Dua Puluh Lima

Ketika mencintai seseorang, kita terkadang melanggar batas yang kita tetapkan untuk diri sendiri. Garis benar dan salah yang seharusnya benderang menjadi kabur. Logika dan akal sehat bersembunyi karena diintimidasi perasaan.

Namun, mungkin itu hanya pembenaran untuk tindakanku karena berakhir di tempat tidur Yudistira. Toh tidak semua perempuan yang jatuh cinta akan menyerahkan diri pada laki-laki yang memiliki hatinya. Mereka masih bisa berpikir tentang dosa dan harga diri. Dua hal yang luput dari ingatanku saat Yudistira mencumbuku. Alih-alih melarangnya, aku malah membalas semua sentuhannya.

Kalau kupikir-pikir lagi, Yudistira adalah satu-satunya orang yang membuatku melakukan banyak hal yang tidak mencerminkan kepribadianku. Dulu dia selalu berhasil membuatku meninggalkan pekerjaan, bolos bekerja untuk pertama kali, dan terbiasa menerima caranya menunjukkan kedekatan secara fisik di depan umum. Semua itu bukan sifat dan kepribadianku.

"Kamu boleh marah dan memukulku, tapi jangan bilang menyesal, Kay."

Aku berbalik dan melihat Yudistira yang berbaring menyamping di sebelahku. Kami berhadap-hadapan, saling menatap. "Kita nggak seharusnya melakukannya."

"Aku tahu, tapi aku nggak akan minta maaf."

Dia memang tidak harus minta maaf karena tidak memaksaku.

"Kita nggak memakai pengaman," aku mengingatkan.

"Aku tahu."

"Kita nggak pernah nggak pakai pengaman sebelumnya," lanjutku.

"Kata siapa nggak pernah?" Yudistira langsung berkelit. "Beberapa kali pernah. Masa kamu lupa sih?"

"Tapi waktu itu nggak pernah keluar di dalam kayak tadi." Ini tidak nyaman untuk dibicarakan, terutama untukku, tetapi aku harus melakukannya. Aku tadi mencoba mengingatkan Yudistira ketika dia akan mencapai puncak, tetapi dia tidak melepasku sampai selesai. "Harusnya tadi di luar saja."

"Aku tahu apa yang aku lakukan, Kay," katanya mengejutkanku. "Aku memang sengaja keluar di dalam."

"Mengapa?" Aku terus menatapnya, supaya bisa menangkap setiap perubahan air mukanya. Kali ini aku akan tahu kalau dia bohong.

"Aku juga nggak mau anak kita dibikin melalui dosa kayak gini, Kay. Tapi ini kesempatanku. Kalau kamu hamil, kemungkinan untuk kembali sama aku jauh lebih besar. Iya, aku tahu ini licik, tapi aku hanya memanfaatkan kesempatan yang mungkin nggak datang dua kali. Kamu kan nggak gampang lengah. Sulit banget nyari kesempatan."

"Kita nggak bisa langsung balikan kalau aku hamil." Seharusnya dia mencari tahu ilmunya dulu sebelum bertindak impulsif memanfaatkan kesempatan saat aku tergoda seperti tadi.

"Kata siapa?"

"Aturannya memang seperti itu."

"Kalau begitu, kita bisa menikah lagi sebelum kamu ketahuan hamil, kan? Besok juga bisa. Ngurusnya nggak sulit. Yang sulit itu meyakinkan kamu."

Dasar sinting! Dia pikir menikah seperti bermain rumah-rumahan saat masih balita, yang bisa dimulai dan diakhiri kapan saja saat sudah bosan?

"Mengapa sekarang kamu berharap aku hamil hanya dengan sekali berhubungan saat kita sudah berpisah, padahal kita bisa punya anak waktu masih menikah dulu?" tanggapan Yudistira yang terkesan asal membuat emosiku tersulut dengan cepat. "Jawab yang jujur."

Yudistira menatapku frustrasi. "Kamu akan marah kalau aku jujur, Kay. Aku nggak mau kamu marah. Sekarang saja aku belum yakin kamu sudah memaafkan aku."

"Aku pernah marah banget sama kamu, jadi aku nggak mungkin bisa lebih marah lagi sekarang." Aku memang sudah punya firasat tidak akan menyukai jawaban Yudistira, tetapi ini kesempatan untuk mengetahui apa yang membuatnya dulu tidak menginginkan anak dari pernikahan kami.

"Kay, aku beneran menginginkan kamu sekarang. Aku ingin kita kembali. Jangan membuatku kehilangan kesempatan karena berkata jujur."

Aku bangkit dan menarik selimut bersamaku. Yudistira pasti sudah hafal seluruh bentuk tubuhku, tetapi aku tidak ingin memberinya pemandangan itu lagi. Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang mengatakan menginginkanku, tetapi tidak bisa bicara jujur?

"Kamu mau ke mana?" Yudistira ikut duduk.

"Pulang ke rumah Ibu." Di mana pakaian dalam sialan itu dilempar laki-laki berengsek ini? "Aku nggak akan memaksa kamu bicara."

Yudistira langsung memelukku. "Oke... oke... aku akan jujur. Tapi setelah ini kamu pasti akan membenciku. Aku nggak suka ini, Kay."

"Lepaskan aku. Kita nggak bisa bicara dengan posisi seperti ini." Aku berhasil menemukan pakaian dalamku di ujung ranjang dan mulai memakainya setelah Yudistira melepaskan tangannya dariku. "Aku mendengarkan kalau kamu memang mau bicara."

Yudistira mendesah pasrah. "Waktu itu aku nggak yakin pernikahan kita akan berhasil, Kay. Maksudku, karakter kita beneran berbeda. Tapi aku nggak tega menolak permintaan Ibu untuk mendekati kamu. Kamu tahu gimana perasaan Ibu sama kamu, terlebih lagi setelah transplantasi itu. Dia nggak mau kehilangan kamu. Ibu pikir, bentuk hubungan kalian bisa saja berubah kalau kamu bertemu orang lain dan menikah." Dia mengapai ke arahku. "Kay, kita nggak harus bicara soal ini. Maksudku, itu semua masa lalu. Kita berpisah karena aku mengungkapkan pendapatku tentang kamu di masa lalu, aku nggak mau mengulanginya sekarang."

Aku turun dari tempat tidur, menjauh dari jangkauan Yudistira. "Aku masih mendengarkan kalau kamu mau menyelesaikannya." Aku mulai mengenakan pakaianku yang berserakan di lantai.

Yudistira menatapku tak berdaya. "Aku pikir, kalau kita beneran nggak cocok, dan kamu kemudian minta kita berpisah, lebih baik kalau kita nggak punya anak."

"Mengapa aku harus minta berpisah dari kamu?" Ada-ada saja. Waktu itu aku mabuk kepayang. Perpisahan tidak pernah terlintas dalam benakku.

"Ya karena kamu agak sulit menyesuaikan diri denganku, Kay. Kelihatan banget saat awal-awal kita menikah. Kamu nggak nyaman dengan sifat dan tindakanku. Kamu selalu berusaha melepaskan diri saat aku rangkul. Ka—"

"Kamu merangkul di depan banyak orang. Tentu saja nggak nyaman!"

"Memangnya kenapa? Kamu istriku. Semua orang juga tahu. Aku nggak merangkul atau memegang istri orang."

Aku hanya tidak terbiasa menerima perlakuan seperti itu. "Itu nggak bisa jadi alasan mengapa kamu menganggap aku akan meminta kita berpisah."

"Itu hanya satu contoh, Kay. Ada banyak perbedaan lain yang membuatku berpikir bahwa pada satu titik toleransimu pada perbedaan itu akan berakhir. Jadi waktu itu aku berpikir lebih baik menunggu untuk melihat perkembangan hubungan kita sebelum memutuskan punya anak." Yudistira berdiri dan menghampiriku.

Aku buru-buru memungut celana dalamnya dan melemparkan benda itu ke arahnya. "Pakai itu!" Aku tidak suka bicara dengan laki-laki telanjang. Mengganggu kosentrasi.

Yudistira menurut. Dia mendekatiku setelah memakai celananya. "Punya anak itu keputusan besar, Kay. Aku dibesarkan oleh orangtua yang luar biasa, dan aku mau anakku dibesarkan dengan cara yang sama. Tahap penyesuaian diri kita di awal menikah membuatku berpikir hubungan kita nggak akan bertahan. Aku nggak mau kita terikat dalam pernikahan yang tidak bahagia karena sudah telanjur punya anak. Kita sama-sama akan tersiksa, terutama kamu. Kamu mau semua hal dilakukan sempurna, dan aku jelas nggak bisa seperti itu. A—"

Aku mengangkat tangan menghentikan Yudistira. "Kenapa kamu selalu berpikir kalau aku orang yang sempurna dan nggak pernah menganggap kamu pantas?"

"Kita bekerja bersama selama 2 tahun, Kay. Cara kamu melihat dan bicara denganku jelas menunjukkan itu. Kamu dekat banget dengan Ibu, tapi hanya menganggapku seperti angin lalu. Akui saja kalau alasan kita menikah itu sama. Hanya untuk menyenangkan Ibu. Jadi ketika kita akhirnya berpisah karena nggak cocok, kita bisa bilang ke Ibu bahwa setidaknya kita sudah berusaha."

Yudistira salah di bagian itu. Aku setuju menikah dengannya karena mencintainya. Aku sudah mencintainya jauh sebelum dia mendekatiku. "Aku nggak sempurna."

"Aku tahu itu setelah kita berpisah. Kamu bisa sakit hati. Kamu bisa mendendam. Kamu bisa meninggalkan Ibu yang kamu sayang banget." Yudistira berdiri persis di depanku. "Dan kamu mau bercinta denganku dengan hubungan kita yang seperti ini. Kamu nggak akan melakukannya kalau kamu sempurna."

Aku tidak akan melakukannya kalau aku tidak mencintainya. Aku mundur dua langkah menjauhi Yudistira. "Lalu apa yang membuat kamu berubah pikiran dan berharap aku akan hamil sekarang?"

"Aku sudah bilang kalau aku nggak suka hidupku tanpa kamu, Kay. Aku sadar kalau aku sudah terbiasa dengan kamu setelah kita berpisah." Yudistira menggeleng. "Tidak, aku sebenarnya sudah menyadari itu sebelumnya. Perbedaan nggak selamanya buruk. Aku bisa kok menikmati pelototan dan tatapan mencela kamu saat aku membuat berantakan semua barang yang sudah kamu rapikan. Aku suka melihat kamu nggak nyaman di depan Ibu saat aku menggoda kamu. Karena itu aku menolak saat kamu ingin bercerai. Waktu itu aku beneran menyesal menunda punya anak. Setidaknya, kalau kamu hamil, kamu akan tetap tinggal walaupun marah. Lebih baik tetap bersama kamu walaupun kamu merasa terpaksa daripada kehilangan kamu. Aku tahu kamu nggak akan meninggalkan aku kalau kamu hamil. Kamu pasti berpikir ribuan kali karena ingin anak kita mendapatkan kehidupan yang nyaman bersama orangtunya. Dan aku akan berusaha menebus kesalahanku supaya bisa dimaafkan. Pada akhirnya kamu akan tahu kalau aku mengatakan hal jelek itu hanya karena jengkel sama Ibu."

Aku perlu duduk, jadi aku berjalan melewati Yudistira dan duduk di tepi ranjang. "Jangan dekat-dekat dulu!" seruku saat Yudistira menyusul hendak duduk di sebelahku. "Aku perlu berpikir. Astaga, aku nggak percaya aku baru saja berzinah dengan mantan suamiku."

"Kita bercinta, bukan berzinah."

"Mengganti katanya nggak bikin dosanya lantas berkurang!"

Kali ini Yudistira mengabaikan perintahku, karena ikut duduk merapat di sisiku. "Kay, maafkan aku ya? Kamu bisa bikin daftar sifat aku yang kamu nggak suka, dan aku akan berusaha memperbaikinya."

Aku tidak akan bisa menyusun daftar seperti itu karena tidak bisa menulis apa pun. Aku menyukai pembawaannya yang santai. "Aku sudah memaafkanmu."

"Jadi kamu mau memberi aku kesempatan lagi?"

"Aku harus berpikir dulu." Itu bukan keputusan yang bisa dibuat secara instan setelah selesai bercinta. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Hal yang mungkin tidak bisa kupikirkan sekarang karena endorfin dan dopamin yang masih meledak produksinya.

"Aku akan menyetujui semua syarat yang kamu ajukan," kata Yudistira lagi.

"Jangan mendesak!" Aku menepis tangan Yudistira yang menyusup di balik blusku. "Mau ngapain lagi?"

"Bernegosiasi, Kay. Aku membantumu membuat keputusan dengan cepat."

Aku langsung berdiri. "Kita nggak akan mengulangnya lagi!"

"Dosanya sudah telanjur dihitung juga, Kay. Satu kali atau lebih sama saja, kan? Kamu pasti bisa memberi jawaban lebih cepat setelah itu."

Dasar sinting!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top