Sembilan

Harusnya Aku update kemaren sih, karena aku pikir bintangnya bakal sama pengan part 7 yang waahhh banget, ternyata nggak. Oh ya, aku sebenarnya mau coba masukin dialog khas Makassar. Aku pikir bakalan keren kalau ada nuansa Makassarnya dalam dialog, tapi karena banyak yang protes soal salah penempatan, jadi aku batalin saja. Cukup yang lalu saja. Maaf buat yang merasa terganggu dengan yang kemaren. Berasa gagal jadi istri orang Makassar dan pernah tinggal di Makassar selama beberapa tahun. Hehehe.... Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss.... 

**

Adam melongok setelah mengetuk pintu kantorku. Senyumnya tampak lebar. Rambutnya terlihat basah oleh keringat. "Hai, Na." Dia menutup pintu di belakangnya. "Aku baru selesai main tenis dengan bos baru kamu. Dia jauh lebih tangguh daripada Culli. Senang bisa main dengan lawan yang sepadan. Ini baru beneran olahraga."

Aku hanya bisa meringis. "Maaf nggak balas telepon dan pesan kamu. Ponselnya tadi ketinggalan di rumah." Tadi aku sengaja tidak menyusulnya ke lapangan tenis setelah tahu dia main tenis dengan Yudistira. Aku tahu Adam akan mencariku setelah selesai bermain kalau memang ingin bertemu denganku.

"Kamu rajin banget sih, Na. Minggu begini tetap betah di kantor." Adam tidak menanggapi permintaan maafku. "Bos kamu kelihatan santai kok orangnya. Nggak kelihatan otoriter. Jadi kamu bisa lebih santai juga."

"Mau minum apa?" Lebih baik tidak meneruskan percakapan tentang Yudistira.

"Tadi sudah minum di lapangan. Oh ya, bos kamu masih muda banget. Aku beneran nggak nyangka. Dia sudah menikah?"

Pernah, denganku. "Nggak tahu. Nggak etis menanyakan hal itu, kan?" Aku memang tidak tahu bagaimana status Yudistira saat ini. Dan tidak ingin tahu. Bukan urusanku lagi.

"Iya juga sih."

"Mau brunch?" tawarku lagi.

"Boleh deh. Yang ringan-ringan saja. Ntar malah ngantuk di jalan."

"Kalau gitu kita ke restoran saja yuk." Aku berdiri mendahului Adam keluar ruangan. Kami beriringan menuju restoran yang dibangun di ketinggian dengan pemandangan perkebunan dan waterpark. Ini tempat yang bagus untuk menikmati keindahan alam sambil makan.

Aku segera menyesal mengajak Adam ke restoran saat melihat Yudistira juga berada di sana. Masalahnya, tidak mungkin mundur sekarang tanpa terlihat aneh.

"Kita gabung dengan bos kamu?" tanya Adam saat melihat Yudistira melambai dan tersenyum.

"Nggak usah, ki—" kalimatku terhenti saat Adam sudah menuju meja Yudistira. Bagus sekali. Aku tidak punya pilihan selain ikut bergabung. Tidak mungkin memilih meja sendiri padahal tujuanku ke sini adalah menemani Adam.

"Mau makan apa?" Aku berusaha mengabaikan Yudistira dan fokus kepada Adam. Jujur, sekarang aku bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan Yudistira di depan Adam. Memanggilnya dengan sebutan "kamu" jelas tidak akan terdengar sopan dengan statusku sebagai bawahan. Sebutan "kamu" meskipun baku, sering dianggap tidak sopan di Makassar. Adam akan keheranan kalau mendengarku menyapa bosku dengan panggilan itu. Memanggil Yudistira dengan sebutan "bapak" pasti ditertawakan oleh Yudistira sendiri. Dia akan segera tahu kalau aku menyembunyikan bentuk hubungan kami di masa lalu dari Adam.

"Gado-gado saja."

"Oke, gado-gado." Aku melambai memanggil pelayan.

"Pesankan aku juga, Kay." Yudistira menunjuk ponselnya yang berdering. "Aku angkat ini dulu."

Aku menghela napas panjang. "Mau makan apa?"

"Terserah kamu saja. Kamu tahu apa yang aku suka." Dia berdiri dan berjalan menuju pintu keluar yang tidak jauh dari meja kami.

Aku menatap punggungnya sebal. Tahu begini, aku akan memesan makanan untuk Adam dari ruang kerjaku saja.

"Tuh kan, bos kamu santai banget dan gampang akrab gitu." Adam mengulangi pernyataannya. Dia rupanya salah mengartikan sikap Yudistira.

"Bagaimana restoran baru kamu?" Aku mengalihkan percakapan setelah memesan makanan untuk kami semua.

"Respons mengunjung bagus. Semoga akan tetap ramai seperti sekarang setelah masa promo selesai." Melihat Adam yang selalu positif dan percaya diri selalu menyenangkan. Seandainya saja aku bisa seperti itu. Aku percaya diri kalau soal pekerjaan, tapi tidak bisa menyikapi kehidupan pribadiku seperti itu. Terima kasih untuk seseorang yang sudah membuatku meragukan diri sendiri.

"Aku yakin pasti akan selalu ramai. Kalau rasa enaknya konsisten, orang pasti terus balik lagi."

Yudistira kembali ke meja kami setelah selesai menerima telepon. Dia meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali tersenyum kepada Adam. "Saya sudah lama nggak main tenis. Tadi itu menyenangkan."

"Kita bisa main lagi kalau Pak Yudistira datang lagi," sambut Adam ikut tersenyum. "Saya juga senang dapat lawan yang tangguh."

Kenapa makanannya lama sekali sih? Memangnya berapa lama yang dibutuhkan untuk membuat gado-gado dan sandwich? Mereka tidak mungkin baru memanen sayurnya sekarang.

"Pak Adam sering main tenis di sini? Nggak kejauhan dari Makassar?"

"Kan sekalian bertemu Kayana." Adam melirikku dengan tatapan jail. "Susah ketemu dia kalau nggak disamperin ke sini. Pak Yudistira tidak salah memilih orang untuk menjalankan usaha ini. Nggak ada yang lebih baik daripada Kayana."

Aku benar-benar seharusnya tidak di sini. Walaupun hubunganku dengan Adam hanya sekadar teman, tetapi aku mungkin harus berterus-terang tentang hubunganku dengan Yudistira. Tidak enak melihatnya berusaha membuatku terlihat kompeten seolah Yudistira dan aku memang baru saling kenal.

"Saya tahu kemampuan Kay, makanya saya memang nggak kepikiran untuk mengganti pengelola tempat ini."

"Aku titip sayur buat Nira ya," aku menyela percakapan mereka. "Kamu kan lewat rumahnya. Sekarang dia hanya makan sayur organik."

"Boleh. Aku sekalian mau ketemu Dean juga."

Untunglah makanan kami segera datang sehingga percakapan terhenti. Aku memilih fokus pada piringku, tidak mengangkat kepala sama sekali.

"Apa jusnya ditambah gula?" pertanyaan Yudistira membuatku terpaksa mengangkat kepala.

"Tidak kalau aku yang pesan." Pegawai restoran ini sudah tahu aku tidak pernah minum jus yang ditambah gula atau pemanis apa pun.

"Aku minum teh tawar saja." Yudistira menukar jus jeruknya dengan teh tawar milikku. Aku hanya membiarkan, tidak ingin terlibat perdebatan tidak penting karena minuman. Melakukan hal seperti itu di depan Adam hanya akan membangkitkan kecurigaannya. Aku benar-benar harus menceritakan hubungan masa laluku dengan Yudistira kepadanya. Kalau aku benar-benar akan memberi Adam kesempatan untuk menjalin hubungan, lebih baik tidak menyembunyikan apa pun sejak awal. Tapi tentu saja aku tidak akan melakukannya hari ini. Aku akan mencari waktu yang tepat. Jadi ketika mereka kelak bertemu lagi –aku harap tidak ada lain kali— Adam tidak akan terlihat naif seperti sekarang.

Ponsel Adam ganti berdering tidak lama setelah dia mendorong piringnya yang sudah kosong ke tengah. Dia kemudian minta izin untuk menerima teleponnya di luar.

"Jadi, kamu sekarang jalan sama dia?" tanya Yudistira begitu Adam pergi.

Aku menatapnya datar. "Bukan urusan kamu, kan?"

"Dia pasti belum tahu hubungan kita. Kapan kamu akan bilang sama dia?"

"Bilang apa? Memangnya kita punya hubungan apa? Ikatan kita hanya tempat ini saja. Aku kerja untuk kamu. Itu saja, nggak lebih."

"Kalau jadi dia, aku pasti nggak akan suka pasanganku berinteraksi tanpa bilang-bilang dengan ...." Yudistira mengedik. "Kamu tahu."

Aku bersedekap, terus menatapnya. "Aku baru tahu kalau kamu sekarang punya hobi mencampuri urusan orang lain. Dulu kamu nggak seperti itu."

"Aku hanya mengatakan pendapatku, Kay. Nggak mengajak kamu berdebat. Aku nggak akan pernah menang saat berdebat dengan kamu, kan? Aku belum lupa."

"Dan aku nggak butuh pendapat kamu. Hidupku baik-baik saja tanpa pendapat kamu."

"Sejak dulu kamu selalu defensif kalau itu tentang aku. Kamu hanya percaya pada asumsi kamu sendiri dan nggak mau melihat sudut pandang orang lain."

"Kamu mau bilang kalau kita berpisah itu karena asumsi aku?" Ini mungkin tempat yang tepat untuk membahas masa lalu, tetapi Yudistira benar-benar menyebalkan.

"Kita berpisah karena kamu mau kita berpisah."

Ketenangan Yudistira membuat emosiku benar-benar tersulut. "Bicara soal sudut pandang, apa kamu pernah mencoba melihat dari perspektifku? Apa kamu mau menghabiskan hidup dengan orang yang sudah menipumu mentah-mentah? Setelah kebohongan kamu tempo hari, bagaimana bisa percaya kamu lagi?"

"Aku salah soal itu. Aku sudah minta maaf. Aku beneran menyesal sudah me—'

"Aku juga menyesal sudah tertipu," aku memotong dan memilih meneguk minumanku daripada melanjutkan. Syukurlah Adam akhirnya datang kembali.

"Jusnya kenapa?" Adam mengernyit menatapku. "Kok ekspresi kamu kayak gitu?" 

**

Update akan disesuaikan dengan jumlah bintang, atau komen. Tapi jangan spam ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top