Enam
Nggak diedit. Baru saja kelar ditulis. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaeessss....
**
Anira sedang ke Jakarta saat aku ke Makassar. Aku sedang menimbang-nimbang hendak menghubungi Adam ketika dia malah menghubungiku lebih dulu. Aku memandangi ponselku cukup lama. Apakah mencoba melangkah maju melanjutkan hidup dengan melibatkan Adam adalah tindakan yang benar? Karena kelihatannya aku malah memanfaatkannya dengan memberi harapan sementara aku tahu hatiku belum benar-benar ikhlas melepas masa lalu.
"Hai...," Tidak mungkin mengabaikan teleponnya juga. Hubungan kami sebagai teman selama ini baik-baik saja.
"Gimana, jadi ke Makassar? Mau aku jemput?"
Aku meringis. Kalau sudah seperti ini, aku memang tidak mungkin menghindari pertemuan dengannya. "Aku sudah di Makassar kok."
"Kok nggak bilang-bilang, Na? Harusnya kamu telepon dulu sebelum jalan. Sekarang kamu di mana?"
"Di Gramedia MARI nih." Akhir-akhir ini aku sedang suka membaca buku-buku pertanian dan agrobisnis, sesuai dengan usaha yang aku kelola.
"Aku jemput ya? Kamu makan siang di restoranku. Kamu belum makan, kan?" Adam selalu terdengar antusias saat bicara. Mungkin itu yang membuatku cocok dengannya. Kepercayaan diri dan optimisme sudah menjadi ciri khasnya. Kalau tidak percaya diri dan optimis, dia pasti sudah menjauh saat aku berkali-kali menolak ketika dia mengusulkan meningkatkan status hubungan kami. Tapi tidak, Adam tidak pernah putus asa. Dia sepertinya yakin aku akan luluh kalau dia terus berada di dekatku. Dan dia tidak sepenuhnya salah. Beberapa hari lalu aku memang sudah berpikir untuk memberinya kesempatan, kan?
"Nggak usah dijemput. Aku akan ke restoran baru kamu setelah belanja." Adam pernah menunjukkan restoran itu saat masih dalam proses renovasi bulan lalu. "Aku bawa mobil kok."
Hanya butuh waktu setengah jam dari pusat perbelanjaan yang aku kunjungi ke restoran Adam. Dia rupanya sudah menungguku karena duduk di salah satu meja, bukannya di dalam ruang kantornya.
"Bagus banget." Aku mengedarkan pandangan di sekeliling ruangan. Kesan retro yang kental terlihat dari furnitur dan aneka dekorasi yang dipilih. Tempat ini berbeda dengan restoran Adam lain yang berkonsep modern.
Adam menarik kursi untukku. "Yang ngerjain memang berdedikasi." Dia kemudian menyusul duduk di depanku.
"Kalau makanannya sebagus interiornya yang instagramable gini, restoran kamu yang ini pasti akan ramai terus."
"Tentu saja makanannya enak. Aku jualan makanan, bukan spot buat foto-foto." Adam mengulurkan buku menu yang juga didesain istimewa. "Aku nggak akan merekomendasikan salah satu menu, karena semuanya istimewa. Kamu nggak akan kecewa. Dijamin."
Aku tersenyum mendengar ucapannya yang berbau iklan. Khas Adam yang percaya diri. Setelah meneliti gambar menu makanan yang pasti dikerjakan oleh fotografer profesional, aku menunjuk salah satu gambar iga bakar yang kelihatannya menggiurkan. Juga segelas jus jeruk. Aku tahu jeruknya berasal dari perkebunanku.
Ya, tidak ada salahnya menyebut tempat itu sebagai perkebunanku, kan? Toh tetap aku yang mengelolanya meskipun Dean mengatakan dia sedang mengurus berkas-berkas pengambilalihan tempat itu. Aku yakin Yudistira tidak akan kembali ke Malino dalam waktu dekat setelah pergi dua hari yang lalu. Dia pasti tenggelam dalam kesibukannya dan juga teman-temannya. Mungkin juga pacar atau tunangannya. Dia akan segera melupakan Malino.
"Anira dan Dean sudah ke sini?" Aku mengembalikan buku menu kepada pelayan yang mencatat pesananku.
"Belum sempat. Tadi mereka ke Jakarta, kan?" Adam balik bertanya. "Aku lihat status Anira, tapi nggak nanyain."
"Kolega Dean ada yang menikah." Tadi Anira menelepon menanyakan apakah aku ingin memesan sesuatu dari Jakarta, sekaligus menceritakan alasan keberangkatannya. "Besok mereka balik kok."
"Oh ya, Dean bilang dia melepas agro resornya ke rekan bisnisnya ya?"
Untung saja aku tidak sedang minum, karena kalau iya, aku pasti tersedak. Aku memang tidak pernah melarang Dean menceritakan pengambilalihan tempat yang aku kelola itu, tetapi juga tidak menduga dia akan menceritakan hal itu kepada Adam padahal prosesnya belum benar-benar selesai. "Dean bilang apa lagi?" Hubungan Dean dan Adam cukup dekat. Mungkin saja dia juga menceritakan kalau yang akan mengambil alih usaha agrowisata itu adalah mantan suamiku.
Adam tentu saja tahu statusku sebagai janda. Itu bukan hal yang harus aku sembunyikan, meskipun banyak orang yang memandang sebelah mata dengan status itu. Janda dan stereotip negatif biasanya adalah paket yang saling melengkapi. Apalagi janda cerai. Tapi mau bagaimana lagi? Aku yakin tidak ada perempuan yang bercita-cita menjadi janda saat menikah. Aku juga begitu. Ini hanya takdir yang tidak bisa aku hindari.
"Nggak ada. Dean hanya bilang kalau agro resor itu masuk dalam paket deal pabrik semen yang mau dia bangun. Jadi kamu bagaimana?"
"Maksud kamu?" Apakah Dean benar-benar memberitahu Adam?
"Maksudku, kamu sudah bertemu dengan calon pemiliknya? Beda owner biasanya kebijakannya beda lagi sih."
Adam ternyata tidak tahu. Dean tidak membawa-bawa hubunganku dengan Yudistira saat memberitahu Adam. "Ehm... sudah." Apakah aku harus memberitahu Adam? Tapi untuk apa? Hubungan kami belum kemana-mana.
"Orangnya bagaimana, menyenangkan?"
Bagaimana cara menggambarkan Yudistira? "Ehmm... begitulah."
"Begitulah bagaimana? Iya, kamu memang nggak mungkin langsung tahu kepribadiannya dalam waktu singkat. Aku nanyain kesan pertama kamu saja."
Kesan pertamaku saat melihat Yudistira dulu? Dia anak bos yang ramah dengan selera yang tinggi untuk semua hal, termasuk perempuan. Tidak heran, dia sudah mendapatkan semua yang terbaik sejak lahir. Seharusnya aku memang curiga saat dia mengatakan tertarik kepadaku dan mengajakku menikah. "Biasa saja."
"Dia pasti mencari tempat untuk menghabiskan hari tua. Malino tempat yang cocok karena tenang. Asal dia nggak punya masalah dengan persendian saja. Udara yang dingin banget pasti nggak akan bikin dia nyaman kalau sendinya bermasalah. Sudah tua banget ya?"
Bagi sebagian orang, 33 tahun memang tidak muda lagi, tetapi juga tidak termasuk dalam kategori "tua banget". Untunglah pelayan yang mengantarkan minuman datang sehingga percakapan tentang calon bosku langsung terhenti. "Jusnya enak," aku sengaja mengalihkan percakapan.
"Kami hanya menyajikan yang terbaik di sini." Senyum Adam langsung lebar.
"Dan jeruk terbaik itu kami yang suplai," aku mengingatkan.
Adam tertawa. "Oh iya, aku sampai lupa."
Aku menatapnya lekat. Dia tampan sekali. Kalau dunia keartisan hanya mengandalkan tampang semata, Adam pasti diterima dengan tangan terbuka di sana. Mengapa hatiku masih belum tergetar? Dia jenis laki-laki yang bisa mendapatkan perempuan mana pun, dan dia menginginkan hubungan serius denganku. Seharusnya aku tidak ragu, kan? Pasti ada yang salah dengan setelan otakku.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Adam rupanya menyadari aku mengamatinya. Dia mengedipkan sebelah mata padaku. "Sudah mulai tertarik?"
Aku hanya tersenyum, tidak menjawab. Seandainya aku bisa menjawab "iya", aku akan mengatakannya dengan senang hati.
Persis saat pelayan datang kembali untuk mengantar makanan, ponselku berdering. Aku mendesah saat melihat nama yang muncul di layar. Baru saja aku berharap dia melupakan investasi yang sudah disasarnya, sekarang dia malah menghubungiku.
"Ya?" Aku tidak repot-repot mengucap salam.
"Aku dan Dean baru saja menandatangani pengambilalihan agrowisata kamu," cara Yudistira menyebut agrowisata itu seolah tempat itu memang milikku. "Termasuk 3 mobil operasional."
"Kami hanya punya satu mobil operasional." Yang sekarang aku pakai.
"Kata Dean, 2 mobil baru akan dikirim ke Malino besok."
Astaga, 3 mobil terlalu banyak. Tamu biasanya datang dengan kendaraan sendiri ke Malino. Tetapi siapa aku untuk membantah?
"Besok pagi aku ke Manado, dan lusa akan mendarat di Makassar. Suruh sopir menjemputku di bandara. Jam 4 sore. Jangan terlambat."
Apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top