Empat
Makasih untuk vomennya ya. Kalian kereeeennn. Hepi reading en lope-lope you ol, Gaesss....
**
Aku tahu ada yang tidak beres saat melihat ekspresi Dean ketika masuk ruang kerjaku. Seringainya terlalu lebar sehingga tampak tidak tulus. Jari-jarinya mengusap dahi berulang-ulang. Dia jelas sangat tidak nyaman.
"Ada apa?" Aku bersandar di kursi sambil terus mengawasi Dean yang akhirnya mengambil tempat di depanku. Seharusnya aku berdiri dan memberinya tempat dudukku karena dia bos di sini, tetapi sikapnya tidak terlihat seperti bos yang siap memberi perintah sekarang. Dean malah tampak seperti seseorang yang merasa bersalah.
"Aku benar-benar nggak tahu kalau yang datang ke sini adalah Pak Yudistira Wijaya sendiri, Na," mulainya. "Waktu melakukan negosiasi awal penjajakan kerja sama, aku melakukannya dengan salah seorang direktur mereka. Jadi aku pikir orang itu yang akan datang ke sini dan bertemu aku. Tentu saja aku aku tahu itu perusahaan keluarga Wijaya, dan Pak Yudistira adalah mantan kamu karena Nira yang ngasih tahu. Hanya saja, aku pikir kerja sama ini nggak akan membuat kalian bertemu." Dean menyugar kikuk. "Maksudku, kamu di Malino yang lumayan terpencil. Dan kalau kerja sama kami benar-benar jadi, pengawasan pekerjaan nggak mungkin dilakukan oleh Pak Yudistira atau Pak Wijaya sendiri. Mereka paling hanya akan datang saat peletakkan batu pertama dan pengguntingan pita ketika pabrik sudah mulai berproduksi beberapa tahun ke depan. Jadi kebetulan seperti ini beneran nggak terpikirkan bisa terjadi."
Aku mendesah. Memang bukan salah Dean. Aku percaya dia tidak akan menjebakku seperti kemarin. Anira sahabat yang loyal. Dia tidak akan membiarkan Dean melakukan hal seperti itu. Pertemuan ini memang hanya kebetulan. Dean pengusaha, dan dia jelas selalu berpikir untuk memperbesar usaha. Kerja sama dengan Grup Wijaya jelas tidak bisa dilewatkan.
"Memang bukan salah kamu. Aku minta maaf sudah sempat curiga," kataku jujur. Anehnya, Dean tidak terlihat lega. Anira pasti sudah merecoki suaminya dengan kisah cintaku yang menyedihkan. Dean pasti tahu kalau aku belum berhasilmove on. "Beneran nggak apa-apa, Dean," aku kembali menegaskan. "Kami sudah pisah 3 tahun. Aku hanya sedikit kaget melihat dia."
"Bukan itu masalahnya, Na." Dean mengembuskan napas panjang.
"Maksud kamu, kita ada masalah dan itu melibatkan aku?" Bahuku yang tadinya sudah rileks, tegak kembali.
"Waduh, bagaimana cara ngomongnya ya?" Dean malah balik bertanya dan kembali menyugar. "Ini sulit."
"Apanya yang sulit?" Aku benar-benar waspada sekarang.
"Pak Yudistira bilang kalau mereka akan berinvestasi pada pabrik semen yang akan aku bangun, tetapi dengan satu syarat."
Syarat dan ketentuan dalam suatu investasi itu biasa. "Lalu masalahnya apa?"
"Mereka mau tempat ini." Dean menatapku pasrah. "Aku beneran nggak menyangka mereka tertarik pada tempat ini. Aku tahu ini kerja keras kamu, Na. Hanya saja, sulit melepas kerja sama itu. Pabrik semen itu adalah mimpi besar kami."
Bahuku melorot. Aku menyukai pekerjaanku yang sekarang. Aku suka mengatur tempat ini. Namun, aku tidak mungkin memaksa Dean bertahan untuk kesepakatan sebesar itu. "Nggak apa-apa." Aku mencoba tersenyum. "Aku bisa bekerja di tempat kamu yang lain, kan?" Aku tidak mungkin duduk diam saja, meskipun punya uang. Aku sudah terbiasa bekerja.
"Nah, itu masalahnya." Kalau tadi pandangan Dean tampak pasrah, sekarang dia terlihat frustrasi.
"Masalah lagi?" Apa-apaan ini? Seharusnya aku tahu kalau laki-laki kolega Dean itu si Raja Licik.
"Pak Yudistira bilang dia mendapat rekomendasi tempat ini dari seseorang, dan setelah melihatnya, dia suka. Dia mau menjadikan tempat ini sebagai tempat menginap kalau dia atau keluarganya ke Makassar."
Seperti Makassar kekurangan hotel saja. "Kalau tempat ini sudah pindah tangan, dia bisa melakukan apa pun di sini. Aku akan segera pergi dari tempat ini." Bahkan baru mengucapkan saja sudah terasa menyedihkan. "Itu sama sekali bukan masalah."
Dean mendesah lagi. "Masalahnya Pak Yudistira bilang dia mau tempat ini hanya berganti pemilik, tapi pengelolanya tetap sama. Dia nggak mau mengambil risiko merusak usaha dan tempat ini kalau pengelolanya berganti. Katanya kerja kamu bagus banget."
Aku terlonjak dari kursiku. "Apa? Aku nggak akan bekerja di sini kalau dia yang jadi bosku! Tidak akan!" Aku akan segera mengepak koperku begitu tempat ini berganti pemilik. Sesuatu berkelebat dalam benakku. Aku sibuk menghitung-hitung. Mungkin ini saatnya menggunakan seluruh harta gono-gini yang kudapat. "Berapa kamu lepas tempat ini ke dia? Aku tahu kalau uangku nggak akan cukup, tapi—"
"Bukan masalah uangnya, Na. Pak Yudistira mau tempat ini, dengan kamu pengelolanya untuk mendapatkan kesepakatan kami. Aku nggak enak minta ini dari kamu, tapi aku nggak punya pilihan. Tolonglah. Sulit mendapatkan deal dengan mereka."
"Tidak, Dean," tolakku mentah-mentah. "Aku nggak mau jadi bagian dari kesepakatan kalian. Aku nggak akan berada di sini lagi begitu tempat ini jadi milik dia."
"Pikirkan lagi, Na," bujuk Dean. "Kamu suka tempat ini. Kamu membangun dan mengawasi banyak hal dari awal. Ini seperti anak kamu. Kamu pasti berat melepasnya." Dean benar-benar mempraktikkan kemampuannya memersuasi. "Sama seperti aku, Pak Yudistira tidak akan terlalu sering berada di sini. Rumah dan pusat bisnisnya di Jakarta. Dia sibuk banget. Belum tentu dia akan berada di sini dua atau tiga kali dalam setahun. Semua laporan bisa kamu kirim melalui email. Belum tentu juga langsung ke dia. Kamu tetap pemegang kendali di sini."
Aku tetap menggeleng. "Tidak!"
"Na, tolonglah."
"Maaf, Dean, tapi tidak!"
**
Restoran lengang saat aku masuk untuk makan malam. Aku masih memikirkan Dean. Aku tidak suka mengecewakannya karena sudah menolongku, tetapi permintaannya tidak mungkin aku kabulkan. Aku jelas tidak akan berada di tempat ini saat Yudistira mengambil alih kepemilikan.
Yudistira. Dalam pewayangan, Yudistira adalah raja yang mengayomi rakyatnya. Tokoh protagonis. Yudistira yang ini juga mengayomi banyak orang yang bekerja padanya. Mungkin memang dia sesuai dengan nama itu. Toh hanya aku satu-satunya saksi yang tahu betapa tidak bermoralnya dia sebagai laki-laki. Karena aku adalah korban yang terpilih sebagai tumbal demi mencapai ambisinya.
"Apa yang kamu rekomendasikan dari menu yang ada?" Yudistira menarik kursi dan duduk di depanku. Aku pikir dia akan minta makanannya diantar ke vila.
"Tergantung kamu mau makan apa." Aku menatapnya lekat. Apa yang ada dalam pikirannya? Mengapa dia begitu yakin aku mau bertahan di tempat ini dengan menggunakan Dean untuk menyanderaku? Dia pasti bercanda. Aku pikir dia cukup mengenalku karena meskipun umur pernikahan kami singkat, kami sempat bekerja bersama selama dua tahun. Interaksi kami memang tidak terlalu intens, karena kami hanya akan berkomunikasi lama kalau itu menyangkut pekerjaan.
"Kamu tahu makanan kesukaanku."
Entah mengapa, aku kehilangan semangat menarik urat leher. Ini mungkin akan menjadi pertemuan kami yang terakhir kalau aku meninggalkan tempat ini. Lebih baik dia menganggapku sudah menerima semua yang terjadi di masa lalu sebagai takdir, dan aku sekarang sudah tidak merasakan apa-apa lagi karena perpisahan itu.
"Aku nggak ingat semua hal yang kamu suka," aku berusaha terdengar santai. "Kita sudah cukup lama berpisah."
"Ayam bakar ada?"
Aku melambaikan tangan memanggil pelayan untuk memesan makanan bagi kami berdua. Selera makanku sebenarnya sudah menurun, tetapi melarikan diri tidak akan membuatku terlihat dewasa. "Aku harap kamu suka. Hati-hati dengan sambalnya."
"Kamu masih ingat aku nggak terlalu suka makanan pedas."
Sial!
"Oh ya, sudah bicara dengan Dean soal penawaran yang aku ajukan?" Yudistira mengalihkan percakapan. Aku pikir dia tidak akan membicarakan ini denganku. Toh main aman dengan menggunakan Dean sebagai pion akan lebih nyaman untuknya. Kalau dia belum lupa, aku bukan teman bicara yang menyenangkan saat emosi.
"Kalau kamu beneran tertarik pada tempat ini, silakan ambil alih. Nggak ada urusannya denganku."
"Tentu saja ada. Kamu yang mengelolanya."
"Aku mengelola tempat Dean." Aku mengulas senyum, semoga tampak tulus. "Aku nggak akan mengelola tempat ini untuk kamu."
"Mengapa tidak? Apa bedanya aku dan Dean?"
Tentu saja beda, Dean bukan mantan suamiku. Dean tidak pernah membuatku sakit hati dan merasa ditipu habis-habisan. Dean tidak pernah membuatku merasa kasihan pada diriku sendiri. Ada banyak alasan lain kalau mau disebut.
"Kamu sendiri yang bilang kalau kamu suka tempat ini. Mengapa kamu harus berhenti dari sini hanya karena tempat ini berganti pemilik?"
Aku tidak yakin bisa menjawab pertanyaan itu dengan jujur, jadi aku diam saja.
"Kamu masih sakit hati dengan—"
"Bukan sakit hati," potongku cepat. "Aku kecewa. Tapi seperti yang aku bilang, kita sudah lama berpisah. Aku sudah melanjutkan hidup. Kita sudah menjadi bagian dari masa lalu."
"Aku minta maaf."
"Kamu sudah minta maaf dulu." Aku tidak ingin membicarakannya. "Itu sudah cukup."
"Dan kamu nggak pernah bilang sudah memaafkanku."
"Karena dulu aku kecewa." Aku benar-benar ingin mengakhiri pembahasan tentang masa lalu itu. "Sekarang aku sudah memaafkanmu."
"Kalau begitu, kamu nggak seharusnya meninggalkan tempat ini."
"Aku—'
"Aku membeli tempat ini sebagai investasi. Kalau kamu yang mengelolanya, aku sama sekali nggak khawatir akan risiko merugi. Pikirkan lagi sebelum memutuskan pergi. Ini tempat yang kamu bangun. Kamu pasti merasa terikat di sini. Aku juga nggak akan merasa bersalah karena kalau kamu pergi, alasannya pasti karena aku. Seperti yang aku bilang tadi, Dean dan aku sebenarnya nggak ada bedanya. Aku juga nggak akan sering berada di sini kalau itu yang kamu takutkan. Aku tahu kamu masih sakit hati meskipun menyangkal. Apa yang aku lakukan dulu memang buruk."
Aku membuang pandangan. Memang buruk. Tidak ada perempuan yang suka ditipu. Dan dia sudah menipuku sejak awal saat mengajakku menikah. Aku percaya alasannya. Alasan yang belakangan aku tahu ternyata bohong. Bahkan sakit itu masih terasa saat aku mengingatnya sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top