Dua Puluh Satu
Resepsi pernikahan sepupu Adam diadakan di salah satu hotel berbintang lima di pusat kota Makassar.
"Rame banget ya." Aku menyesuaikan langkah dengan Anira yang kesulitan berjalan karena gaunnya yang sempit di bagian pinggang ke bawah. Belum lagi stiletto yang membungkus kakinya. Aku jelas tidak akan memilih gaun dan alas kaki yang menyusahkan seperti itu. Aku tidak suka gaun yang membungkusku seperti lontong yang sesak. Rasanya konyol menyiksa diri dan kesulitan bernapas hanya supaya terlihat memukau. Namun, selera memang subyektif. Pilihan Anira berbeda denganku.
"Ya pasti rame dong, Na. Keluarga Adam kan memang keluarga besar di Makassar. Ayahnya dulu mantan jaksa agung, jadi mereka lumayan terkenal dan disegani. Dulu mereka tinggal di Jakarta sebelum kembali ke Makassar dan membuka bisnis di sini."
Aku nyaris berdecak mendengar itu. "Aku tahu. Kamu sudah pernah cerita itu. Lebih dari sekali malah."
Anira terkekeh. "Aku kan memang gampang lupa, Na. Dean kadang-kadang sebal banget kalau aku menceritakan hal yang sama entah untuk keberapa kalinya." Dean sedang ke Jakarta sehingga aku dan Anira hanya datang ke acara ini berdua saja. Bertiga dengan sopirnya.
Adam bergegas menghampiri begitu kami melangkah ke dalam ballroom. Dia terlihat tampan mengenakan jas hitam. Selama mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihatnya memakai busana formal. Versi Adam yang paling resmi biasanya adalah kemeja slimfit dan pantalon.
"Akhirnya datang juga." Adam tersenyum lebar menyambut kami. "Sebelum salaman dengan pengantin, kenalan sama keluargaku dulu ya, Na."
Aku spontan memegang lengan Anira. Aku tidak terlalu suka ide berkenalan dengan keluarga Adam. Sebut saja firasat, tetapi aku merasa Adam punya maksud tertentu dengan memperkenalkanku kepada keluarganya.
"Hanya berkenalan, nggak usah terlalu parno," bisik Anira. "Dam, aku ngambil minum dulu ya," katanya kepada Adam lalu memisahkan diri. Aku tahu dia sengaja meninggalkanku bersama Adam.
"Keluarga kamu pasti sibuk melayani tamu, Dam," aku mencoba menghindar. "Kenalannya bisa lain kali saja."
"Nggak akan lama." Adam menggiring langkahku menuju sebuah meja di bagian VIP. Ada tiga orang perempuan dan seorang laki-laki yang duduk di sana. Yang perempuan memakai seragam keluarga pengantin, seperti yang dikenakan beberapa orang penyambut tamu di depan.
Keempat kepala yang ada di sana serempak terangkat ketika aku dan Adam sampai di situ.
"Ibu, Ayah, kenalkan ini Kayana," Adam menunjukku. "Na, kenalkan ini ayah-ibuku. Dan yang ini kakak-kakakku."
Aku mengulurkan tangan kepada orangtua dan saudara Adam. Senyum ayahnya terlihat ramah, tetapi aku tidak menangkap kesan yang sama dari ibu dan kakak-kakak Adam. Aku langsung tahu kalau sedikit banyak Adam pasti pernah menceritakan tentang aku kepada keluarga mereka. Mungkin saja dia menyebutkan statusku. Tidak semua orang punya sentimen positif pada status janda, apalagi janda cerai. Setelah cukup lama bercerai, aku mulai terbiasa dengan stereotip negatif tentang janda.
"Duduk di sini, Na, biar ngobrolnya enak." Adam menarik kursi yang masih kosong untukku.
"Terima kasih, tapi aku harus mencari Anira." Aku tidak akan duduk canggung di situ dan memulai basa-basi. Aku sangat buruk dalam basa-basi. Aku buru-buru berpamitan kepada keluarga Adam yang lantas tersenyum dan mengangguk sopan. Aku bersyukur Adam ditahan oleh ibunya sehingga dia tidak langsung mengikutiku.
"Nggak jadi kenalannya?" Anira keheranan saat melihatku sudah berdiri di sampingnya.
"Sudah. Kenalan saja, kan?" Aku mengulangi kata-katanya tadi.
Anira berdecak gemas. "Masa nggak ada basa-basinya sih, Na? Kasihan Adam, sudah usaha gitu."
Aku malas menanggapi komentarnya. "Kita salaman saja sekarang supaya bisa langsung pulang ya? Nggak usah makan. Ntar baju kamu meledak."
"Sialan!" Anira meletakkan gelasnya dan mengikutiku antre bersama banyak orang lain yang menuju pelaminan. "Kalau kamu memang sudah menutup kemungkinan kembali bersama Yudis, ini sebenarnya kesempatan yang bagus untuk lebih mengenal keluarga Adam. Hanya dia satu-satunya kandidat yang punya potensi menggantikan Yudis, kan? Kamu nggak punya teman laki-laki yang lain."
"Bisa kan kita nggak usah bicara soal itu di sini?" Meskipun tidak mengenal orang-orang yang ada di dekat kami dalam antrean, aku tetap tidak suka membicarakan persoalan pribadi di keramaian seperti ini.
"Sialan, aku seharusnya nggak pakai sepatu yang ini. Mana antreannya panjang banget lagi!" Anira tidak melanjutkan bahasan tentang Adam lagi. "Betisku bakal pegal banget."
Karena alas kakiku tidak seekstrem Anira, aku malah merasa lebih tersiksa karena kandung kemih yang terasa penuh. Seharusnya aku buang air kecil di rumah Anira dulu sebelum ke tempat ini. Hanya saja, tadi memang belum terasa mendesak seperti sekarang.
Setelah terjebak selama hampir dua puluh menit dalam antrean, kami akhirnya berhasil turun dari pelaminan setelah menyalami pengantin.
"Aku ke toilet dulu," kataku kepada Anira. "Tunggu di lobi saja supaya kita bisa langsung pulang."
"Nggak pamitan sama Adam dulu?"
Aku malas mencari Adam di keramaian seperti ini. "Nanti aku kirim pesan kalau kita sudah pulang." Aku bergegas meninggalkan Anira, menuju ke toilet.
Aku belum lama duduk di kloset saat mendengar pintu toilet dibuka dan suara beberapa orang perempuan terdengar.
"... perempuan itu pacar Adam?"
Apakah mereka membicarakan Adam yang aku kenal?
"Yang tadi bersama Adam ke meja kamu itu?" suara lain menimpali. "Cantik ya?"
"Cantik-cantik juga janda," suara ketiga terdengar dengan nada yang tidak enak didengar.
"Beneran janda? Kelihatannya masih muda."
"Janda kan tidak ada hubungannya dengan umur. Mau delapan belas tahun pun kalau sudah cerai, namanya juga janda."
Mereka tertawa berbarengan.
"Adam kayak nggak bisa dapat gadis saja sampai harus pacaran dengan janda. Tampang oke, usaha menjanjikan, kurang apalagi, coba? Laki-laki mapan seperti dia tinggal tunjuk saja pasti nggak ada yang nolak. Eh, malah pacaran sama janda."
"Pacaran sama gadis dan janda kan beda di service. Ya kali, pacaran sama janda cuman pegang-pegangan tangan saja. Adam pasti puas lahir batin sampai nggak mikir status perempuan itu. Pengalaman nggak mungkin bohong. Janda lebih tahulah cara menyenangkan laki-laki di tempat tidur. Kalau sudah ketagihan, Adam bakal sulit lepas dari dia."
"Pasti bisa lepas. Ibu nggak mungkin mengizinkan Adam sampai menikah dengan janda itu, gimanapun cantiknya. Adam anak laki-laki satu-satunya, dia layak dapat yang lebih baik daripada janda."
Aku menduga yang bicara itu kakak Adam.
"Oh ya, Adam kenal di mana dengan perempuan itu?"
"Katanya sih perempuan itu sahabat istri Dean."
"Dean anaknya Pak Mapparesa itu? Yang pengusaha itu?"
"Iya, Dean yang itu."
"Istri Dean harusnya hati-hati. Sekarang zamannya teman makan teman. Apalagi kalau teman itu janda cantik. Saya kalau punya suami kaya seperti Dean, jelas nggak akan bersahabat dengan janda. Itu sama saja dengan mengundang pelakor masuk. Hari gini, apa sih yang nggak bisa didapat dengan uang?"
"Adam bisa dapat pelayanan gratis kok."
Mereka tertawa lagi.
"Eh, belum tentu gratis juga, kan? Siapa yang tahu kalau dia nggak morotin Adam? Laki-laki, asal ritsleting celananya sering diturunin perempuan seperti itu, dompetnya pasti ikut terbuka lebar. Sama-sama untunglah."
Tawa yang lebih keras terdengar lagi. Aku mengatur napas sambil mengepalkan tangan. Kalau aku tidak terbiasa berpikir rasional, aku mungkin sudah keluar untuk mendamprat mereka. Seenaknya saja mengatai orang lain. Namun, aku tahu kalau menumpahkan emosi kepada mereka akan sia-sia saja. Memangnya mereka akan percaya kalau aku mengatakan tidak pacaran dan tidur dengan Adam? Orang selalu lebih percaya pada persepsinya sendiri daripada penjelasan orang lain.
Aku menunggu sampai mereka keluar dari toilet sebelum membuka bilik tempatku berlindung dan mendengarkan percakapan mereka. Aku menatap pantulan wajahku di cermin cukup lama. Apakah aku memang terlihat seperti perempuan penggoda? Aku tidak suka perasaan meragukan diriku sendiri yang mendadak muncul. Aku buru-buru meninggalkan toilet itu.
"Kamu kencing berapa galon sih?" Anira mengomel begitu aku sampai di lobi. Aku hanya tersenyum, tidak bersemangat menanggapi.
Dalam perjalanan ke rumah Anira, tempat mobil dan sopirku menunggu, aku terus melihat keluar jendela. Rasanya sakit mendengar diriku dinilai seperti itu oleh keluarga Adam. Aku yakin kalau semua perempuan mendambakan akhir yang bahagia saat memutuskan menikah. Namun, takdir setelah pernikahan itu tidak berada di dalam kendali kita. Bukan kita yang menentukan jalan hidup.
Aku tidak akan menikah dengan Yudistira kalau tahu dia hanya pura-pura tertarik kepadaku, meskipun aku mencintainya. Aku tidak akan merendahkan diri demi cinta. Meskipun tidak menikah dengannya dan patah hati, aku yakin aku akan baik-baik saja. Perasaanku pasti jauh lebih baik daripada saat ini, ketika aku meragukan kelayakan diriku sendiri karena kata-kata orang lain.
"Hei, kamu kenapa sih?" Anira menggenggam tanganku.
Aku berbalik dan menatapnya. "Kamu pernah berpikir kalau aku bisa saja merebut Dean dari kamu?"
Anira sontak terbelalak. "Kamu dan Dean? Astaga, tentu saja tidak. Kamu nggak akan melakukan hal seperti ini meskipun mungkin jatuh cinta sama Dean. Kamu orang yang paling setia kawan. Dan kamu nggak mungkin jatuh cinta sama Dean karena hati kamu belum beneran lepas dari Yudis. Jadi alasan apa kamu mengejar Dean? Nggak mungkin uanglah. Memangnya kamu kekurangan uang? Aku nggak mau terdengar merendahkan suamiku sendiri karena aku cinta banget sama dia, tapi Dean dan Yudis bedalah levelnya. Iya, keluarga Dean terkenal sebagai keluarga pengusaha sukses sejak dari kakeknya. Tapi usaha mereka masih terpusat di seputaran Sulawesi saja. Nggak seperti keluarga Yudis yang skalanya nasional dan sudah go-public. Kamu bicara sama siapa sih waktu ke toilet? Tadi kamu memang lama banget perginya."
Aku menggeleng. "Aku nggak bicara dengan siapa-siapa. Aku hanya mendengar keluarga Adam ngomongin aku."
"Apa katanya?"
Aku mengedik. "Katanya kamu harus hati-hati karena aku sewaktu-waktu bisa merebut Dean. Mereka juga bilang kalau Adam pacaran denganku karena aku pintar melayaninya di tempat tidur."
Anira mengeratkan genggamannya. "Jangan dipikirkan. Mereka toh hanya membicarakan asumsinya saja. Mereka nggak kenal kamu. Semua orang yang kenal kamu nggak akan berpikiran seperti itu."
Sulit untuk tidak memikirkannya. Aku kembali membuang pandangan keluar jendela. Siapa yang mengira jika keputusanku menikah dulu bisa membawaku pada situasi yang seperti ini? Untuk pertama kalinya, aku mengonfirmasi penilaian orang lain tentang statusku dengan telinga sendiri. Yudistira berengsek! Semua ini kesalahannya. Kalau aku bukan janda, aku tidak akan menjadi bahan gosip orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top