Dua Puluh
"Kamu yang lebih tahu apakah Yudis jujur atau tidak saat bilang dia nggak bermaksud merendahkan kamu dengan kata-katanya," kata Anira ketika aku menceritakan penjelasan Yudistira tentang apa yang diucapkan kepada Ibu. "Kamu yang setiap hari bersama dia dan hafal karakternya. Kalian sudah menikah hampir 7 bulan waktu itu, kan? Karakter asli seseorang sudah terlihat untuk ukuran waktu seperti itu."
"Aku bingung," keluhku. "Biasanya kalau orang marah, orang mengatakan hal yang sebenarnya, kan? Kata Yudis, dia mengucapkan kata-kata seperti itu karena marah sama Ibu yang terlalu ikut campur dalam pernikahan kami."
"Saat marah, kita mengeluarkan unek-unek sih, Kay. Kita akan mendramatisir dan melebih-lebihkan untuk memuaskan emosi. Logika kita nggak sepenuhnya jalan." Anira menepuk punggung tanganku. "Aku bilang ini karena kamu tanya pendapatku, bukan untuk membela Yudis. Kayak yang aku bilang tadi, kamu yang kenal dia, bukan aku."
Aku mengawasi uap yang melayang-layang dari cangkir teh yang belum lama diletakkan Anira di depanku. Gerakannya tidak menentu, terombang-ambing mengikuti angin. Persis seperti perasaanku sekarang. Aku ingin memercayai penjelasan Yudistira, tetapi hatiku masih terasa sakit setiap kali teringat kata-katanya. Memang sulit saat memakai hati ketika berhubungan dengan orang lain. Luka yang dalam hanya bisa ditorehkan oleh orang yang sangat kita cintai, karena kita telanjur percaya bahwa dia tidak akan menyakiti kita.
"Kalau aku percaya, aku akan menganggapnya sama seperti dulu. Dia dulu baik banget, meskipun kadang-kadang konyol dengan humornya yang receh itu. Aku bisa saja jatuh cinta lagi sama dia. Aku nggak mau itu. Aku akan kelihatan lebih konyol kalau jatuh cinta pada mantan suami sendiri."
"Kamu nggak bisa jatuh cinta lagi sama dia, Na. Karena kamu memang masih cinta sama dia. Itu alasan kamu menjauh. Kamu berharap jarak bisa membunuh perasaanmu. Tapi teori jarak dan perasaan nggak selamanya berbanding lurus, kan?"
"Aku merasa tolol banget." Aku mengangkat cangkir dan menyesap isinya. Berharap hangat yang mengelus kerongkongan akan membantu melegakan perasaan.
"Ya, cinta memang kadang-kadang membuat kita tolol. Itu saat di mana kita menganggap orang lain menjadi jauh penting daripada diri kita sendiri." Anira mengedik. "Hubunganku dengan ayahku buruk banget sejak dia terlibat judi. Aku tahu kalau aku seharusnya nggak membayar utang-utangnya karena itu akan membuatnya terus berjudi, tetapi aku nggak berdaya saat dia muncul dengan wajah lebam dan bilang, 'Mereka akan membunuh Ayah kalau kamu nggak membayar utang itu, Nira.' Dan aku lantas membayarnya karena takut dia benar-benar dibunuh. Padahal itu sama saja dengan membuat dia terus berada dalam lingkaran setan judi. Aku benci perbuatan ayahku, tapi aku nggak bisa berhenti mencintainya. Setiap kali mau memutus hubungan, Dean akan menyuruhku mengingat-ingat masa lalu saat hubunganku dengan ayah belum rusak karena judi. Dan aku akan ingat bagaimana baik dan sayangnya ayah kepadaku. Dia membesarkan aku sebagai orangtua tunggal, dan itu nggak gampang. Cinta memang seperti itu, Kay. Meskipun menyakitkan, kita nggak bisa lantas menyingkirkannya."
"Dan hidup kita menjadi ribet karenanya." Aku mendesah berat. "Ini sebenarnya akan lebih mudah kalau Yudis bukan anak Ibu dan Bapak. Aku hanya perlu memaafkannya dan memutus kontak. Tapi aku nggak bisa melakukan itu karena dia bagian dari Ibu dan Bapak."
"Apa kamu beneran yakin akan bahagia kalau kontak kalian benar-benar terputus? Coba pikir-pikir lagi, Kay. Apakah perasaanmu jauh lebih baik sebelum bertemu kembali dengan Yudis, atau malah sebaliknya? Hanya kamu yang bisa menjawab pertanyaan itu."
Jujur, aku tidak tahu. Aku belum berpikir sampai ke sana.
Dulu, aku merasa ritme hidupku berubah setelah sering bersama Yudistira di masa pendekatan kami. Aku tidak tahu apakah itu lebih baik atau malah buruk, tetapi aku menjadi sedikit lebih santai. Tidak ada makan siang di ruangan karena Yudistira selalu mengajakku makan di luar. Dia menyingkirkan laptopku saat sedang berkunjung di apartemenku di akhir pekan.
"Aku ngapelin kamu, bukan laptop. Apa kata orang-orang kalau tahu orang secakep aku malah dianggurin pacar sendiri? Aku bisa jadi bahan lelucon. Malu-maluin banget, kan?" Yudistira bergidik dengan tampang jailnya.
Yudistira selalu berhasil dengan diplomasi santainya. Gaya yang awalnya tidak kusukai. Entah mengapa aku kemudian malah berbalik jatuh cinta kepadanya. Seperti kata orang-orang, cinta memang tidak memilih-milih sasaran saat hendak hinggap. Aku mungkin adalah korban panah Cupid yang salah sasaran saat sedang bosan dan mengantuk.
"Kamu nggak memikirkan kemungkinan kembali bersama Yudis?" Anira mengusik lamunanku.
Aku langsung menggeleng. "Astaga, tentu saja tidak!" Apa yang dikatakan Anira sangat tidak masuk akal.
"Kenapa tidak? Itu nggak mustahil. Kalian cerainya hanya talak satu, kan?"
Aku terus menggeleng. "Kami bercerai karena hubungan kami nggak bisa dipertahankan. Nggak masuk akal memulainya kembali. Aku dan Yudis beneran berbeda."
"Karakter yang berbeda biasanya saling melengkapi."
"Terlalu banyak perbedaan juga nggak bagus." Kalau kesenjangan karakter kami tidak terlalu jauh, Yudistira mungkin tidak akan segan membawaku dalam pergaulannya. Kalau dia dulu melakukannya, aku tidak akan curiga dan berpikiran buruk berlebihan tentang arti hubungan kami untuknya setelah mendengar apa yang dia katakan kepada Ibu. Aku akan lebih mudah menerima penjelasan dan permintaan maafnya.
"Jangan langsung bilang tidak, Na. Pikirkan saja dulu. Biasanya kamu nggak memutuskan sesuatu berdasarkan emosi sesaat."
Biasanya keputusan yang aku ambil tidak berhubungan dengan cinta dan perasaan terkhianati. Sama seperti orang lain, aku juga bisa impulsif saat melibatkan perasaan.
"Kalau kami dekat lagi, itu karena hubungan kami dengan Ibu dan Bapak saja, nggak lebih."
"Kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk diri kamu sendiri, Na. Sebagai sahabat, aku hanya bisa kasih sudut pandang yang lain, tapi kamu yang akan memutuskan."
Bicara dengan Anira membantu meringankan perasaan, tetapi tidak akan mengubah pendapatku. Lagi pula, perpisahanku dengan Yudistira sudah lama. Kalau dilihat dari rekam jejaknya selama kami bekerja bersama, dia bukan orang yang terlalu sulit berpindah hati. Dia tidak pernah terlihat patah hati, dan boom! Tiba-tiba saja dia sudah berganti gandengan.
Jadi rasanya tidak mungkin Yudistira tidak punya hubungan dengan perempuan lain setelah kami berpisah. Kemungkinan besar adalah kembali bersama Indira, cinta dalam hidupnya. Mereka berpisah karena Yudistira memutuskan bersamaku untuk menyenangkan Ibu. Apa lagi yang bisa menghalangi mereka kembali bersama setelah kami bercerai? Tidak ada.
**
Aku membaca undangan yang baru saja diberikan Adam kepadaku.
"Sepupuku, Na. Datang ya, nanti aku jemput."
Banyak sekali para sepupu yang menikah akhir-akhir ini. Beberapa hari lalu Nadine, sepupu Yudistira, dan sekarang sepupu Adam.
Aku mengernyit. Saat ini, aku bahkan sudah bisa membayangkan perasaan tidak nyaman berada di antara undangan pernikahan keluarga Adam itu. Selain adik Adam yang pernah kutemui di restorannya, aku belum pernah bertemu keluarga Adam yang lain. Adam beberapa kali mengajakku menghadiri acara keluarganya, tetapi selalu kutolak. Berkunjung ke rumah Adam adalah langkah besar yang belum siap kulakukan. Aku belum memutuskan arah hubungan kami. Mengikuti ajakan Adam sama saja memberikan sinyal kalau aku sudah siap menerimanya lebih daripada sekadar teman.
Namun, menolak undangan pernikahan seperti ini rasanya berlebihan. Adam temanku, dan wajar saja menghadari pernikahan keluarga teman.
"Nggak usah dijemput," Ya, aku tidak mungkin menolak undangan seperti ini. "Kamu pasti sibuk menerima tamu juga, kan? Aku akan pergi dengan Anira dan Dean."
"Kalau aku jemput, kamu kan nggak perlu nyetir sendiri, Na."
"Aku bisa ke Makassar dengan sopir." Aku akan langsung pulang ke Malino setelah selesai menghadiri undangan itu. Aku bisa beristirahat di mobil kalau membawa sopir. Aku tidak suka menyetir malam-malam, apalagi kalau perjalanannya cukup jauh.
"Jadi... mantan mertua kamu sudah pulang?"
Aku mengangkat kepala dari undangan yang sedang kubaca. Aku tidak menduga Adam akan memilih topik itu untuk mengalihkan percakapan. "Sudah." Aku meletakkan undangan yang kupegang di atas meja restoran. "Aku memanggilnya Ibu." Sebutan mantan mertua untuk Ibu rasanya aneh. Aku mendadak tersadar jika aku tidak pernah menganggap Ibu sebagai mertua. Ibu adalah ibu bagiku. Pernikahanku dengan Yudistira hanya mengubah bentuk hubunganku dengan laki-laki itu, bukan dengan Ibu. Aku dan Ibu sudah sangat dekat, tidak mungkin bisa lebih dekat lagi.
"Dia tetap saja ibu mantan suami kamu, kan?"
Aku hanya mengedik. Aku paham dengan rasa penasaran Adam, tetapi aku tidak ingin membicarakan Ibu dengannya.
"Kelihatannya dia masih mengharapkan kamu menjadi menantunya."
Aku bersandar di kursi dan menatap Adam. Apakah aku sudah memberi harapan tanpa menyadarinya? Selama ini aku merasa hubungan kami wajar saja sebagai teman. Kami ngobrol saat bertemu di Makassar, atau ketika dia datang ke Malino seperti sekarang. Aku menjawab telepon dan pesan-pesannya, tetapi hampir tidak pernah menghubungi Adam lebih dulu kalau tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Aku adalah rekanan yang menyuplai sayur dan buah untuk restorannya.
"Ibu akan tetap menjadi ibuku, meskipun aku sudah bercerai dengan anaknya, Dam. Aku lebih dulu dianggap sebagai anak daripada menantu."
"Kalau hubungan kalian nggak bisa terputus, apakah nggak canggung terus bertemu Yudistira setelah bercerai? Sejak mengambil alih tempat ini dari Dean, dia sudah beberapa kali datang, kan? Aku beneran semakin curiga dia membeli tempat ini hanya modus untuk mendekati kamu lagi. Maksudku, berapa sih nilai tempat ini kalau dibandingkan dengan bisnis keluarganya yang lain?"
"Yudistira sudah punya kehidupan yang nggak ada hubungannya dengan aku." Aku jelas akan memilih Anira kalau ingin membicarakan Yudistira daripada Adam.
"Maksud kamu, dia sudah menikah?"
Yudistira tidak akan mengakui mencoba menciumku di depan Ibu kalau dia sudah menikah. Dia mungkin kadang suka seenaknya, tetapi jelas tidak akan mempertaruhkan pernikahannya dengan cara konyol seperti itu. Dia bisa setia kepadaku yang terpaksa dinikahinya selama kami bersama, jadi mustahil dia akan merusak pernikahan yang diinginkannya. "Aku lebih suka nggak membicarakan Yudistira," aku memilih tidak menjawab hal yang aku tidak tahu pasti. "Yang pasti, kami nggak punya hubungan apa-apa lagi sekarang. Selain orangtuanya."
"Dan tempat ini," sambung Adam.
"Dan tempat ini," aku mengakui hal itu.
"Itu terlalu banyak untuk ukuran mantan suami, Na. Kebanyakan orang memilih memutus hubungan dengan masa lalu saat memulai hidup baru."
Itu yang kulakukan saat meninggalkan Jakarta beberapa tahun lalu. Hal yang tidak mungkin aku ulangi lagi sekarang. Aku tidak ingin kehilangan Ibu dan Bapak lagi. Saatnya membalas kebaikan mereka. Bukan secara materi tentu saja karena mereka sudah punya semua benda yang mereka inginkan. Mereka hanya butuh hubungan emosional denganku.
"Kamu mau minum apa?" Aku sengaja mengalihkan percakapan.
"Teh panas saja." Adam mengerti keenggananku melanjutkan pembahasan tentang Yudistira.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top