Lima Belas
Selesai sarapan, aku dan Ibu tidak langsung meninggalkan restoran. Mbak Yesti yang ikut sarapan bersama kami minta izin kembali ke vila lebih dulu untuk merapikan barang-barang, karena besok dia dan Ibu akan pulang ke Jakarta. Ibu sebenarnya masih ingin tinggal, tetapi ada acara pernikahan kerabat yang harus dihadari.
"Tempat ini memang bagus banget. Pantas kamu betah." Pandangan Ibu terarah pada perkebunan yang luas. "Ibu akan sering-sering mengunjungi kamu di sini."
"Jakarta jauh. Aku yang akan mengunjungi Ibu di sana." Tidak ada lagi alasan untuk bersembunyi. Yudistira tidak tinggal bersama orangtuanya, jadi tidak masalah kalau aku ke rumah ibu. "Ibu bisa menghubungiku kalau mau bertemu."
Ibu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Ibu minta maaf karena sudah merusak hidup kamu, Kay. Ibu sama sekali nggak bermaksud seperti itu. Kamu benar-benar sudah Ibu anggap anak sendiri. Waktu itu Ibu hanya merasa serakah dan berpikir alangkah bagusnya kalau hubungan kita resmi secara hukum. Dan cara yang paling ibu suka adalah melihat kamu menikah dengan Yudis. Ibu sayang kalian berdua. Membayangkan kalian bersama dan punya anak benar-benar membuat Ibu bahagia. Ibu nggak menyangka keegoisan Ibu akan menghancurkan kita semua. Kamu sakit hati dan pergi, Yudis juga menyalahkan Ibu, dan Ibu nggak bahagia seperti yang semula Ibu rencanakan."
"Aku nggak pernah menyalahkan Ibu." Yudistira bisa menolak ide Ibu kalau dia mau berkeras. Aku yakin Ibu tidak akan memaksanya. Ibu hanya punya satu orang anak yang sangat dia sayang, mustahil mendiktenya.
"Ibu memang salah. Kamu nggak apa-apa marah dan mengeluarkan semua unek-unek sama Ibu. Yudis sudah melakukannya. Setelah kamu pergi, dia butuh waktu dua bulan sebelum mengangkat telepon Ibu dan pulang ke rumah. Dia benar saat mengatakan bahwa Ibu terlalu ikut campur dalam pernikahan kalian. Ibu sebenarnya nggak bermaksud mengajari dia soal berumah tangga. Ibu hanya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar nyaman dan Yudis memperlakukan kamu dengan baik. Itu saja. Ternyata itu malah jadi bumerang. Dia jadi jengkel karena Ibu terus mengingatkan lalu terpancing mengatakan hal-hal jelek yang nggak dia maksud, dan kamu dengar itu."
Aku mendengar dengan jelas apa yang Yudis katakan dan aku yakin dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Dia memang meninggalkan perempuan yang sangat dia cintai untuk menikahi aku yang bukan tipenya demi menyenangkan Ibu. Aku yakin tidak ada perempuan di dunia yang senang mendengar hal seperti itu.
Cara Yudis menggambarkan aku sangat mengiris hati. Perempuan serius. Malaikat pencatat dosa. Padahal waktu itu aku mulai yakin dia juga mencintaiku. Kami menghabiskan banyak waktu berdua karena bekerja di kantor yang sama. Berangkat ke kantor bersama, makan siang berdua kalau dia tidak ada meeting dengan klien, pulang bersama, dan menghabiskan malam dengan tidur sambil berpelukan. Aku tidak tahu berapa jumlah yang dianggap normal bagi pasangan suami istri bercinta, tapi kami menghabiskan banyak pengaman setiap minggu, terutama di akhir pekan. Caranya menatapku saat kami tenggelam di sesi-sesi intim itu mengirim pesan jika aku tidak bertepuk sebelah tangan dengan perasaanku. Bukan hanya sekali dua kali dia mengatakan kata-kata cinta setelah kami bercinta. Bodohnya aku karena merasa bahagia saat mendengarnya. Aku merasa sangat malu saat mengingat hal-hal yang dia lakukan padaku, atau kulakukan padanya di tempat tidur, kamar mandi, atau di tempat lain yang tidak masuk akal untuk bercinta. Dia pasti menertawakan aku di belakangnya. Mungkin juga menjadi bahan lelucon dengan teman-temannya, "Man, gue berhasil membuat si Malaikat Pencatat Dosa itu memuaskan semua fantasi seksual gue! Dia jadi nggak kelihatan serius kayak malaikat lagi dengan posisi kayak gitu." Lalu mereka terbahak-bahak bersama.
"Aku lebih suka kita nggak bicara soal itu lagi, Bu." Aku melepas genggaman tangan Ibu dan meraih gelas jusku yang tidak terlalu dingin lagi.
"Kamu akan merasa lebih baik setelah mengeluarkannya, Kay."
Kalau mau marah, aku akan memilih melampiaskannya pada Yudistira, bukan Ibu. "Aku sudah merasa lebih baik. Kejadiannya sudah lama juga." Meskipun rasanya baru kemarin.
Ibu menatapku putus asa, tetapi tidak membantah lagi. Aku kembali mengangkat gelas dan menyesap minumanku. Aku lantas tersedak saat menoleh ke pintu masuk dan melihat siapa yang baru saja datang. Oh tidak, jangan sekarang!
"Kenapa, Kay?" tanya Ibu saat melihatku terbatuk-batuk. Dia menyodorkan sehelai tisu yang dia tarik dari tempatnya.
"Nggak apa-apa, Bu." Aku membersihkan hidung dari air yang nyasar ke tenggorokan, alih-alih masuk kerongkongan. Air mataku sampai keluar.
"Hai, Na. Sudah sarapan? Padahal aku pikir kita bisa sarapan sama-sama. Aku sudah berangkat pagi banget dari Makassar." Adam yang sudah berdiri di sisi meja lantas menatap Ibu dengan rasa ingin tahu.
Kenapa Adam tidak datang besok saja saat Ibu sudah pulang sih? Aku menarik napas panjang sambil berusaha tersenyum. "Bu, kenalkan ini Adam, temanku. Dam, ini...." Bagaimana aku harus memperkenalkan Ibu kepada Adam? Hubungan pertemananku dengan Adam belum sampai tahap aku nyaman menceritakan semua kehidupan pribadiku. Dia hanya tahu aku janda cerai, berasal dari Jakarta, dan bersahabat dengan Anira, istri Dean, temannya. Dean pasti sudah mengenal latar belakangku dari Anira, tetapi kelihatannya dia tidak banyak membaginya dengan Adam. Mungkin Anira yang melarang.
"Saya ibunya Kayana," Ibu melanjutkan kalimatku.
"Adam, Bu." Adam buru-buru mengulurkan tangan. "Saya boleh ikut duduk di sini?"
"Silakan." Ibu melebarkan tangan ke arah salah satu kursi kosong di meja kami. "Senang bisa ketemu dengan teman Kay."
"Saya juga senang bisa berkenalan dengan Ibu." Seperti biasa, Adam gampang sekali menyesuaikan diri dengan orang baru sekalipun. "Kapan datang, Bu?"
"Sudah hampir seminggu," jawab Ibu ramah.
"Kayana nggak bilang-bilang kalau ibunya akan datang ke Malino. Kalau tahu Ibu datang, saya bisa ke sini lebih awal untuk berkenalan."
Ibu tersenyum. "Kay memang seperti itu kan orangnya? Paling nggak suka merepotkan orang. Sudah lama kenal Kay?"
"Sudah setahunan, Bu. Restoran saya mengambil bahan baku dari sini."
"Mau makan apa, Dam?" Aku memutus percakapan itu melambai pada pelayan yang lantas mendekat.
"Kopi dan sandwich saja," Adam menyebutkan pesanannya kepada pelayan.
"Saya kopi saja." Yudistira tiba-tiba saja muncul dan duduk di kursi kosong terakhir di meja kami.
Aku menghela napas. Hebat. Mimpi apa aku semalam sampai harus berakhir dalam situasi seperti ini?
"Minta supaya kopi kamu dibawa ke vila saja." Ibu menoleh pada Yudistira. "Ada yang harus Ibu bicarakan sama kamu. Semalam kamu sudah tidur saat Ibu balik ke vila."
"Aku mau minum kopinya di sini saja, Bu."
"Tidak, kamu minum kopinya di vila. Biar Kay bicara berdua dengan temannya." Ibu berdiri dan tersenyum kepada Adam. "Ibu tinggal ya, silakan ngobrol dengan Kay."
Adam ikut berdiri sopan. "Terima kasih, Bu."
"Ayo, Dis. Bantu Ibu turun. Tangga restorannya lumayan tinggi."
Kali ini Yudistira tidak membantah. Dia mengiringi langkah Ibu tanpa melihatku atau menegur Adam.
"Dia nggak suka aku di sini," kata Adam setelah Ibu dan Yudistira menjauh.
"Ibu?"
"Bukan, mantan kamu. Jadi Ibu itu siapa, ibu kamu atau ibunya?"
Sepertinya pagiku memang benar-benar rusak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top