhku masuk dalam kantor suaminya. "Kamu pintar banget, kasihan kalau cuman bantu-bantu Yesti saja ngurus jadwal Ibu. Di kantor Bapak, kesempatan kamu untuk maju jauh lebih besar. Nanti bisa bantu Yudis menjalankan usaha kalau Bapak pensiun."

Waktu itu aku hanya kenal Yudistira dari foto yang tersebar di rumah orangtuanya, karena dia masih berada di Amerika dan bekerja di sana setelah selesai kuliah.

**

Sama seperti Mbak Yesti, Ibu masih terlihat sama seperti saat terakhir kami bertemu. Yang berbeda hanya ekspresinya. Dulu dia terlihat sedih. Sekarang senyumnya tampak lebar saat melihatku memasuki vila yang dia tempati.

Mataku langsung terasa panas. Tenggorokanku tersumbat oleh tangis. Sekarang aku benar-benar merasa seperti orang yang tidak tahu terima kasih. Pecundang tolol.

"Ibu..." Aku meraih tangan kanannya dan menempelkannya di dahi. "Maafkan aku."

Ibu memelukku. Hangat. Wangi parfum yang familier langsung terhidu. "Ibu yang minta maaf karena sudah menyusul ke sini, padahal Ibu yakin kamu pasti menghindari kami semua setelah semua yang terjadi. Bapak bilang seharusnya Ibu bersabar, tapi Ibu nggak bisa. Ibu langsung ke sini setelah tahu tempat kamu tinggal." Ibu menarik tanganku dan mengajak duduk setelah pelukan kami terlepas.

"Yudis ya—"

"Yudis nggak bilang sudah ketemu kamu," Ibu memotong kalimatku. "Tapi Ibu tahu tempat ini karena dia. Bapak bilang syarat yang diajukan Yudis untuk kesepakatan pembangunan pabrik semen itu agak aneh, dan dia beberapa kali ke Makassar untuk mengurus sendiri soal itu, jadi Bapak menyuruh orang untuk mencari tahu. Dugaan Bapak benar, kamu ada di sini." Ibu mengusap lenganku. "Yudis nggak tahu Ibu ke sini. Biar saja. Siapa suruh dia juga nggak bilang-bilang kalau sudah ketemu kamu lebih dulu."

"Ibu nggak perlu menyusul aku ke sini." Aku mengusap air mata yang tidak berhenti menetes. "Suatu saat, setelah aku siap, aku pasti akan menengok Ibu dan Bapak." Aku sering memikirkan soal itu, tetapi tidak benar-benar bermaksud melakukannya. Setidaknya sampai aku sungguh yakin tidak punya perasaan apa pun lagi kepada Yudistira.

"Kapan? Kamu sudah pergi lama, Kay. Ibu tahu Ibu salah dan pantas mendapat ini dari kamu, ta—"

"Itu bukan salah Ibu. Keputusannya dibuat Yudis. Dia tahu apa yang dia putuskan. Dia bukan anak-anak lagi. Aku hanya kecewa dia nggak jujur padaku sejak awal."

Ibu mengusap pipiku. "Kamu ingat apa yang pernah Ibu bilang sama kamu jauh sebelum kamu dan Yudis menikah?" Ibu melanjutkan sebelum aku menjawab, "Kamu sudah Ibu anggap anak sendiri. Yudis adalah darah daging Ibu, tapi kamu juga sudah menjadi bagian dari diri Ibu. Ibu membawa kamu kemana-mana. Secara fisik, kamu jauh lebih dekat dengan Ibu daripada Yudis. Sudah menjadi naluri seorang Ibu untuk mencari anaknya, Kay. Nggak ada Ibu yang bisa melawan naluri itu. Hubunganmu dengan Yudis bisa saja terlalu berantakan untuk diperbaiki, tidak masalah. Jodoh nggak ada yang tahu selain Tuhan. Ibu bisa rela melepas status kamu sebagai menantu, tetapi nggak akan mengubah kenyataan kalau kamu tetap anak Ibu. Kita sudah setuju soal itu sebelum hubunganmu dengan Yudis dimulai. Kamu nggak bisa mengakhirinya begitu saja karena kalian berpisah. Jenis hubungan kita dan hubungan kamu sama Yudis itu berbeda, Kay. Orangtua terkadang salah memperlakukan anaknya, seperti yang sudah Ibu lakukan sama kamu, tapi kamu wajib memaafkan Ibu. Itu tugas kamu sebagai anak."

Pandanganku semakin kabur. Aku benar-benar perempuan pendendam yang picik. Karena Yudistira, aku melepaskan ikatan dengan orang-orang yang sejak awal sudah membantuku tanpa pamrih. "Aku benar-benar minta maaf, Bu."

"Jangan lari lagi, Kay. Ibu sudah tua. Kamu tahu persis gimana kondisi Ibu. Jangan bikin Ibu terus merasa bersalah. Tidak masalah kalau kamu sudah berpisah dengan Yudis. Ibu mengerti kok kalau kalian sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Ibu hanya ingin bisa bertemu kalian kapan pun Ibu mau, meskipun harus melakukannya terpisah kalau kalian masih nggak nyaman berada di tempat yang sama bersama-sama."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top