Dua Puluh Empat

Dari luar, rumah Yudistira tidak berubah. Sama persis seperti saat kutinggalkan 3 tahun lalu. Pasti sudah dicat ulang, tetapi dia tidak mengubah warna catnya. Namun, agak sulit menilai terlalu banyak, karena meskipun lampu taman dan teras menyala, pencahayaannya tentu saja berbeda dengan matahari.

Rumah ini dibeli Yudistira sebelum kami menikah, tetapi dia tidak menempatinya karena lebih suka tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor. Proses renovasi dimulai setelah kami bertunangan. Karena jarak waktu antara pertunangan dan pernikahan tidak terlalu jauh, renovasi itu belum selesai setelah kami menikah. Kami baru menempatinya setelah pernikahan kami memasuki bulan kedua, saat gedung dan bagian dalam rumah sudah selesai dikerjakan.

Yudistira memang suka seenaknya saat bicara, tetapi dia sangat peduli pada detail, jadi pengerjaan bagian luar rumah makan waktu cukup lama karena beberapa kali sempat dibongkar setelah dikerjakan, karena hasilnya tidak sesuai keinginannya. Menurutku, idenya tentang taman, halaman samping, dan belakang rumah terlalu berlebihan, tetapi aku memilih tidak protes. Mungkin saja Yudistira memang berniat membuat rumahnya jadi senyaman mungkin, sehingga betah tinggal di dalamnya. Lagi pula, dia sudah terbiasa punya halaman yang luar biasa di rumah orangtuanya. Jadi wajar kalau dia juga punya keinginan sendiri untuk membuat eksterior menurut versinya sendiri yang berbeda dengan Ibu.

"Masuk, Kay," Yudistira berbalik saat aku tidak langsung mengikutinya setelah dia membuka pintu. "Yang mau kutunjukan itu di samping. Bagusnya dilihat siang sih, biar detailnya lebih kelihatan. Tapi karena kamu sempatnya sekarang, ya, apa boleh buat."

Aku mengekori Yudistira masuk ke dalam rumah, melintasi ruang depan, ruang tengah, ruang makan, menuju ke pintu yang menghubungkan rumah dan teras samping.

"Sudah jadi." Yudistira mendorong pintu kaca yang ada di situ.

Aku termangu menatap kolam renang dan taman yang dulunya tidak ada di situ. Aku meninggalkan rumah ini saat kolam itu sedang digali. Tamannya juga sementara dikerjakan, dan belum rimbun seperti sekarang.

"Kamu suka?" Yudistira menekan sakelar, sehingga lebih banyak lampu taman yang menyala. Seperti katanya, tempat ini pasti akan lebih jelas apabila dilihat pada siang hari.

"Bagus." Sebenarnya pendapatku tidak dibutuhkan. Aku sudah tidak menjadi penghuni rumah ini sejak tiga tahun lalu. Aku tidak tahu mengapa Yudstira memamerkannya kepadaku, padahal setahuku dia bukan tukang pamer. Waktu memang bisa mengubah banyak hal, termasuk kepribadian. Sama seperti aku yang sudah bertekad tidak akan tertipu oleh laki-laki mana pun. Menyakitkan. "Jadi, kita bisa ke restoran sekarang?"

"Besok kita bisa balik ke sini supaya kamu bisa lihat lebih jelas," Yudistira seperti tidak puas dengan responsku. "Saung yang sebelah sana cocok buat santai santai sambil membaca. Atau tiduran."

"Aku sudah lapar." Aku berbalik masuk ke dalam rumah.

"Kamu nggak suka?" Yudistira menyusulku tanpa merapatkan pintu kaca yang tadi didorongnya.

Aku menghentikan langkah dan berbalik menatapnya. "Ini rumah kamu. Pendapat aku nggak penting."

"Kalau pendapat kamu nggak penting, ngapain aku tanya?" gerutunya. "Kayak orang kurang kerjaan saja."

"Kamu memang kayak orang kurang kerjaan mengajak aku ke sini. Kalau tahu mau ke sini, aku nggak akan ikut kamu."

"Kamu pasti ikut karena aku ngajaknya di depan Ibu. Kamu akan melakukan semua hal yang bertentangan dengan nurani kamu sekalipun untuk membuat Ibu nyaman."

"Aku beneran lapar," ulangku lagi. Aku kembali berjalan menuju pintu depan.

"Kita akan pergi setelah kamu lihat balkon di atas." Yudistira menarik pergelangan tanganku dan berjalan menuju tangga.

Kekanakan kalau kami bermain tarik-tarikan di sini, jadi aku hanya mendesah sebal dan mengikuti langkahnya. "Kita beneran pergi setelah melihat balkon," aku menegaskan.

"Iya, Kay. Nggak percayaan banget sih?"

"Memangnya kamu bisa dipercaya?" Aku langsung menyesal setelah mengucapkan kalimat berbau sakit hati itu. Aku seperti kembali mengungkit masa lalu. Seharusnya aku lebih hati-hati supaya kemungkinan terbaca belum move-on tidak terbuka lebar.

Yudistira tidak menjawab. Dia tetap memegang pergelangan tanganku, seolah takut aku akan melarikan diri.

Ruang duduk di lantai atas juga tidak berubah. Yang berbeda hanyalah tirai yang sekarang dikuak Yudistira. Di balik tirai itu tampak dinding kaca yang lebar. Dulu pintu kaca gesernya tidak sebesar itu.

Yudistira melepas tanganku setelah kami berada di balkon. "Gimana?"

Dari situ aku bisa melihat lampu-lampu di taman depan yang tadi tidak terlalu aku perhatikan saat baru tiba karena Yudistira parkir nyaris di depan teras, bukan di garasi. Ada satu set meja dan kursi yang bisa dipakai untuk duduk bersantai menikmati pemandangan di taman bawah, atau sekeliling kompleks.

"Bagus," sambutku pendek.

"Kok ekspresi kamu pas bilang bagusnya gitu sih? Kayak terpaksa banget." Seperti tadi, Yudistira tampak tidak puas dengan jawabanku.

"Karena aku memang diseret paksa datang ke sini. Sudah untung aku bilang bagus."

"Jadi sebenarnya nggak bagus, dan kamu nggak suka?"

Aku menarik napas panjang-panjang. "Aku nggak bilang begitu." Tempat ini bagus. Taman dan kolam di bawah tadi juga luar biasa. Aku tidak antusias karena semua ini bukan bagian dari diriku lagi.

"Kamu memang bilang gitu, Kay. Kamu bilang bagus hanya untuk sopan-santun saja."

Aku tidak akan terlibat perdebatan bodoh, jadi memutuskan masuk ke dalam rumah. "Aku sudah lihat balkonnya. Sekarang kita bisa ke restoran, kan?" Lagi pula, berada di tempat ini tidak sehat untuk kondisi mentalku. Ada banyak kenangan yang tercipta meskipun aku hanya tinggal dalam hitungan bulan saja.

"Kamu nggak akan pernah memaafkan aku kan, Kay?"

Aku menghentikan langkah. Nada suara Yudistira tidak terdengar seperti biasa. Tidak ada nada usil seperti yang selalu digunakannya saat bicara denganku selama aku di Jakarta beberapa hari ini.

"Kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya lagi," aku menjawab tanpa menoleh. "Tapi aku beneran sudah memaafkanmu."

"Sikapmu nggak akan seperti ini kalau sudah memaafkanku."

Aku menjaga jarak untuk melindungi hati sendiri. Perasaanku kepada Yudistira belum sepenuhnya hilang. Berdekatan bisa membuatnya menyadari hal itu. Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri. Demi Tuhan, waktu 3 tahun sudah cukup lama. "Aku nggak tahu kenapa kita harus terus membahas ini. Bisa kita pergi dari sini sekarang, kan?" Aku kembali melanjutkan langkah.

Langkahku belum mencapai tangga saat Yudistira memelukku dari belakang. Aku seperti membeku. Kakiku seperti dipaku menyatu dengan lantai.

"Semua yang kamu dengar itu beneran hanya ungkapan kekesalanku pada Ibu, Kay. Aku nggak melihatmu seperti itu lagi setelah kita bersama. Maafkan aku. Tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita lagi," bisikannya di telingaku terdengar tulus. Namun, aku sudah pernah tertipu olehnya. Konyol sekali kalau aku melakukan kesalahan yang sama dua kali.

"Ibu... ibu akan khawatir kalau kita terlambat pulang. Kita harus pergi makan malam sekarang." Aku tidak suka terdengar gugup dan tidak yakin seperti itu.

"Kita bukan anak-anak lagi, Kay. Ibu tahu itu. Aku tadi hanya bercanda soal jam malam." Yudistira merenggangkan pelukannya dan memutar tubuhku sehingga kami berdiri berhadapan. Dia menangkup kedua belah pipiku sehingga aku harus menengadah menatapnya. "Aku nggak suka hidupku tanpa kamu. Aku mau kita kembali bersama seperti dulu lagi."

Aku spontan hendak menggeleng, tetapi kepalaku tidak bisa bergerak karena tangan Yudistira masih melekat di pipiku. "Tapi ki—" kata-kataku terputus saat Yudistira menunduk dan membungkamku dengan ciumannya.

Ini benar-benar cobaan. Caranya mencium melemahkan iman. Bahkan hatiku sekarang terbelah dua. Satu sisi menyuruhku memukul Yudistira untuk melepaskan diri, sedangkan sisi jahat yang tersenyum bengis memintaku menikmatinya.

Sial, aku tidak bertahan lebih lama menghadapi godaan si Sisi Jahat. Aku seperti melihatnya tertawa saat membuka mulut dan mulai membalas ciuman Yudistira. Kami berpagutan. Yudistira bergerak maju sehingga aku berjalan mundur menjauhi tangga.

"Kamar kita di sana," katanya saat melepaskan bibirnya sejenak.

Kamar kita, aku mengulang dalam hati. Kedengarannya bagus. Mungkin aku memang sudah gila.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top