Dua Puluh Delapan
Perjalanan beberapa hari ke Jakarta terasa seperti mimpi saja saat sudah berada di Malino dengan rutinitas yang biasa. Briefing, berkeliling kebun dan tempat wisata, memeriksa laporan, dan bertemu dengan orang-orang yang berpotensi menjadi rekanan. Yang membuatku meyakini keberadaanku di Jakarta bukan mimpi adalah percakapan yang kulakukan dengan Yudistira melalui telepon menjadi lebih sering, sehingga aku sudah malas menarik urat leher saat melayaninya bicara. Percuma. Yang ada batang urat leherku bisa membengkak seperti rocker, tetapi kekesalan bukannya hilang malah menumpuk. Yudistira itu mirip bola karet yang akan memantul cepat dan kuat apabila dilempar dengan kekuatan penuh. Lebih baik tidak membantah atau mengajaknya berdebat.
Namun, cara itu tidak selamanya bisa dilakukan kalau obrolannya mulai absurd. Siapa juga yang bisa mengabaikan dan tidak mendebat saat dia mengatakan, "Kamu beneran yakin nggak bakalan hamil, Kay? Aku nggak bermaksud ngeyel sih, tapi apa kamu sudah ngecek google untuk tahu gimana cara menghitung masa kesuburan? Bisa saja persepsi kamu dan ilmu yang sebenernya beda, kan?"
"Aku sudah bilang nggak mau bicara soal itu lagi!"
"Coba deh beli testpack buat ngecek."
"Coba deh kamu balik ke sahabat kamu si Google itu buat tanyain berapa lama waktu yang dibutuhkan sebelum kehamilan itu bisa dideteksi oleh testpack. Kalau mau riset, jangan setengah-setengah." Tidak masuk akal membicarakan hal seperti ini dengan mantan suami. Ini jenis percakapan yang seharusnya kami lakukan saat masih bersama seandainya dia tidak bersahabat dengan balon karet laknat itu.
Yudistira tidak akan segan membangunkanku tengah malam hanya untuk bilang, "Tebak aku sedang apa?"
"Menelepon?" Aku menyesal tidak mematikan ponsel sebelum tidur.
"Selain menelepon, Kay."
"Kamu pikir pandanganku bisa tembus dari Malino ke Jakarta?"
"Makanya aku suruh nebak. Kalau mata kamu tembus, kamu kan nggak perlu nebak, tapi langsung tahu."
"Aku harus balik tidur lagi. Malino dingin banget."
"Kalau aku di situ pasti kamu nggak dingin."
Aku buru-buru menutup teleponnya. Aku tidak akan melakukan phone sex dengan laki-laki sinting yang kurang kerjaan. Kalau dilayani, besok-besok dia bisa saja meningkatkan percakapan itu melalui video call dan memintaku membuka pakaian di depan kamera. Maaf saja, tapi keberuntungannya sudah habis karena kewarasanku telah kembali dengan selamat di tempat yang seharusnya. Apalagi aku sudah berada di tempat yang jauh.
Aku mengangkat kepala saat pintu ruang kerjaku diketuk. Adam muncul dari balik pintu yang terkuak. Senyumnya tampak lebar. Kemarin dia memang mengabari akan datang untuk memperbarui kontrak kerja sama kami. Aku menjalankan bisnis dengan cara sendiri, jadi ya, aku memang membuka blokir nomor Adam.
"Nggak ganggu kan, Na?"
"Sama sekali nggak. Silakan duduk, Dam. Kontrak barunya kamu bawa, kan?"
Adam mengangkat map yang dipegangnya. "Dibawa dong." Dia duduk di depan mejaku. "Gimana Jakarta?"
"Nggak tahu juga sih. Aku di rumah sakit dan di rumah Ibu saja." Aku meraih map yang diulurkan Adam.
"Mantan kamu galaknya ngalahin herder. Padahal waktu pertama ketemu di sini, dia ramah dan bersahabat banget."
Aku tidak mau membicarakan Yudistira dengan Adam, jadi lebih memilih meneliti isi kontrak. Sebenarnya sama saja dengan kontrak lama, hanya jumlah bahannya yang bertambah. Itu menunjukkan bahwa usaha Adam juga berkembang pesat. "Kontraknya nggak mau dibikin lebih spesifik dan memisahkan jumlah bahan yang diantar di tiap-tiap restoran? Ini masih gelondongan kayak tahun lalu. Kalau dipisah, kan lebih gampang mengontrol penerimaan di masing-masing restoran."
"Aku tadi nggak mikir ke situ, Na," Adam jadi terlihat ragu dengan kontrak yang dibawanya. "Tapi bisa kita sepakati saja, nggak usah masuk dalam kontrak, kan?"
"Bisa saja sih. Tapi komplain kalian nggak akan kuat kalau item yang kalian protes nggak masuk kontrak," aku mengingatkan.
"Aku percaya kalian sih. Setahun ini nggak pernah ada masalah, kan?"
"Tapi nanti mungkin saja ada. Kita memang berteman, tapi urusan pekerjaan kan beda, Dam." Aku mengangkat kepala dari lembaran kontrak yang dibawa Adam. "Mau diganti dulu?"
"Boleh deh," Adam langsung setuju. "Besok aku balik ke sini lagi bawa yang baru. Aku nggak bawa laptop. Fail yang ada kop surat dan logo ada di situ."
"Oke deh. Kita lanjutkan besok saja. Mau minum apa?" tawarku setelah menutup map kontrak yang dibawa Adam. "Atau mau brunch sekalian?"
"Nggak usah makan, Na. Aku mau teh panas saja. Tapi kita minum di restoran saja. Duduk dengan posisi kayak gini beneran terasa mengurus pekerjaan."
Kami kemudian beriringan keluar ruangan, menuju restoran. Bahkan di waktu seperti ini udara Malino masih terasa dingin. Melakukan kegiatan di luar ruangan di sini sangat berbeda dengan di Makassar yang sangat panas. Di sana kelenjar keringat lebih aktif.
Aku dan Adam duduk berhadapan di salah satu meja restoran.
"Aku ingat pernah datang ke tempat ini bersama Dean sebelum kamu datang ke Makassar," kata Adam sambil melayangkan pandangan ke arah perkebunan. "Bagian sana dulu masih hutan. Kamu melakukan banyak perubahan selama berada di sini."
Aku mengikuti pandangan Adam. "Dean memang merekrutku untuk melakukan perubahan."
"Dan hasilnya mengagumkan." Adam mengalihkan perhatiannya kepadaku. "Keadaan mantan mertua kamu gimana? Anira bilang kamu ke Jakarta untuk menengok mantan mertua kamu."
"Ibu sudah mendingan. Sudah beristirahat di rumah." Aku membiarkan Adam menggunakan kata mantan mertua untuk menyebut Ibu. Aku sudah pernah menjelaskan bentuk hubunganku dengan Ibu kepadanya, tetapi Adam sepertinya sudah lupa. Aku malas mengulang informasi yang sama. Tidak penting juga untuknya.
"Aku kaget waktu teleponku diangkat sama mantan kamu."
"Dia memang suka iseng."
"Caranya memperingatkan aku supaya nggak menghubungi kamu kalau nggak ada hubungannya dengan pekerjaan sama sekali nggak kedengaran iseng." Tatapan Adam berubah intens. "Keputusanmu tempo hari soal rujuk sudah berubah?"
"Aku belum membuat keputusan," kataku terus-terang.
"Itu artinya sudah berubah. Tempo hari kamu langsung menjawab 'tidak', saat aku menanyakan kemungkinan kalian rujuk." Adam diam sejenak sebelum melanjutkan, "Aku nggak punya kesempatan, kan?"
Adam layak mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada aku. Kejadian dengan Yudistira kemarin sudah membuktikan kalau aku tidak pantas untuk laki-laki sebaik Adam. Dia seharusnya menjalin hubungan dengan perempuan yang benar-benar mencintainya, bukan yang hanya sekadar mencari pengalihan untuk melupakan cinta lama yang belum tuntas tercerabut.
"Aku nggak pantas untuk kamu."
"Aku tahu siapa yang pantas atau tidak untukku. Lagian, untuk hal-hal seperti ini, kita lebih banyak mengambil keputusan berdasarkan kata hati, kan? Dan hatiku memilih kamu."
"Aku pernah gagal dalam pernikahan," aku memutuskan jujur kepada Adam. Mungkin cara itu bisa membuatnya melihat melalui perspektifku. "Dan itu menyakitkan. Jadi, aku memang sangat berhati-hati dalam berhubungan dengan laki-laki. Aku beneran harus yakin kalau dia bisa menerimaku dengan status seperti ini. Bukan hanya dia, melainkan juga keluarganya. Karena meskipun tidak tinggal satu atap dengan keluarganya, mustahil menghindari interaksi dengan mereka. Dan aku lebih memilih untuk nggak masuk dalam keluarga yang sudah nggak menerimaku dari awal."
Adam butuh beberapa waktu untuk merespons, "Kamu sempat bicara dengan Ibu atau kakak-kakakku?" Dari ekspresi dan caranya bicara, aku tahu kalau Ibu dan kakaknya sudah menyatakan ketidaksukaannya pada statusku. "Pantas kamu langsung menghilang malam itu."
Aku menggeleng. "Aku nggak bicara dengan mereka. Ekspresi mereka jelas menunjukkan kalau mereka nggak suka aku. Mungkin bukan aku, tapi status aku sebagai janda. Tapi aku dan status itu satu paket."
"Mereka pasti akan menyukaimu kalau sudah mengenal kamu lebih dekat."
Aku menggeleng lagi. "Aku nggak harus membuktikan kualitas diriku kepada orang lain untuk diterima, Dam. Dan sudah sifat alami manusia untuk percaya pada persepsinya sendiri daripada penjelasan orang lain."
"Kamu bilang kegagalan pernikahanmu menyakitkan. Lalu mengapa kamu mau rujuk? Aku yakin mantan kamu melakukan sesuatu yang buruk sampai kamu meminta berpisah. Bagaimana kamu bisa yakin kalau dia nggak akan melakukan hal yang sama kalau kalian kembali bersama?"
"Aku nggak bilang kami akan kembali bersama. Aku bilang akan memikirkannya."
"Memikirkannya itu hanya tahapan. Saat perempuan bilang akan memikirkannya, maka hanya masalah waktu maka dia akan setuju. Aku punya 3 saudara perempuan, jadi familier dengan cara berpikir mereka."
Percakapan kami terhenti saat pelayan datang mengantarkan minuman. Ponselku juga berdering. Aku mengembuskan napas kuat-kuat saat melihat nama yang muncul di layar. "Sebentar, Dam, aku terima ini dulu." Aku bergegas keluar. Tidak enak menerima telepon Yudistira di depan Adam. Hanya Tuhan yang tahu kalimat absurd yang bisa saja dikeluarkan Yudistira. Meresponnya di depan Adam akan terlihat menggelikan. "Ada apa lagi?" Tadi pagi, dan artinya subuh di Jakarta, dia sudah menelepon sekali.
"Aku sudah bilang kalau aku nggak suka kamu bertemu orang sok ganteng itu."
Aku spontan menoleh ke kiri dan ke kanan, walaupun rasanya mustahilYudistira muncul secara mendadak. Apalagi di hari kerja seperti ini. Dia pasti mengabari untuk minta dijemput sopir kalau memang mau ke Makassar. "Dari mana kamu tahu aku bertemu Adam?"
"Mataku tembus sampai ke situ," jawabnya enteng.
"Kamu memata-mataiku?" Aku tidak percaya dia akan melakukan hal konyol seperti itu. Kalau dia berhasil membujuk salah satu pekerjaku untuk melakukan pekerjaan kotor itu untuknya, aku yakin rumor tentang hubunganku dengan Yudistira sudah tersebar di antara para pegawai. Kehidupan pribadi, terutama asmara orang lain sangat menarik untuk dibahas. Terutama jika orang lain itu adalah atasan di tempat kerja.
"Aku percaya kamu, Kay. Aku hanya nggak suka dia terus datang ke situ." Yudistira mengelak untuk menjawab pertanyaanku soal kaki-tangannya di tempat ini.
"Aku nggak suka kamu membatasi pergaulanku seperti ini. Terutama dengan rekan kerjaku. Kamu nggak punya hak melakukannya!"
"Tentu saja aku berhak. Kamu sedang hamil anakku."
"Aku nggak hamil!" desisku, berusaha menahan suara supaya tidak meninggi. Berbahaya menyebutkan kata hamil kalau sampai kedengaran orang-orang di tempat ini. Janda hamil akan menjadi bahan gosip yang menarik.
"Belum terlihat memang. Sedang dalam proses."
"Kenapa sih kamu harus terus mengingatkan aku pada kejadian itu? Sulit bertobat kalau sumber dosanya terus diingatkan!"
"Karena itu saat kita dekat bukan hanya sekadar fisik, tapi juga emosi, Kay. Aku sudah bilang itu, kan?"
Aku tahu perasaan itu. Itu rasa yang mulai familier sejak kami bercinta untuk pertama kali setelah menikah. Rasa yang pasti belum muncul di hati Yudistira, karena dia melakukannya hanya berdasarkan tuntunan hormon dan pemenuhan kewajiban sebagai suami yang memberi nafkah batin, dengan kepuasan sebagai bonus untuknya.
"Teleponnya aku tutup sekarang. Aku sedang membahas kontrak dengan Adam." Ingatan tentang masa lalu masih membuat nyeri. Saat itu aku menghabiskan waktu untuk memuja laki-laki yang meninggalkan kekasihnya untuk menikahku. Mungkin saja kepuasan yang didapatnya di atas tempat tidur kami karena dia membayangkan bercinta dengan perempuan malang yang tanpa sengaja sudah kurusak hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top