Empat Puluh
Kemoterapi membuat Ibu lebih lemah daripada biasanya. Dokternya sudah menjelaskan soal efek samping ini secara mendetail, jadi kami semua sudah bersiap.
Sebelum ke kantor, aku biasanya menemani Ibu sarapan, meskipun nafsu makannya menurun. Ibu butuh protein tinggi untuk meminimalisir kerusakan jaringan sel akibat kemoterapi, tetapi karena dia vegetarian, agak sulit mewujudkannya. Protein berkualitas tinggi dengan asam amino esensial yang lengkap kebanyakan berasal dari hewan dan turunannya. Dan Ibu sedikit keras kepala untuk mengubah pola makan.
"Ibu bisa balik makan rumput dan daun lagi setelah sembuh," bujuk Yudistira. Aku hanya bisa menggeleng-geleng mendengarnya. "Sekarang makan sea food, telur, dan produk susu aja dulu kalau nggak mau daging merah."
Kesepakatan yang berhasil kami dapat hanyalah Ibu bersedia minum protein bubuk. Aku dan Mbak Yesti berusaha membuat Ibu makan sesuai anjuran dokter gizi supaya kondisinya selama menjalani kemoterapi yang dijadwalkan selama beberapa bulan tetap terjaga.
Di hari kerja, aku hanya bersama Ibu di pagi dan malam hari. Mbak Yesti menemani Ibu di siang hari. Kami berganti peran di akhir pekan. Mbak Yesti bisa libur karena aku bisa bersama Ibu seharian.
Yudistira kembali tinggal di rumah Ibu sejak Ibu memulai proses kemoterapi, jadi kami biasanya pergi dan pulang kantor bersama-sama. Kekhawatiranku soal kecanggungan sepertinya terlalu berlebihan, karena meskipun tetap dengan gayanya yang kadang jail dan konyol, Yudistira tidak lagi membahas prospek kami akan kembali bersama. Syukurlah. Dengan begitu kami berdua bisa fokus kepada Ibu tanpa harus dibebani rasa tidak nyaman.
"Pulang sekarang?" pertanyaan rutin itu membuatku mengangkat kepala dari laptop. Yudistira sudah ada di dalam ruanganku. Aku tidak mendengar suara ketukan pintu. Entah aku yang terlalu konsentrasi dengan pekerjaan, atau dia memang tidak mengetuk.
"Astaga...!" Aku lantas mengusap dahi. Tadi siang Anira menelepon dan mengabarkan kalau dia sudah sampai di Jakarta. Aku sudah berjanji menemuinya di hotel. Kami akan makan malam bersama. Aku seharusnya mengirimkan pesan kepada Yudistira supaya dia tidak usah menungguku untuk pulang bersama.
"Ada apa?" Dahi Yudistira berkerut. "Kerjaan kamu masih banyak? Tinggal aja. Masih bisa dikerjain besok-besok. Nggak usah kerja terlalu keras. Semua target sudah hampir tercapai di akhir triwulan 3 ini. Orang perencanaan sudah bisa santai sambil duduk manis lihatin orang marketing banting tulang."
"Bukan soal kerjaan." Aku berdiri dan mulai mengemasi barang-barang yang ada di atas meja. "Kamu pulang duluan deh. Aku sudah janjian sama Anira buat makan bareng."
"Anira ke Jakarta?"
"Iya, teman Dean ada yang menikah di sini besok." Anira sudah mengabarkan kedatangannya sejak 3 hari lalu. Aku tidak memberitahu Yudistira karena itu toh tidak ada hubungan dengannya.
"Ya sudah, aku temenin ke sana. Nggak ada Pak Mus juga. Masa kamu mau naik taksi ke sana?"
"Memang kenapa kalau aku naik taksi?" Aku tidak semanja itu. Aku sudah terbiasa melakukan semua hal sendiri sejak kecil. "Aku beneran bisa sendiri, nggak usah diantar." Ngobrol dengan Anira ditemani Yudistira tidak mungkin leluasa.
"Aku juga nggak ada kerjaan lain, Kay. Kalau pulang ke rumah nggak bareng kamu, ntar aku malah diomelin Ibu. Dia pikir aku yang nggak mau ngantar kamu."
Yudistira itu rajanya ngeles. Dia pasti bisa menjawab apa pun pertanyaan Ibu, tetapi aku malas mendebatnya. "Kamu bisa ketemu teman-teman kamu sebelum pulang ke rumah," usulku.
"Kami kalau ngumpul direncanain dulu. Nggak bisa yang the last minutesgini ngabarinnya. Mereka semua juga sibuk."
Aku bilang juga apa, dia punya jawaban untuk semua usul dan pertanyaan. "Kalau gitu, kamu mampir makan dulu sebelum pulang. Aku juga nggak akan lama ketemuan sama Anira, jadi jarak waktu kita sampai di rumah nggak akan terlalu jauh."
"Kenapa kita harus makan terpisah kalau kamu ketemu Anira untuk makan juga?"
Konyol berdebat untuk hal sekecil itu. "Baiklah, kita pergi sama-sama." Lebih baik menyerah. Toh ada kemungkinan Anira ditemani Dean juga.
Ah ya, itu ide bagus. Aku kemudian mengirim pesan kepada Anira dan memberitahunya kalau aku datang bersama Yudistira, jadi dia juga sebaiknya mengajak Dean, sehingga kami bisa bisa makan bersama tanpa merasa canggung.
Hanya saja, aku tidak memikirkan kemungkinan teman Dean yang akan menikah itu adalah teman Adam juga, sehingga aku lumayan terkejut saat melihat meja Anira di restoran hotel ditempati tiga orang.
"Pantas saja kamu mau ke sini sendiri, ternyata ada orang itu," gerutu Yudistira di sampingku saat kami melangkah berdampingan menuju meja Anira.
"Aku nggak tahu kalau dia juga ada. Anira nggak bilang," aku balas menggumam. Tunggu dulu, kenapa aku harus membela diri? Aku toh tidak melakukan perbuatan terlarang kalaupun bertemu Adam terang-terangan.
"Cek ponsel kamu," bisik Anira saat kami berpelukan.
Aku duduk dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas setelah bersalaman dengan Adam dan Dean. Pesan terakhir Anira yang belum kubaca memang menyebutkan kalau Adam menyusul Anira dan Dean di restoran.
Setelah berbasa-basi sebentar, aku lantas minta izin ke toilet. Aku memberi isyarat supaya Anira mengikutiku.
"Sori, aku nggak mungkin nyuruh Adam pergi dari restoran," kata Anira saat kami sudah berada di toilet. "Itu tempat umum."
"Itu bukan salah kamu," sambutku menenangkan.
"Dia tanya soal hubungan kamu dengan Yudis, tapi aku bilang nggak tahu, karena kamu nggak cerita soal itu. Tapi lihat kalian datang bareng kayak tadi, pertanyaannya pasti sudah terjawab sendiri."
Aku mendesah. "Aku dan Yudis nggak akan balikan. Kami berbaikan sebagai anak-anak Ibu. Dia sudah menerima itu kok. Kami nggak bicara soal kemungkinan balikan itu lagi sekarang."
"Kamu yakin?" Anira tidak terdengar senang mendengar jawabanku. "Pikir baik-baik, Na. Nyesal itu datangnya belakangan. Yudis nggak akan menunggu kamu selamanya."
Aku menatap Anira tidak percaya. "Aku pikir kamu sahabatku."
"Karena aku sahabatmu, jadi aku mengingatkan."
"Kamu sudah mengingatkan berulang kali!"
"Akan aku ulang lagi kalau memang perlu."
"Yudis sudah menerima keputusanku, kenapa kamu yang ngotot?" Aku tidak percaya harus mengulang percakapan yang sebenarnya sudah kami lakukan sebelum aku meninggalkan Makassar.
"Mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk membuatnya berubah pikiran lagi."
"Apa?" Tidak mungkin Anira menyuruhku gantian mengejar Yudistira, kan?
"Aku tahu harga diri kamu terluka karena kejadian di masa lalu, Na. Lukanya pasti beneran besar karena nggak cukup hanya bercerai, kamu juga memilih pergi untuk memulai hidup baru yang jauh dari Jakarta. Tapi kamu juga kenal Yudis dan kepribadiannya. Dalam lubuk hati kamu yang paling dalam, kamu pasti tahu kalau dia bukan tipe orang yang akan melakukan kesalahan berkali-kali. Kamu dulu bahagia saat menikah dengannya. Kalau kamu mengambil risiko dan menyingkirkan ego, kamu pasti bisa bahagia seperti dulu. Aku nggak bilang itu gampang, tapi layak dicoba. Niat move on kamu toh masih dalam wacana, dan aku nggak yakin itu akan kejadian kalau kamu terus dekatan dengan Yudis. Kamu tahu persis kalau pertahanan kamu terhadap dia nggak terlalu bagus. Kejadian khilaf itu bisa terulang lagi. Pikirkan baik-baik lagi deh."
Aku tidak bisa menampik kalau aku memang bahagia saat menikah dulu. Karena aku sangat bahagia, jadi luka yang kurasakan karena dibohongi terasa dalam. Aku juga bisa percaya kalau Yudistira tidak akan menyakitiku berkali-kali karena taruhannya melibatkan keluarga. Kurasa hal utama yang membuatku menutup pintu untuk kembali bersamanya adalah karena tidak yakin dia sudah melepaskan Indira dari hatinya. Mereka masih berhubungan walaupun dengan embel-embel teman, kan? Aku tidak seperti perempuan lain yang bisa menerima dengan rela suaminya masih punya ikatan dengan orang yang dia akui sebagai cinta dalam hidupnya.
Iya, Yudistira memang pernah mengatakan kalau dia akan memutus hubungan dengan Indira kalau aku meminta, tetapi aku pikir hal seperti itu bukan sesuatu yang perlu diminta untuk dilakukan. Dia harus melakukannya dengan sukarela, bukan dengan pamrih ditukar dengan perubahan bentuk hubungan kami.
"Aku yakin kamu dan Yudis pasti belum pernah beneran membahas perasaan kalian," Anira melanjutkan saat aku diam saja. "Aku sahabat kamu, tapi aku tetap saja orang luar, jadi bisa menilai secara obyektif. Kalau Yudis nggak cinta sama kamu, dia nggak akan menatap kamu kayak gitu."
"Kayak apa?"
Anira mengedik. "Ya kayak gitu. Nggak tahu gimana cara jelasinnya dengan tepat. Tapi itu yang bikin aku dulu mau bertahan dengan Dean padahal keluarganya nggak merestui hubungan kami. Cara Dean menatapku menyakinkan kalau dia beneran cinta sama aku, dan dia nggak akan bikin aku kecewa. Dan aku memang nggak salah. Dari nggak disukai keluarganya, sampai sekarang jadi menantu kesayangan mamanya, Dean nggak pernah berubah."
"Kondisinya aku dan Yudis beda dengan kamu dan Dean."
"Kondisi dan background tiap pasangan memang bisa berbeda, Na. Tapi makna cinta itu selalu sama. Semua orang yang mencintai pasangannya, akan berusaha membuatnya bahagia."
Aku mengembuskan napas panjang. "Kamu membuatku bingung."
"Gini aja, kamu pernah mikir nggak sih gimana seandainya sekarang Yudis punya hubungan dengan perempuan lain?"
"Indira?" tanyaku sebal.
"Indira, atau siapa pun. Kamu suka perasaan kamu saat membayangkannya?"
Tidak, aku tidak suka membayangkankan. Rasanya pasti canggung saat Yudistira membawa perempuan lain di rumah untuk bertemu keluarga.
"Kalau kamu nggak suka, berhentilah melawan perasaan kamu. Cinta itu sama saja dengan main di pasar modal. Nggak ada jaminan yang pasti. Tapi itu intinya hidup, kan? Berani mengambil risiko."
Dalam perjalanan pulang, aku berkali-kali melirik Yudistira. Dia tidak akan menyadarinya karena sibuk menyetir dan suasana yang lumayan gelap di dalam mobil. Apakah dia memang mendekatiku hanya karena Ibu? Buktinya dia menyerah dengan mudah setelah aku kembali, kan?
Aku benci dengan skenario pengulangan yang terus bermain di dalam kepalaku, tetapi tidak bisa berhenti memikirkannya. Ini menyebalkan. Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang.
"Ada apa?" Yudistira pasti mendengarku.
"Nggak ada apa-apa," jawabku cepat. Tidak mungkin mengatakan apa yang kupikirkan kepadanya.
"Kamu nggak sedang nyesal karena balik ke sini, kan? Ibu mau kamu bahagia, jadi dia pasti sedih kalau tahu kamu merasa terpaksa harus pulang."
"Aku nggak merasa terpaksa untuk pulang."
"Jadi kenapa jadi mellow gitu setelah ketemu dengan Anira dan orang itu?"
"Aku nggak mellow!"
"Aku boleh tanya sesuatu?" Yudistira mengabaikan nadaku yang defensif.
"Soal apa?" Aku menurunkan tempo. Lebih baik mengikuti cara bicaranya yang santai.
"Anggap saja aku bertanya sebagai teman atau kakak. Terlepas dari hubungan kita di masa lalu, kita berdua tetap anak Ibu, jadi ya...." Yudistira mengedik. "Kamu tahu maksudku."
"Aku tahu maksudmu," gerutuku. Sulit sekali untuk bisa sesantai yang kuinginkan.
"Jadi, kamu beneran suka sama orang itu?"
"Adam?" Kali ini aku menoleh terang-terangan untuk menatap Yudistira.
"Memangnya ada yang lain lagi? Ya iyalah, dia."
"Kenapa kamu tanya soal itu?"
Yudistira mengedik lagi. "Penasaran saja. Kita kenal 2 tahunan sebelum dekat, dan waktu itu aku nggak pernah lihat kamu dekat dengan laki-laki. Kamu sibuk dengan pekerjaan, Ibu, dan Mbak Yesti. Aku malah sempat mikir kamu nggak suka laki-laki."
Aku berdecak. Waktu itu aku sibuk membangun benteng untuk melindungi hatiku yang memilih laki-laki yang salah untuk kusukai.
"Jadi aku sedikit kaget saat lihat kamu ternyata nggak sekaku yang kupikir saat berteman dengan laki-laki. Nyatanya kamu bisa dekat dengan orang itu, Dean, Risyad, dan mungkin orang lain yang belum aku kenal. Tadinya kupikir kamu hanya bisa santai dengan orang yang beneran sudah dekat dengan kamu."
"Maksudnya, kamu?" aku memperjelas.
Yudistira tertawa kecil. "Iya, maksudnya aku. Dulu kamu juga butuh waktu sebelum beneran nyaman di dekatku, kan? Hei, jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Aku suka Adam." Aku ganti mengedik. "Dia teman yang baik."
"Maksudku bukan sebagai teman, tapi sebagai laki-laki. Katanya dia sering banget ke Malino, kan?"
"Kata siapa, informan kamu?"
"Iya, kata dia," Yudistira tidak mengelak. "Orang itu nggak mungkin rajin berkunjung kalau nggak ada tujuannya. Laki-laki bisa melakukan apa saja kalau ada maunya."
"Kamu yakin lagi ngomongin Adam?" sindirku.
"Aku ngomongin laki-laki secara umum. Aku nggak berbeda. Kamu sudah ngerasain aku kejar-kejar, kan?"
"Kita sudah sepakat untuk nggak membahas soal kita lagi," aku mengingatkan.
"Aku tahu. Kita nggak akan bicara soal kita lagi. Aku hanya ngasih contoh. Jadi, kamu beneran suka sama dia?" Yudistira kembali pada pertanyaan itu.
"Aku pernah berpikir untuk mencoba memulai hubungan yang baru sama Adam," jawabku terus-terang.
"Pernah," ulang Yudistira. "Berarti nggak lagi dong."
"Nggak lagi," ujarku mengakui. "Adam pantas mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik daripada aku."
"Memangnya kamu kenapa?"
Aku nyaris memutar bola mata mendengar pertanyaan itu. Yudistira bertanya atau pura-pura tidak tahu. "Aku nggak pantas untuk laki-laki baik manapun. Laki-laki baik-baik seharusnya mendapatkan perempuan baik-baik juga. Bukan perempuan yang gampang diajak tidur bersama. Bisa kita nggak usah bicara soal ini lagi?"
"Saat hubungan kita baik kayak gini, kadang-kadang aku lupa kalau di mata kamu aku nggak lebih daripada sumber masalah. Kamu menang. Kita nggak akan bicara soal kita ataupun hubungan kamu dengan siapa pun juga."
Aku tidak bermaksud seperti itu, tetapi suasananya sudah telanjur rusak, jadi aku tidak berusaha menyanggah. Sepanjang sisa perjalanan kami lalui dalam diam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top