Dua Puluh Enam

Aku meninggalkan Yudistira dan turun ke lantai satu. Kamar tamu itu aku kunci sebelum masuk dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kecil kemungkinan dia menyusulku, tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Aku tidak tertarik memecahkan rekor kebobolan dua kali dalam waktu sedemikian singkat. Sialan, dia membuatku harus mandi tengah malam. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali mandi tengah malam. Malino bukan tempat yang tepat untuk melakukannya, meskipun menggunakan air hangat.

Kejadian tadi sebenarnya bukan murni kesalahan Yudistira. Aku tahu dia tidak akan memaksa kalau aku menolak. Semua terjadi karena pertahananku terhadap godaannya terlalu lemah.

Ada sedikit nyeri dalam dada saat menyadari jika aku tidak terlalu menyesali kejadian tadi. Iya, itu jelas salah, tetapi gunung penyesalan itu tidak sebesar yang seharusnya. Lalu kenapa menyesakkan? Karena aku menyadari bahwa aku memang tidak sebaik yang kupikir. Anggapan keluarga Adam bahwa aku bisa berakhir di tempat tidur laki-laki tanpa pernikahan ternyata benar. Aku hanya perempuan munafik yang sok suci saja. Memang pantas untuk dijadikan bahan ejekan dan tertawaan. Aku mngusap air mata yang meluncur tanpa diundang.

Sambil mengeringkan rambut, aku menatap bayanganku di cermin. Bersih, tak tersisa riasan sedikit pun. Aku harap Ibu sudah tertidur saat kami kembali ke rumah, karena dia akan tahu apa yang sudah terjadi kalau melihat penampilanku yang seperti ini. Satu lagi hal yang tidak terlintas di benakku saat sibuk menikmati sentuhan Yudistira. Aku mendesah pasrah. Ini buruk.

Yudistira sudah duduk di ruang tengah saat aku keluar kamar. Dia tersenyum melihatku. "Kita nggak usah makan di luar. Aku sudah pesan makanan. Mbak Yati sudah 3 hari pulang kampung. Ada ponakannya yang menikah," dia menyebut asisten rumah tangga yang sudah ikut ke rumah ini sejak kami pindah ke sini.

Aku menyipit menatap Yudistira. "Kenapa kamu ganti baju?" suraku berusaha kutekan supaya tidak meninggi.

Senyum Yudistira semakin lebar. "Katanya kamu nggak mau lagi? Tapi gampang kok lepasnya. Sekarang juga bisa."

Ini orang dewasa atau balita sih? Seharusnya dia bisa membedakan kapan harus serius dan kapan saat bercanda. "Balik ke atas dan ganti sama baju kamu yang tadi!" Ibu orangnya detail. Dia akan tahu kalau Yudistira sudah berganti pakaian. Urusan make up yang hilang di wajah lebih gampang dijelaskan daripada pakaian yang diganti. Aku akan kelihatan konyol kalau ketahuan tidur dengan anaknya yang sinting ini setelah capek-capek kabur selama bertahun-tahun.

"Nggak mungkin diganti, Kay. Baju yang tadi sudah masuk keranjang pakaian kotor. Masa aku harus pungut lagi padahal punya banyak baju dan celana yang lain?"

Aku bersedekap menatapnya. "Kalau kamu nggak ganti, aku akan memesan Grab dan pulang sendiri ke rumah Ibu."

Yudistira spontan berdiri. "Kamu orang pertama yang bikin aku mengorek keranjang baju kotor untuk mendaur ulang pakaian," gerutunya. Namun, dia kemudian bergegas ke atas.

Aku mengecek ponselku sementara menunggu. Untunglah tidak ada pesan atau telepon dari Ibu. Setelah mandi, pikiranku menjadi sedikit lebih fokus. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku dan Yudistira harus melanjutkan bahasan masalah tadi. Bercinta jelas jauh lebih mudah dilakukan daripada dibicarakan, apalagi dengan status seperti sekarang. Namun, aku tidak bisa menghindar. Sekarang aku jadi tidak yakin orgasme tadi sepadan dengan ketidaknyamanan percakapan kami nanti.

Aku buru-buru menggeleng. Astaga, apa yang baru saja kupikirkan? Bisa-bisanya aku kembali membayangkan dosa yang sudah kami lakukan. Namun, rasanya memang luar biasa. Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Sial memang, salah satu seks terbaik yang kurasakan adalah saat bercinta dengan seorang laki-laki tanpa status yang jelas. Salah, status kami jelas, cerai. Dan itu malah semakin menyebalkan.

"Puas?" Yudistira muncul dengan kemeja yang dia pakai saat menjemputku. "Ini beneran nggak nyaman dipakai, Kay. Udah kusut. Kamu tahu aku nggak suka pakai baju kusut."

"Kok ujungnya nggak dimasukin ke dalam?" Aku mengamatinya.

"Iya... iya." Dia membuka ikat pinggangnya di depanku. "Aku beneran lebih suka membuka semuanya lagi. Dulu kita sering main di sofa, kan? Kalau yakin Mbak Yati ngga—"

"Stop...!" Aku mengangkat tangan. Aku tidak akan membiarkannya mengingatkanku kemampuannya memersuasi sehingga aku mau saja diajak bercinta di ruang tengah yang terbuka, dengan Mbak Yati yang sewaktu-waktu bisa masuk dan memergoki. Atau dia mungkin memang pernah memergoki kami diam-diam. "Kita nggak sedang bernostalgia."

"Aku kan sedang bernegosisasi, Kay." Yudistira sudah selesai merapikan pakaiannya. Dia duduk di sofa dan menarikku ikut duduk di dekatnya. "Kita memang punya banyak perbedaan, tapi kita cocok banget di tempat tidur, sofa, kamar mandi, atau di mana pun kita bercinta. Kamu nggak bisa memungkiri itu. Kalau nggak, kita nggak akan melakukannya tadi. Tubuh kita saling menginginkan. Otak besar dan logika kamu bahkan takluk."

Sebenarnya bukan tubuhku, tapi perasaanku, tetapi aku tidak mungkin mengatakannya. "Kita nggak akan melakukannya lagi."

"Sebelum kita menikah lagi? Baiklah, setuju. Karena kata kamu kita nggak bisa menikah saat kamu hamil, kita bisa menikah lusa, atau minggu depan. Proses pembuahannya belum masuk tahap hamil, kan?"

Aku jadi ingin memukul kepalanya. Enteng sekali dia bicara. "Bukan kataku, tapi aturannya memang seperti itu!" Aku curiga dia membolos setiap kali pelajaran agama.

"Ya sudah, lusa kamu kan belum hamil. Jadi kita bisa menikah."

Aku menghela napas sebal. "Kita bisa bicara serius, kan?"

"Aku serius ingin menikah dengan kamu lagi, Kay." Nadanya sekarang berubah lebih serius. "Kalau nggak, ngapain aku mengajak kamu ke sini untuk menunjukkan rumah kita? Ngapain aku memaksamu bercinta seperti tadi? Ibu bisa ngamuk kalau kamu sampai kabur lagi." Yudistira menggenggam tanganku. "Aku nggak pernah berbuat licik dan memanfaatkan kesempatan kayak gitu kalau nggak serius menginginkan kamu. Menginginkan kita kembali. Kita dulu bahagia Kay. Sebelum kejadian itu kita bahagia. Coba ingat-ingat lagi. Waktu itu aku mungkin belum menyadarinya, tapi setelahnya aku tahu kalau kehidupanku bersama kamu adalah yang terbaik. Kamu mengurusku dengan baik."

Aku menarik tanganku. Kedekatan fisik membuat bisa Yudistira unggul dalam negosisasi ini. Dia ahli pemasaran. Dia punya ilmu yang mumpuni. Aku tidak mau teperdaya dan kehilangan akal sehat lagi. "Kita sudah berpisah cukup lama. Aku yakin kamu sudah punya kehidupan yang lain setelah kita berpisah."

"Sudah aku bilang kalau aku nggak suka hidupku tanpa kamu."

"Aku nggak percaya."

"Kalau begitu, kasih tahu aku gimana cara untuk membuktikan aku sunguh-sungguh supaya kamu bisa percaya."

Aku menggeleng jujur. "Aku nggak tahu."

"Kalau begitu kamu harus percaya, Kay. Percaya sama orang nggak akan melukaimu."

"Aku pernah percaya padamu." Aku tersenyum masam. "Dan untuk melupakan rasa kecewa, aku harus meninggalkan Ibu, pekerjaan, dan hidupku yang nyaman di sini. Itu bayaran yang sangat mahal karena pernah naif dan percaya mentah-mentah sama kamu."

"Aku janji nggak akan membuatmu kecewa lagi, Kay. Aku akan selalu jujur padamu. Kelak kalau ada yang mengganjal di hatimu, tanyakan saja. Aku nggak akan membohongi kamu lagi. Aku memang bohong saat bilang tertarik kepadamu dulu. Aku bohong tentang alasanku mendekatimu. Tapi aku nggak pernah menyesal mendekatimu. Ibu benar, kamu orang yang tepat untukku."

Aku menatap persis ke dalam mata Yudistira. Cara untuk tahu apakah dia sungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan atau tidak. "Kenapa kamu berkeras melakukan ini? Kenapa kamu berusaha segininya untuk membuatku kembali?"

"Karena aku mencintai kamu, Kay. Menurutmu untuk apa aku melakukan banyak hal bodoh dan kekanakan untuk mendapatkan perhatian kamu kalau aku nggak cinta sama kamu? Berapa kali sih aku harus bilang cinta supaya kamu percaya?"

"Kamu dulu bilang cinta hanya setiap kali kita selesai bercinta!" bantahku sebal.

"Dan itu artinya aku bohong?" suara Yudistira ikut naik. "Maaf, aku nggak bermaksud membentak kamu. Waktu itu aku masih mempertanyakan banyak hal tentang hubungan kita, Kay. Pernikahan kita bisa dibilang instan tanpa perasaan cinta. Mungkin aku lebih ekspresif saat kita selesai bercinta karena itu memang saat kita dekat banget. Bukan hanya secara jasmani, tetapi juga perasaan kita lebih terhubung. Jadi lebih gampang mengucapkan hal-hal manis. Mengatakan cinta setelah bercinta nggak berarti aku bohong, Kay."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top