Tiga

Makasih untuk antusiasmenya ya. Nggak nyangka bisa dapet lebih 2K bintang dalam sehari, padahal kemaren baru bab 2. Jadi semangat nulisnya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

Oh Ya, nggak aku edit ya. Jadi maafkan typo dan kalimat nggak efektifnya. Aku ngejar fast update-nya.

**

Kamu tahu apa itu cinta yang tahu diri? Kalau tidak, biar kuberitahu. Cinta yang tahu diri itu adalah sadar jika dirimu jatuh cinta kepada kepada seseorang, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk menggapai cintamu karena kamu tahu orang yang ketiban cintamu itu tidak tertarik kepadamu. Jadi kamu memilih memendam perasaanmu sendiri. Hanya mengelus dada saat orang yang kamu cintai itu melenggang santai di depanmu sambil menggandeng perempuan lain yang terlihat seperti kembaran dewi-dewi dalam mitologi Yunani. Jenis perempuan yang membuatmu menyadari ternyata kasta dalam penampilan itu nyata adanya.

Aku cukup lama terjebak dalam episode cinta tahu diri itu. Menyebalkan, iya. Bikin sakit hati, tentu saja. Tapi namanya juga cinta, kita tidak bisa lantas menghentikan rasa itu hanya bermodalkan keinginan. Bicara soal cinta, itu rasa di luar kuasa kita.

Supaya tidak terlihat menyedihkan dalam menjalani cinta sepihak yang tahu diri itu, aku melakukan hal bodoh. Atau konyol. Mungkin bodoh dan konyol kedengaran lebih tepat. Ini yang kulakukan : alih-alih menunjukkan perasaan tertarik, aku melakukan yang sebaliknya. Memasang pagar pembatas setinggi mungkin. Aku menunjukkan raut terganggu setiap kali laki-laki itu berinteraksi denganku.

Tahan berkomentar kalian. Aku tahu kok kalau aku kelihatan menyedihkan karena bersikap munafik seperti itu. Namun, menipu diri sendiri jauh lebih baik daripada ketahuan jatuh cinta kepada seseorang yang berada di luar jangkauan. Bayangkan perasaan malu yang harus kutanggung karena kami bertemu setiap hari di kantor.

"Kay, mantan kamu mirip banget dengan saya ya?" tanyanya suatu waktu saat menyadari ekspresi sebalku kepadanya. "Kamu diapain sih sama dia sampai dendam kesumatnya dilampiaskan ke saya?" Dia kemudian tertawa dan bergerak menjauh saat aku hanya menatapnya datar tanpa menjawab pertanyaannya. Iya, aku berhasil menampilkan ekpresi tidak peduli, padahal jantungku memukul kuat di dalam. Aku bahkan heran dia tidak mendengarnya.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba menepis bayangan masa lalu yang menyusup dalam benakku. Untuk apa mengingat semua hal yang membuatku malah semakin sakit hati? Aku harus fokus pada masa depan, bukannya sibuk mengorek koreng yang sudah mengering.

"Jadi, kamu beneran nggak bisa ikut aku ke Makassar?" tanya Adam sekali lagi saat kami sudah duduk di restoran untuk minum kopi. Aku mengajaknya ke sini setelah menyuruh pegawai yang bertugas untuk melayani tamu Dean yang rewelnya seperti balita itu.

"Maaf ya." Aku tidak enak mengecewakan Adam. Bagaimanapun, dia kandidat terkuat untuk menjadi cinta masa depanku yang abadi.

"Ya, mau gimana lagi?" Adam mengedik pasrah.

"Rabu atau kamis, aku akan ke Makassar untuk belanja. Nanti aku hubungi," Aku mencoba menghibur.

"Kalau sudah pasti, kabari supaya aku jemput." Adam tersenyum. Dia terlihat semakin tampan dengan ekspresi itu. Seharusnya tidak perlu usaha untuk menyukainya. Kenapa hatiku seperti mati rasa?

Adam satu-satunya kandidat cinta masa depanku sekarang, tetapi aku tidak ingin terlalu memberi harapan. Bukankah baru semalam aku menyadari kalau statusnya sekarang hanya sebatas tameng? Aku pernah diberi harapan palsu dan rasanya menyesakkan. Aku tidak ingin melakukan hal yang sama kepada Adam. Tapi mungkin sudah terlambat. Adam pasti bisa merasakan kalau akhir-akhir ini aku agak lunak padanya.

"Aku akan ke Makassar sendiri kayak biasa. Akan kuhubungi kalau sudah di sana."

Adam akhirnya kembali ke Makassar setelah mengabiskan kopi dan pisang gorengnya. Aku kemudian lanjut ke perkebunan untuk melihat-lihat. Kegiatan rutinku setiap pagi sebelum mandi dan masuk kantor.

Saat pertama kali tiba di sini, tempat ini belum dikelola dengan baik dan profesional karena Dean membeli lahan superluas ini hanya sebagai investasi. Boleh dibilang aku yang mengubah tempat ini menjadi tempat wisata yang lumayan terkenal setahun terakhir. Meskipun belum sepenuhnya balik modal, aku tahu uang yang Dean tanam di usaha ini –sesuai proposal yang aku ajukan begitu memegang tempat ini— tidak sia-sia. Kami berada di jalur yang benar. Agrowisata bukan bisnis instan yang butuh keberuntungan seperti bermain di pasar modal. Ini usaha yang butuh ketekunan dan kerja keras. Dan aku pekerja keras. Waktu sudah membuktikannya.

Sudah banyak pekerja yang berada di perkebunan sayur saat aku sampai di sana. Sayur memiliki siklus tanam dan panen yang berbeda, jadi penanaman dilakukan secara berkala supaya tidak ada kekosongan masa produksi. Bekerja di tempat ini aku jadi banyak belajar tentang ilmu pertanian, walaupun sebenarnya aku bertanggung jawab pada manajemennya. Tetapi pengelola yang baik adalah orang yang tahu persis bisnis yang dikelolanya sampai ke hal terkecil sekalipun. Jadi ya, aku sekarang tahu bahwa kangkung butuh waktu 3 minggu sejak ditanam untuk siap panen, bayam dan sawi butuh waktu 25-30 hari, sementara tomat dan mentimun butuh waktu 2 bulan. Sayur lain berbeda lagi umur panennya.

"Sepertinya tomat yang di sebelah sana sudah siap panen ya?"

Aku menoleh cepat. Aku tidak mendengar kedatangan laki-laki itu. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. "Apa Bapak perlu se—"

"Aku tahu kamu nggak suka melihatku, tapi nggak usah formal kayak gitu," potongnya. Dia bergerak ke sampingku. "Kedengarannya malah aneh. Kalau panggilan "mas" kayak dulu bikin kamu tersedak, panggil "kamu" juga nggak apa-apa."

Aku mendengus. Siapa yang mau beramah-tamah kepadanya?

"Katanya lahannya hampir 70 hektar ya?" nada suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada masalah apa pun di antara kami.

Bukan berarti kami masih punya masalah yang belum selesai sih. Perceraian berarti penutupan untuk semua masalah, kan? Kami sudah menyelesaikan semuanya baik-baik dulu. Aku saja yang masih menyimpan ganjalan dan sakit hati. Dia pasti merasa biasa-biasa saja, karena sejak awal melamarku dia tahu bahwa pernikahan kami punya batas waktu. Dia tahu dirinya akan menjadi duda dan menikahi orang lain yang dicintainya kelak, sementara aku mengira kebersamaan kami akan berlangsung selamanya.

"Iya, hampir 70 hektar," kekanakan kalau aku tidak menjawab pertanyaan seperti itu.

"Sudah ditanami semua?"

"Tinggal sedikit yang belum."

"Kelihatannya menjanjikan."

"Begitulah," jawaban pendek sesuai pertanyaan.

"Kamu betah kerja di sini?"

"Tentu saja." Aku langsung defensif. "Tapi itu bukan urusanmu, kan?" Dia mau dipanggil kamu, baiklah, aku kasih dia "kamu". "Mas" terlalu bagus untuknya.

Meskipun tidak menoleh ke arahnya, aku tahu kalau dia menatapku. Aku bisa merasakannya. Mungkin dia mencari-cari sisa-sisa pemujaan di wajahku. Ingin tahu apakah aku masih perempuan bodoh yang sama seperti dulu. Maaf saja, tetapi aku tidak akan membuatnya bahagia dengan menunjukkan bahwa dugaannya benar.

"Memang bukan urusanku. Aku hanya ingin tahu. Aku ikut senang kalau kamu betah di sini. Kelihatannya tempat ini memang tenang banget."

Artinya kalimatnya itu adalah aku seharusnya memang tinggal di sini, kan? Aku juga tidak berharap pindah kemana-mana dalam waktu dekat. Aku suka pekerjaanku sekarang, walaupun berbeda jauh dengan apa yang aku kerjakan dulu.

"Kamu nggak meninggalkan alamat yang bisa dihubungi untuk mengirim surat rapat pemegang saham tahunan. Email yang dikirim ke kamu juga nggak ada yang dibalas. Deviden tunai sudah dimasukkan dalam rekening kamu."

Saat perceraian, aku mendapatkan 5 persen saham perusahaan dari 10 persen yang dimilikinya. Sebagian besar saham yang tidak dilempar di pasar bursa atas nama ayahnya yang masih menjalankan perusahaan. Dia hanya diberi 10 persen saat mulai bekerja. Pengacara yang mengurus segala hal yang berhubungan dengan harta gono-gini dari pernikahan singkat itu. Aku tidak menolak menerimanya karena aku realistis. Sakit hati memang tidak bisa disembuhkan dengan harta, tetapi bodoh kalau menolaknya setelah dipermainkan. Aku hanya belum menyentuh sepeser pun dari uang itu. Aku masih punya uang sendiri. Sudah kubilang kalau aku pelit, jadi tabunganku setelah berhenti bekerja dulu lumayan banyak. Aku juga tidak menganggur lama karena langsung dipekerjakan Dean.

"Aku memang sudah nggak pakai email yang itu." Aku malas membicarakan uang. "Silakan kalau masih mau lihat-lihat. Aku mau pulang mandi dulu." Aku berbalik.

"Aku juga mau balik ke vila saja. Siap-siap menunggu Pak Dean." Dia ikut berjalan di sebelahku. "Papa benar, tangan kamu itu dingin banget. Apa pun yang kamu pegang pasti hasilnya bagus. Kata Pak Dean, kamu yang membuat tempat ini jadi seperti sekarang."

Tunggu dulu, apakah Dean benar-benar tidak mengenal laki-laki ini sebelumnya? Lalu mengapa mereka bicara tentang aku? Ada yang aneh. Aku akan mencari tahu kalau Dean datang.

"Oh ya, aku nggak suka kopi yang mereka bikin. Kamu bisa membuat kopi untukku, kan? Kopi bikinan kamu rasanya selalu enak."

Aku mendelik. "Aku pengelola tempat ini, bukan tukang bikin kopi!"

"Aku tamu di sini."

"Dan aku belum pernah bikin kopi untuk semua tamu yang datang di sini. Bahkan tidak untuk Dean." Aku mempercepat langkah. Namun sulit melarikan diri dari seseorang yang tungkainya jauh lebih panjang.

"Aku berbeda dengan semua tamu yang pernah datang di sini."

"Karena kamu tamu Dean? Di mataku sama saja." Kenapa perkebunan ini luas sekali sih? Seharusnya aku tadi tidak jalan kaki. Kemana semua kendaraan yang biasa mengangkut pengunjung petik buah saat dibutuhkan?

"Nggak ada yang salah dengan secangkir kopi demi masa lalu, kan?"

Aku menghentikan langkah. Wajahnya yang menoleh ke arahku kutatap lekat. "Kamu tahu kenapa aku berada di sini? Karena aku nggak terlalu suka masa laluku. Aku ingin melupakannya. Jadi aku nggak akan bikin kopi untuk kamu demi merayakan pertemuan kita. Kalau bisa menghindari pertemuan ini, aku akan menghindarinya."

**

Untuk yang penasaran sama nama "laki-laki itu", tungguin part selanjutnya. Udah ketahuan namanya kok di part 4.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top