Lima

Aku update sekarang Karena sore bakal ngabuburit. Oh ya, ini baru aku tulis dan nggak diedit. Para grammar nazi nggak usah protes, karena nggak akan aku revisi juga versi wattpad ini. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Saat sudah berada di dalam kamar, aku mengambil sehelai kertas dan pulpen. Aku harus membuat daftar mengapa aku harus meninggalkan, atau malah bertahan di tempat ini. Bukan saatnya lagi aku membuat keputusan yang berdasarkan pada emosi sesaat yang akan kusesali kelak. Aku sudah menyesali banyak hal di masa lalu karena memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang. Aku tidak ingin mengulangnya lagi.

Jadi, alasan aku harus meninggalkan tempat ini adalah :

1. Untuk menghindari sakit hati dari pertemuan dengan Yudistira kelak karena itu akan terjadi kalau aku tetap di sini.

2. Memudahkan aku memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu.

Alasan aku tetap bertahan di sini adalah :

1. Aku suka tempat ini. Seperti kata Dean, tempat ini seperti anak yang kulahirkan sendiri. Tidak ada ibu yang suka meninggalkan anaknya.

2. Pindah kerja berarti memulai semuanya dari awal lagi. Butuh waktu untuk penyesuaian.

3. Bekerja di tempat Dean yang lain tidak otomatis aku akan terbebas dari kemungkinan bertemu Yudistira. Dan aku tidak berpikir untuk melarikan diri ke tempat lain lagi. Masa laluku menyesakkan, tetapi tidak berarti aku akan menggunakan seluruh masa kini dan masa depanku untuk bersembunyi.

4. Aku punya Anira di sini. Dia seperti saudara kandungku. Aku datang ke sini karena dia. Pergi dari Makassar ke tempat baru dan tidak punya orang lain yang memiliki hubungan emosional denganku di sana, hanya untuk menghindari Yudistira jelas bukan keputusan cerdas. Aku sudah kehilangan dia dan keluarganya. Masa sekarang aku harus pergi dari Anira juga karena Yudistira?

Aku memandangi daftar itu lama sebelum akhirnya masuk dalam selimut. Saat meninggalkan Jakarta 3 tahun lalu, aku tidak pernah berpikir akan menghadapi dilema seperti ini. Waktu itu aku mengira pergi berarti menutup bagian dari hidupku yang melibatkan Yudistira dan keluarganya. Karena itu aku bahkan mengganti nomor telepon supaya orangtuanya tidak bisa menghubungiku, padahal mereka sudah begitu baik kepadaku.

Kalau mau jujur, memutuskan hubungan dengan orangtua Yudistira membuatku tidak kalah jahatnya dari laki-laki itu sendiri. Mereka yang lebih dulu hadir dalam hidupku sebelum Yudistira. Kalau bukan karena ibunya, entah bagaimana aku bisa menyelesaikan kuliah. Aku tahu mereka pasti mengerti keputusanku, tetapi rasanya tetap saja seperti orang yang tidak tahu berterima kasih. Cinta membuatku terluka, dan aku akhirnya ikut melukai orang yang seharusnya mendapatkan hormatku. Miris memang.

Aku tidak bisa memejamkan mata meskipun sudah berulang kali berganti posisi. Aku menyerah dan meraih ponsel untuk menghubungi Anira. Semoga saja dia belum tertidur. Denyut Makassar dan Malino jauh berbeda.

"Hai," Anira langsung mengangkat teleponku. "Dean sudah cerita. Aku minta maaf karena dia bersikap berengsek seperti itu karena meminta kamu tinggal di Malino hanya untuk memuluskan deal dengan Yudistira. Sekarang aku malah nggak tahu siapa yang lebih berengsek dari mereka berdua. Aku nggak langsung menghubungimu karena aku pikir kamu butuh waktu mengendapkan kemarahan sebelum menghubungi aku. Kalau mau ngomel sekarang, aku akan mendengar."

Aku mengerti apa yang dipikirkan otak pengusaha Dean. "Aku nggak marah, Nira." Dean pasti sudah dibantai Anira, jadi aku tidak perlu membuat hubungan mereka semakin memburuk. "Aku hanya bingung."

"Bingung soal apa? Nggak usah bingung. Dean bisa mencari investor yang lain. Dia nggak akan menjual tempat itu kepada Yudistira. Aku akan memastikannya." Anira terdengar masih emosional. Responsnya lebih buruk daripada aku saat mendengar berita ini. Mau tidak mau aku jadi kasihan kepada Dean.

"Jangan kayak gitu. Mendapatkan investor itu nggak gampang. Apalagi usaha yang mau Dean bangun itu perlu biaya yang sangat besar. Aku nggak masalah kalau kok Dean melepas tempat ini pada Yudis. Jangan menyalahkan dia. Aku nggak mau kalian ribut gara-gara aku."

Desahan Anira terdengar jelas. Aku tahu dia paham dengan apa yang aku katakan. "Tapi, Na—"

"Pengusaha itu nggak akan berhasil kalau mengandalkan perasaan untuk memutuskan sesuatu. Kamu hidup nyaman seperti sekarang karena insting bisnis Dean yang luar biasa."

"Aku tahu."

"Ya sudah, jangan marah-marah lagi sama Dean."

"Kalau begitu, kemas barang-barang kamu dan datang ke Makassar sekarang!"

Aku tidak bisa menahan senyum. Anira memang lebih blakblakan daripada aku. "Dean nggak akan mendapatkan investasi itu kalau aku meninggalkan Malino. Kalau dia nggak bisa mendapatkan deal itu, kenapa aku harus pergi dari sini?"

"Kamu nggak harus bertahan di situ untuk Dean. Kamu nggak berutang apa-apa sama dia!"

Aku mengembuskan napas. "Kalau aku pergi, aku mau ke mana, Nira? Aku ke sini karena kamu." Aku mengatakan apa yang ada di dalam daftar yang aku tulis tadi secara verbal. "Aku nggak mau menjadi orang yang kalah lagi kalau memutuskan pergi. Aku nggak mau kehilangan kamu."

"Dean benar-benar nggak akan melepas tempat itu." Suara Anira terdengar pecah. Selain blakblakan, dia juga lebih cengeng.

"Biar saja dilepas. Dean benar, meskipun Yudis mengambil alih tempat ini, dia nggak akan sering-sering ke sini. Dia mungkin langsung lupa kalau sudah membeli tempat ini. Dia dulu pernah membeli lahan yang bagus banget di Tanjungpandan. Katanya mau dijadikan tempat liburan, tetapi tidak pernah kembali ke sana lagi."

"Aku nggak terlalu yakin." Anira kembali mendesah. "Menurutmu, dia sudah tahu kamu ada di Malino sehingga dia memutuskan meminta menginap di situ?"

"Ini kebetulan." Aku menggeleng meskipun tahu Anira tidak akan melihat. "Lagian, untuk apa dia mencari tahu dan menemuiku? Urusan kami sudah selesai dulu."

"Kamu beneran nggak harus menerima usul Dean, Na," Anira kembali ke masalah kesepakatan itu.

"Beneran nggak apa-apa," aku menenangkan. "Aku suka di sini. Aku baru sadar kalau aku ternyata lebih menikmati bekerja di alam kayak ini daripada terkurung di dalam kantor. Di sini faktor stress-nya lebih kecil. Kalau pusing, tinggal jalan-jalan di kebun dan lihat tanaman yang siap panen."

"Tapi Yudistira akan menjadi bos kamu, Na. Dan kamu masih mencintai dia! Kamu harus memikirkan perasaan kamu sendiri. Gimana mau move on kalau begitu?"

Anira seharusnya tidak perlu mengucapkannya keras-keras. Aku juga tahu itu. "Aku sedang berusaha melupakannya. Aku berpikir akan memberi Adam kesempatan."

"Adam baik. Hanya saja, kamu nggak bisa memulai dengan dia kalau belum selesai dengan Yudistira."

"Nggak akan sulit mencintai Adam." Semoga saja.

"Kamu dulu juga bilang nggak akan sulit melupakan Yudistira. Lihat keadaannya sekarang!"

Aku tertawa getir. "Aku sebenarnya mengharap support kamu, bukan penghakiman kayak gini."

"Maaf."

"Nggak apa-apa, Nira. Aku bercanda. Sudah malam banget. Aku tutup ya. Lusa aku ke Makassar. Sampai ketemu di situ."

**

Kabut masih ada meskipun mulai menipis saat aku menuju kebun tomat. Pekerja di sana sudah mulai memanen tomat. Tomat sebaiknya dipanen di pagi atau sore hari untuk mengurangi proses respirasi. Untuk masa tanam yang sama, tomat tidak dipanen sekaligus. Butuh waktu 3-5 hari untuk memanennya karena buahnya tidak matang serentak.

Bedeng-bedeng tomat penuh dengan ajir yang berfungsi sebagai tempat merambat dan menopang batang tanaman sehingga tidak rebah saat mulai berbuah. Kelihatannya hasil panen hari ini banyak, melihat warna orange yang memenuhi perkebunan.

Aku melihat Yudistira mendekat. Dia sepertinya memulai inspeksi di calon wilayah kekuasaannya sejak pagi ini.

"Kelihatannya hasilnya banyak ya?" katanya setelah berada di sampingku. "Selain tomat, apalagi yang dipanen hari ini?"

"Mentimun, kangkung, bayam, dan ada beberapa lagi."

"Kemarin aku lihat jambu di sana juga sudah banyak yang matang." Yudistira menunjuk ke perkebunan jambu. "Dipanen hari ini juga?" dia terlihat antusias dengan perkebunan ini.

"Tidak dipanen sekarang. Jambu di bagian sana dibuka untuk wisata petik buah hari ini. Sisanya akan dipanen sore untuk dijual atau dijadikan jus," aku menjelaskan seperti memberi tur kepada pengunjung.

"Kamu beneran kelihatan nyaman di sini, Kay. Kamu nggak seharusnya pergi hanya karena aku akan mengambil alih tempat ini."

Aku mengepalkan tangan sambil menatapnya. "Aku memang nggak akan pergi."

Yudistira balik menatapku. Matanya menyipit seolah ingin membaca pikiranku. Dia tidak akan bisa. "Itu keputusan bagus. Aku nggak mau merasa mengusirmu dari sini. Aku kekanakan dengan apa yang aku lakukan dulu. Itu nggak akan terjadi lagi."

Bukan kekakanan, tetapi keterlaluan. Bermain dengan perasaan orang sangat tidak manusiawi. "Aku nggak mau bicara soal itu lagi. Kita sudah berpisah baik-baik dan aku sudah punya kehidupan baru. Nggak ada alasan untuk menghindari kamu lagi."

"Kalau menurut kamu perpisahan kita baik-baik, kamu seharusnya nggak ke sini, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau bisa, kamu akan menghindari pertemuan denganku. Kalau mau marah, lampiaskan saja. Aku memang pantas menerimanya."

Aku tertawa getir. Dalam waktu beberapa jam, sudah ada dua orang yang memintaku melampiaskan kemarahan. Ini bukan hari yang terlalu buruk. "Marah untuk masa lalu? Untuk apa? Aku sudah nggak di sana lagi." Aku memutuskan kembali ke rumah. "Silakan lihat-lihat tempat yang akan kamu beli ini. Kalau kamu punya ide untuk perbaikan, nanti sampaikan ke aku. Kalau kita nggak ketemu, kamu bisa email. Nanti aku kirimkan alamat emailku." Aku berbalik. Lebih baik jangan berinteraksi terlalu lama. Aku tidak suka berbohong.

**

Cuman mau ngingetin aja supaya nggak ditodong update ya, terutama buat pembaca baru. Aku juga nggak janji akan update tiap hari, jadi kalau nggak update berarti memang nggak sempat nulis. Tunggu aja, nggak usah ditanyain. Aku malah bete dan males nulis kalau ditagih. Iya, emang aku otor baperan dan nyebelin kok. Tahu, nggak usah diingetin. Asal Vomen lancar jaya, aku pasti sempetin nulis. Hehehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top