Empat Belas

Ibu menikmati hari-hari yang dia habiskan di Malino. Pagi dan sore hari biasanya dia mengikuti aku jalan-jalan di perkebunan atau pabrik. Rasanya menyenangkan kembali dekat dengan Ibu. Aku jadi menyesali keputusanku menjauh darinya. Aku tahu Ibu tidak menyalahkanku untuk keputusan yang aku buat secara instan karena sakit hati, karena dia merasa punya andil di dalamnya. Namun, aku sungguh-sungguh berharap bisa berpikir bijak sebelum mengambil keputusan untuk pergi dulu. Toh aku bisa tetap bercerai tanpa harus menyingkirkan Ibu dari hidupku.

Sudah gelap saat kami kembali dari kebun. Setelah mengantar Ibu di vilanya, aku segera pulang untuk mandi. Seperti biasa, kami akan malam bersama di restoran. Benar-benar seperti masa lalu saat kami banyak menghabiskan waktu berdua.

Aku terkejut saat mendapati Yudistira berada di ruang tamu saat aku membuka pintu. Aku tidak tahu dia datang karena tidak menghubungiku untuk minta dijemput sopir.

"Aku minta kunci kamu dan mereka ngasih," Yudistira menjelaskan sambil berdiri. "Kita harus bicara tanpa didengar Ibu." Dia bergerak menutup pintu yang masih terbuka di belakangku. "Bukan aku yang bilang sama Ibu kalau kamu di sini."

"Aku tahu. Ibu sudah bilang." Aku menjauh menciptakan jarak. Tinggi tubuhnya terasa mengintimidasi kalau jarak kami terlalu dekat.

"Mungkin saja kamu nggak percaya. Biasanya kan kamu hanya percaya sama diri kamu sendiri."

Aku menatapnya tajam. "Kamu mau bicara atau mengajak bertengkar?" Aku tidak suka nadanya yang menyindir.

"Apa aku pernah mengajak kamu bertengkar, Kay? Bukannya pendapatku sama sekali nggak cukup berharga untuk kamu dengar?"

"Jangan coba-coba playing victim kayak gitu di hadapanku!" Aku menjaga supaya suaraku tidak meninggi. "Aku korbannya, bukan kamu. Nggak usah pura-pura terlihat nggak besalah kayak gitu! Aku nggak akan tertipu lagi."

"Aku nggak pernah pura-pura terlihat nggak bersalah, Kay. Aku tahu aku salah. Apa yang aku lakukan dulu pasti kelihatan buruk banget kalau dilihat dari sudut pandang kamu, ta—"

"Kita nggak akan bicara soal itu lagi!" Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Percuma. Nggak ada gunanya lagi. Kalau mau bicara, mari kita bicara tentang Ibu dan Bapak saja. Aku salah karena sudah memutuskan hubungan dengan mereka karena kamu. Jadi aku akan menebus kesalahanku sekarang. Aku akan menerima Ibu dan Bapak kalau mereka datang ke sini. Aku juga akan ke Jakarta kalau mereka meminta. Kita...." Aku menunjuk Yudistira dan diriku sendiri, "akan berbaikan di depan mereka."

"Berpura-pura?" Yudistira meneleng menatapku. "Kamu butuh waktu berapa lama sih untuk marah? Kamu dulu mau kita bercerai, dan aku kabulkan, Kay. Meskipun itu rasanya konyol banget. Seharusnya kamu sudah kehabisan alasan untuk memusuhi aku sampai melibatkan orangtua seperti ini. Dulu aku selalu berpikir kalau aku yang kekanakan dalam hubungan kita, tapi ternyata aku nggak sendiri." Yudistira bersedekap. "Tapi setidaknya aku jadi tahu kalau kamu nggak sesempurna seperti yang selama ini aku pikir. Kamu punya kekurangan juga. Kamu orang paling pendendam yang pernah aku kenal."

"Kamu nggak berhak menilaiku!" Beraninya dia!

"Karena hanya kamu yang boleh menilai orang lain?" Yudistira menarik napas panjang. "Dengar, aku sudah bilang kalau aku mau bicara, bukan mengajak kamu ribut. Aku nggak akan menang kalau berdebat dengan kamu. Aku belajar dari pengalaman."

Aku bergerak menuju pintu dan membukanya. "Aku nggak sedang ingin bicara. Sebaiknya kamu keluar. Aku harus bersiap-siap untuk makan malam dengan Ibu."

"Seperti yang sudah-sudah kan, Kay? Hanya kamu yang boleh bicara. Pembohong seperti aku tidak berhak mengeluarkan pendapat karena apa pun yang keluar dari mulutku sudah pasti nggak bisa dipercaya. Demi Tuhan, Kay, aku hanya melakukan satu kesalahan! Dan kamu menghukum semua anggota keluargaku. Kamu mengerikan!" Yudistira melangkah cepat keluar rumah. Dia tampak kesal.

Aku menghapus pipiku yang basah. Sial, aku menangis lagi karena laki-laki kurang ajar itu! Iya, dia memang hanya melakukan satu kesalahan, tapi itu fatal karena dia menebas habis semua ego dan harga diriku sebagai perempuan. Sulit memaafkan jenis kesalahan seperti itu.

Aku memegang erat sandaran sofa. Tenagaku seperti baru saja terkuras habis. Aku lantas duduk sambil terus mengusap air mata. Hari yang menyakitkan itu teringat lagi. Sangat jelas. Lebih jelas daripada yang sudah-sudah.

"Kamu nggak ke kantor?" Aku membangunkan Yudistira yang masih tidur menelungkup di ranjang. Sudah tengah malam saat dia sampai di rumah. Perjalanan dari Surabaya bersama Bapak pasti menguras tenaganya. Sebelum Surabaya, mereka juga ke Bali. "Dis... Yudis...." Aku terus mengguncang lengannya. Setidaknya aku harus pamit sebelum ke kantor.

Yudistira berbalik. Matanya pelan-pelan terbuka. "Kamu sudah siap?" suaranya terdengar parau.

Aku memang sudah memakai setelan kantor. "Aku ke kantor ya. Kamu istirahat saja di rumah kalau capek."

Yudistira menarik tanganku sehingga aku terduduk di tepi tempat tidur. "Badanku rasanya nggak enak. Tenggorokanku sakit."

"Aku telepon dokter Munir?" Aku menyebut nama dokter keluarga kami.

"Nggak usah. Paling juga hanya gejala flu." Dia meletakkan kepala di pangkuanku. "Kamu juga bolos saja."

Aku membelalak. "Aku nggak bisa bolos. Hari ini ada wawancara dengan calon pegawai baru."

"Bisa dikerjain staf kamu. Itu gunanya mereka digaji."

"Aku lebih suka melakukannya sendiri. Aku bisa membaca karakter orang lebih baik daripada mereka."

"Karakter asli orang nggak bisa keluar kalau di depan kamu, Kay. Yang ada juga mereka ketakutan kalau melihat ekspresi serius kamu. Kamu di rumah saja. Ini perintah suami. Suami kamu sakit lho."

Mau tidak mau aku tersenyum. "Kata kamu hanya gejala flu." Aku menyingkirkan tangannya yang mulai merayap di pahaku. Rokku sudah terangkat.

"Kalau Ibu yang bilang sakit, apa pun yang kamu kerjakan pasti ditinggal." Tangannya kembali melekat di pahaku.

"Karena Ibu memang sakit beneran. Dan Ibu nggak berusaha melepas celana dalamku saat mengeluh sakit." Aku kembali menarik tangan Yudistira. "Aku akan pulang saat jam makan siang. Kamu tidur sekarang deh, jadi sebentar udah baikan. Kalau belum, aku akan menghubungi dokter Munir."

"Oke, kamu boleh pergi setengah hari setelah kita selesai." Yudistira benar-benar berhasil menarik celana dalamku. Dia kemudian menyibak selimut dan melepas boxer yang dipakainya tidur.

"Katanya kamu nggak enak badan?" Aku sangat menikmati bercinta dengannya. Yudistira sangat tahu cara memujaku, tapi aku tidak mau mandi dan keramas lagi. Aku bisa terlambat ke kantor.

"Kan kamu di atas. Aku nggak perlu keluar tenaga banyak."

Aku menggeleng-geleng menatapnya. "Dis, aku akan terlambat kalau harus mandi lagi."

"Kamu nggak harus mandi," nadanya membujuk. "Quickie nggak butuh banyak waktu. Kamu juga nggak perlu lepas baju kantor kamu. Kita belum pernah melakukannya saat kamu pakai baju kantor lengkap kayak gini, kan?"

Aku terus menatapnya, berpikir.

"Udah telanjur berdiri gini, Kay. Masa aku turuninnya pakai tangan sendiri padahal punya istri di depan mata. Nggak akan berceceran kok. Kan pakai kondom. Please...?"

"Ini konyol." Saat bangun tadi pagi, aku tidak memikirkan kemungkinan menunggangi seorang laki-laki dengan mengenakan setelan kantor.

Yudistira tersenyum penuh kemenangan saat melihatku naik ke tempat tidur.

Quickie memang tidak membutuhkan waktu lama, walaupun tetap memuaskan. Aku membutuhkan sedikit waktu untuk mengembalikan detak jantung ke ukuran normal setelah kami selesai.

"That was great.Aku jadi bangga sama diri sendiri karena sudah jadi guru yang hebat di tempat tidur." Yudistira tertawa saat melihatku mendelik."I love you, Sayang." Dia menyempatkan mencium bibirku sebelum melepasku ke kamar mandi. Aku hanya mengacak-acak rambutnya gemas.

Dalam perjalanan menuju kantor, aku berubah pikiran dan menyuruh sopir kembali ke rumah. Mungkin karena hormon yang tumpah ruah sehabis bercinta, aku melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bolos. Yudistira benar, aku bisa memercayakan wawancara pada orang lain. Aku harus mulai belajar percaya penilaian orang. Aku tidak perlu meninggalkan suamiku yang sedang tidak enak badan di rumah. Kantor toh tidak akan rata dengan tanah hanya karena aku tidak masuk sehari.

Yudistira tidak ada di dalam kamar saat aku masuk. Aku kemudian mendengar suaranya dari kamar mandi yang pintunya tidak tertutup rapat. Syukurlah dia kedengarannya baik-baik saja. Apa yang kami lakukan tadi tidak memengaruhi kondisinya. Aku baru saja hendak keluar kamar untuk membawa piring tatakan dan cangkir teh yang sudah kosong saat mendengar namaku disebut Yudistira. Dia sedang bicara dengan Ibu melalui telepon. Aku membeku di tengah kamar.

"... Bu, aku dan Kay baik-baik saja. Ibu nggak perlu mengingatkan aku setiap saat bagaimana harus memperlakukan Kay. Aku tahu apa arti pernikahan tanpa harus dikuliahi setiap minggu. Aku bukan remaja labil yang nggak bertanggung jawab."

"...."

"Aku nggak mengajak Kay karena aku tahu dia nggak akan nyaman dengan teman-temanku. Ibu tahu gimana Kay dan gimana teman-temanku."

"...."

"Ibu kedengaran kayak orang parno aja deh. Beneran."

"...."

"Bu, Ibu tahu aku sayang banget sama Ibu. Kalau aku nggak sayang sama Ibu, aku nggak akan mengikuti permintaan Ibu untuk menikah dengan kayana. Ini berapa ratus kali harus dibahas sih? Aku memutuskan Indira yang aku cinta banget karena Ibu meminta aku mendekati Kayana. Padahal Ibu tahu persis kalau Kayana bukan tipeku. Dia orangnya serius banget. Berhadapan dengan dia itu seperti berhadapan dengan malaikat pencatat dosa. Kadang-kadang aku malah berpikir kalau dia bukan manusia karena dia nggak pernah melakukan kesalahan apa pun. Aku nggak akan kaget kalau tiba-tiba ada sayap yang keluar dari punggungnya. Tapi aku melakukannya demi Ibu yang merasa berutang nyawa karena Kayana sudah mendonorkan hatinya untuk Ibu. Ibu pasti tahu bahwa tanpa menikahi dia kita toh tetap bisa berterima kasih. Kita bisa kasih dia sesuatu yang lain. Tapi demi Ibu, aku bersedia mengorbankan kebahagiaan aku. Jadi tolong berhenti mengajarkan aku bagaimana cara memperlakukan Kayana. Aku nggak suka terus diingatkan alasan mengapa aku harus menikah dengan dia! Kalau hati aku cocok untuk Ibu, bukan Kayana yang akan memberikan hatinya."

Gelas dan piring di tanganku terjatuh. Seharusnya aku sudah curiga sejak awal saat Yudistira tiba-tiba mendekati dan mengatakan tertarik kepadaku. Aku sudah tahu kalau aku bukan tipe perempuan yang akan menarik perhatiannya. Berengsek, aku bahkan percaya saat tadi dia mengatakan cinta. Padahal itu pasti hanya ucapan terima kasih karena aku sudah menunggangginya untuk memuaskan nafsunya dengan cara yang diinginkannya. Aku tidak pernah merasa semalu dan semarah itu seumur hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top