Sebelas
Ponselku berdering tidak lama setelah meninggalkan rumah Anira. Nama Adam muncul di layar. Tampaknya sulit menghindari pertemuan dengannya. Kadang-kadang rencana memang lebih sering melenceng dari kenyataan.
"Hai, Dam." Aku menepikan mobil sebelum mengangkat teleponnya.
"Kok ke Makassar nggak bilang-bilang sih?" Adam tidak membalas sapaanku. "Dean mampir ke tempatku nih. Katanya kamu ada di rumahnya."
Dean tadi memang sempat menelepon Anira saat aku masih di rumah mereka, jadi dia tahu aku di Makassar. Aku hanya tidak menyangka kalau dia akan makan siang di tempat Adam.
"Aku hanya datang ngambil oleh-oleh yang dibawa Anira dari Jakarta." Itu bukan alasan utama. Aku ke Makassar untuk bicara dengan Anira tentang Yudistira. Namun, Adam tidak perlu penjelasan seperti itu di telepon. "Mau langsung balik ke Malino. Sudah ada janji dengan pelanggan jam 4 nanti." Aku tidak bohong. Memang ada pertemuan dengan salah seorang pengusaha restoran dalam jadwalku. "Kalau nggak buru-buru, aku pasti ngabarin kamu begitu tiba tadi."
"Kamu sekarang di mana?" Adam rupanya tidak terlalu tertarik mendengar penjelasanku.
"Sudah di jalan mau balik ke Malino."
"Mampir ke restoranku ya. Kamu toh akan lewat di sini juga kalau mau ke Malino," desak Adam.
"Tapi—" Aku benar-benar belum ingin bertemu Adam sekarang. Aku tahu bagaimana rasanya berharap kepada seseorang yang tidak tulus padaku. Aku tidak ingin melakukan hal yang sama pada Adam.
"Sebentar saja. Kami punya menu baru. Kamu pasti suka."
"Aku sudah makan siang di rumah Anira tadi," aku masih berusaha mengelak.
"Bukan makanan berat kok. Mampir ya. Aku tunggu."
Aku menghela napas panjang. "Baiklah. Lima belas menit lagi aku sampai."
Jalan raya tidak terlalu padat sehingga aku tidak butuh waktu sampai lima belas menit untuk sampai di restoran baru Adam. Jam makan siang sudah lewat sehingga tempat itu tidak ramai lagi. Hanya beberapa meja yang masih terisi.
Adam yang duduk di dekat dinding kaca berdiri menyongsongku. Dia pasti sudah melihat kedatanganku.
"Kita ngobrol di kantorku saja." Adam mengarahkan langkahku ke ruangannya. Dia melambai ke salah seorang pegawainya. "Makanannya dibawa ke dalam kalau sudah siap ya."
"Aku beneran nggak bisa lama-lama, Dam." Aku meletakkan tas di atas meja dan duduk di sofa yang ada di ruangan Adam. "Nggak enak kalau kliennya malah menunggu padahal sudah datang jauh-jauh dari Makassar. Aku juga mau ajak dia tur di kebun sayur, jadi nggak boleh terlalu sore."
"Aku sudah bilang nggak lama, Na. Hanya mampir nyicip menu baru kami kok. Chef kami bikin pare isi, tapi nggak diisi kelapa parut dan tuna kayak yang sudah ada. Yang ini diisi dengan daging cincang dan mozarella. Kalau nggak mau daging merah, bisa pesan ayam kok. Aku sudah pesan keduanya untuk kamu." Seperti biasa, Adam selalu terlihat bersemangat saat membicarakan restoran dan menu-menunya.
"Kedengarannya enak." Alangkah bagus seandainya saja aku menyukai Adam seperti dia menyukaiku. Dengan dia, aku tidak perlu takut kehabisan bahan percakapan karena dia selalu berinisiatif mengajakku ngobrol tentang apa saja. Bukankah perempuan hanya butuh cinta, antusiasme, dan perhatian dalam suatu hubungan? Adam jelas bisa memberikan semuanya. Seandainya saja aku memiliki kendali atas hati dan perasaan, aku tidak akan merasa galau dan terombang-ambing seperti botol soda yang nyasar di tengah laut. Karena itulah yang aku rasakan sekarang. Ingin bergerak maju, tetapi kakiku seperti terpasung.
"Memang enak, Na. Kalau nggak enak, nggak mungkin aku rekomendasikan ke kamu. Kamu kan rada pemilih soal makanan."
Sebenarnya aku tidak pilih-pilih makanan, aku hanya membatasi jumlah kalori yang aku konsumsi. Sebisa mungkin aku memilih makanan sehat yang tidak kaya karbohidrat. Olahraga tanpa menjaga asupan makanan tidak akan memberikan hasil maksimal.
Aku menarik koran lokal yang tergeletak di atas meja, dekat tasku. Foto di halaman depan itu tampak familier.
"Itu Dean dan bos kamu," Adam menjelaskan tanpa kuminta. "Mereka akhirnya menandatangani perjanjian kerja sama pabrik semen itu. Masuk halaman depan karena itu investasi besar yang masuk di Sulsel. Gubernur sampai ikut hadir di acara itu."
Koran itu aku letakkan kembali, tidak jadi kubaca. Kali ini aku fokus menatap Adam. "Aku harus mengatakan sesuatu." Ini saat yang tepat untuk memberi tahu laki-laki itu.
"Soal apa?" Adam yang sejak tadi berdiri sekarang ikut duduk di sofa.
"Yudistira Wijaya."
"Bos kamu itu?" senyum Adam terbit. "Aku sudah kenal dia. Kami main tenis bersama. Juga brunch sama kamu kan minggu lalu?" dia mengingatkan.
"Sebenarnya ini mungkin bukan hal penting untuk kamu," aku memenggal kalimatku, memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi aku harus kasih tahu ini supaya kelak kalau bertemu Yudistira, kamu nggak akan terlihat naif lagi di mata dia."
Adam mengernyit. "Dia bilang aku naif? Kelihatannya dia bukan orang yang suka membicarakan orang lain. Dan kalian ngobrol tentang aku, soal apa?"
"Dia nggak bilang kamu naif." Aku mengusap dahi dengan punggung tangan. Aku merasa seperti kembali menjadi manajer HRD dan siap memecat seseorang sekarang. Tidak ada cara mudah melakukan tugas seperti itu. "Kami memang bicara tentang kamu. Sedikit. Dia mengira kita pacaran."
"Kamu bicara hal sepribadi itu dengan bos baru kamu?" Adam terlihat tidak suka.
Ini saat menjatuhkan bomnya. Aku tahu Adam tidak akan suka mendengarnya, tetapi jauh lebih baik jujur daripada menyembunyikan masa laluku dengan Yudistira. Kalau hubunganku dengan Adam bisa berlanjut ke level selanjutnya kelak, aku akan membangunnya dengan fondasi kejujuran. Perpisahanku dengan Yudistira terjadi karena dia sudah berbohong padaku sejak awal. Pernikahan kami didasarkan kepalsuan, yang sayangnya tidak aku sadari. Aku tertipu mentah-mentah.
"Dia bukan sekadar bos aku. Ka—"
"Kalian sudah kenal sebelumnya? Pantasan sikap dia ke kamu santai banget. Kamu yang malah kelihatan kaku menghadapi dia."
"Kami bukan hanya kenal sih. Ka—"
"Kamu pernah pacaran sama dia?"
"Bukan pacaran. Kami pernah menikah." Aku bisa melihat Adam melongo dan matanya melebar. "Iya, dia mantan suamiku," aku melanjutkan lebih lancar. "Aku nggak tahu dia yang beli agrowisata punya Dean sampai dia muncul di Malino."
Adam terdiam cukup lama. Dia tampaknya tidak menduga kemungkinan itu. "Dia tahu kamu yang mengelola agrowisata itu?"
Kami tidak pernah membicarakan soal itu, tetapi aku yakin pertemuan kami hanya kebetulan saja. "Tidak."
"Kamu yakin?"
Kalau kupikir-pikir lagi, kemungkinan Yudistira tahu aku mengelola tempat Dean sebelum dia membelinya memang cukup besar. Dia orang yang cukup detail saat melakukan transaksi bisnis. Namun, seandainya dia tahu pun, itu tidak ada hubungannya dengan status kami. "Yakin."
"Aku tahu kita nggak pernah bicara soal masa lalu kamu, Na. Kamu nggak mau membahasnya dengan aku, dan aku mengerti sih. Hubungan kita belum sampai ke tahap yang membuat kamu mau dan nyaman untuk bicara soal itu. Tapi sekarang apa aku bisa bertanya soal itu?"
Aku menatap Adam waspada. "Soal apa?"
"Kamu berpisah baik-baik dengan Yudistira?"
Aku ingat Yudistira tidak langsung menerima saat aku minta cerai. "Aku tahu kamu marah, Kay," katanya. "Kamu memang berhak marah, tapi bercerai bukan jalan keluar. Mungkin usahaku terlihat kurang di mata kamu yang selalu menginginkan kesempurnaan, tapi aku benar-benar berusaha dalam pernikahan ini. Semua orang pasti punya masalah dalam pernikahan mereka, tetapi aku yakin nggak ada yang memilih bercerai saat pertengkaran pertama mereka. Kasih aku kesempatan untuk membuktikan kalau aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama."
Aku juga ingat waktu itu aku menggeleng kuat-kuat. "Aku nggak akan memberi kesempatan untuk seorang pembohong!"
"Ayolah, Kay. Aku tahu aku salah, tapi itu bukan kesalahan yang nggak bisa kamu maklumi. Aku nggak selingkuh dari kamu. Apa pun alasan kita menikah, nyatanya kita baik-baik saja, kan? Aku tahu kalau aku mungkin jauh dari ekspektasi kamu sebagai suami, tapi aku berusaha."
"Na...?" sentuhan Adam di lenganku membuatku tersadar.
"Kami berpisah baik-baik." Setelah adu argumen yang aku menangkan. Setelah mengabaikan air mata ibu Yudistira yang tidak berhenti meminta maaf karena merasa menjadi penyebab perceraianku dengan anak tunggalnya.
"Ada kemungkinan kalian rujuk?" tanya Adam lagi. "Mungkin itu alasan dia sengaja membeli agrowisata milik Dean. Kalau aku nggak salah tangkap dari kata-kata Dean, Yudistira sepertinya memaksa untuk memasukkan agrowisata itu dalam deal mereka."
Aku buru-buru menggeleng. "Kami nggak akan rujuk," jawabku yakin. Aku sudah dibohongi sekali. Bodoh sekali kalau sampai terulang.
Adam tersenyum. "Aku hanya perlu tahu itu sih."
Dalam perjalanan pulang ke Malino, aku kembali teringat masa lalu. Lebih banyak daripada yang aku inginkan, dan hatiku terasa seperti diremas-remas. Aku meninggalkan banyak hal yang aku cintai di masa lalu.
"Aku memikirkan berulang kali sebelum melamarmu, Kay. Karena aku tahu standar kamu untuk pasangan hidup pasti tinggi, dan aku berada jauh di bawah. Aku tahu itu dari cara kamu melihat dan berinteraksi denganku. Orang yang sempurna dan tanpa cela seperti kamu pasti nggak mengharapkan punya suami yang terkadang masih seenaknya dan manja kayak aku. Tapi aku tetap maju. Dan nyatanya ini memang nggak berhasil, kan? Aku harap kelak kamu akan menemukan orang yang sama sempurnanya dengan kamu, supaya kamu nggak perlu memaafkan kesalahannya, karena sama seperti kamu, orang itu nggak akan melakukan kesalahan apa pun." Yudistira berbalik meninggalkanku di selasar pengadilan agama setelah hakim mengetuk palu mengesahkan perceraian kami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top