Dua
Oh ya, lupa aku kasih tahu kemarin. Ini ceritanya seringan kapas sih. Puasa mau nulis yang nggak pakai mikir saja. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Apa yang menjadi alasan seorang perempuan saat memutuskan menikah? Aku yakin jawabannya pasti beragam. Ada yang menikah karena alasan ekonomi, umur yang sudah di batas periode emas reproduksi, dan ada juga karena perjodohan. Namun, sebagian besar perempuan tentu saja memutuskan menikah karena cinta. Menikah dengan seseorang yang dicintai adalah harapan paling romantis, kan? Bayangkan, kamu akan bersama bersama seseorang yang istimewa di hatimu untuk seumur hidup. Terbangun di sisinya di pagi hari, dan terlelap di dalam pelukannya di malam hari. Perempuan mana yang tidak menginginkan hal seperti itu?
Aku tidak berbeda dengan kebanyakan perempuan itu. Cintalah yang membuatku memutuskan menikah. Aku hanya lupa memastikan bahwa perasaan laki-laki yang mengajakku menikah itu sama persis denganku sebelum menyetujui usulan itu.
Euforia membutakan. Seharusnya aku menyadari jika tipe perempuan yang disukai laki-laki itu bukan seperti diriku. Bukankah aku sendiri yang menjadi saksi hubungan yang dijalinnya dengan semua mantan pacarnya yang glamor itu? Tidak satu pun di antara para mantannya itu yang terlihat seperti aku.
Aku mungkin tidak akan kalah cantik kalau berdandan seperti mereka, tetapi jelas tidak akan berpenampilan seperti mereka. Standar kehidupan kami perbandingannya seperti bumi dan jupiter saking jauhnya. Penghasilanku bagus, tetapi hidup kekurangan di masa kecil membuatku sayang kalau harus menghamburkan uang untuk membeli pakaian rancangan desainer untuk ke kantor. Aku adalah tipe perempuan yang berpenampilan membosankan karena hanya memakai paduan blus, blazer, rok panjang, atau celana panjang. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan para sosialita mantan laki-laki itu yang pengikut instragramnya saja mencapai jutaan, mengalahkan pengikut artis.
Aku pasti terlihat bodoh saat kegirangan diajak menikah. Dia mungkin menertawakan aku di belakang punggung. Sialan! Itu pelajaran berharga yang tak mungkin akan kulupakan seumur hidup. Antusiasme bisa menghilangkan kewaspadaan. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
"Kay...?" Laki-laki itu mendekat ke hadapanku.
Seandainya Dean mengenalnya, aku akan menganggap pertemuan ini jebakan. Namun Dean tidak pernah bertemu dengannya. Anira, istri Dean yang menjadi sahabatku juga hanya pernah bertemu laki-laki ini dua kali. Sekali saat resepsi pernikahan, dan sekali saat laki-laki itu mengantarku bertemu Anira yang sedang cuti di restoran. Anira meninggalkan Jakarta dan pindah ke Makassar karena mendapatkan promosi dua tahun setelah bekerja. Dia hanya mengenal laki-laki itu dari ceritaku.
Aku memejamkan mata sejenak. Aku harus profesional. Laki-laki itu adalah tamu Dean, dan aku pegawai Dean. Aku tidak boleh menjadi alasan Dean gagal mendapatkan kesepakatan bisnisnya dengan laki-laki ini.
"Bungalo Bapak sudah disiapkan." Bapak. Itu seperti panggilanku untuknya dulu sebelum kami bertunangan. Aku menoleh kepada pegawai yang berdiri di belakangku. "Bawa tas tamu Pak Dean ke dalam." Aku tahu wajah dan sikapku terlihat formal. Aku sudah terbiasa memasang ekspresi seperti itu dulu. Syukurlah aku belum lupa karena semenjak mengelola tempat ini aku lebih banyak tersenyum dan terlihat ramah. Di Jakarta dulu aku lebih banyak berurusan dengan pegawai yang butuh ketegasan, sementara di sini aku berpapasan dengan pengunjung di mana-mana. Tidak mungkin memakai strategi yang sama untuk dua jenis pekerjaan yang jauh berbeda.
"Kay, ki—"
"Bapak bisa makan malam di restoran," aku memotong cepat. "Tapi kalau mau makanannya diantarkan ke kamar, silakan menghubungi resepsionis. Kami akan berusaha membuat Bapak merasa nyaman berada di sini. Silakan beristirahat." Aku mengulas senyum dan berbalik.
Syukurlah dia tidak memanggil atau berusaha mengajakku bicara lagi. Mungkin dia juga sama terkejutnya denganku. Rasanya aku belum pernah membenci kebetulan seperti saat ini.
Aku langsung menghubungi Anira begitu masuk kamar. Aku harus memastikan kalau ini bukan bagian dari rencananya.
"Kamu tahu siapa tamu Dean yang menginap di sini?" Aku menembak tanpa basa-basi.
"Tamu Dean yang menginap di situ?" Anira malah mengulang pertanyaanku. Artinya dia juga memang tidak tahu. "Dean nggak kasih tahu siapa namanya. Dia hanya bilang mau meetingdengan tamu dari Jakarta. Dan tamunya memang minta menginap di Malino. Orangnya sudah sampai di situ?"
Aku hanya bisa mendesah. "Aku pikir Makassar sudah cukup jauh dari Jakarta. Seharusnya bertemu dia di sini itu kemungkinannya kecil banget, kan?"
"Dia siapa?" Anira diam sejenak sebelum berseru, "Astaga!"
Ya, astaga. Itu juga yang ada dalam pikiranku tadi. "Aku tidak suka bertemu dia."
"Aku tahu. Kalau suka, kamu nggak akan ada di sini. Kamu masih di Jakarta. Jadi, kalian bicara apa saja?"
"Kamu pikir aku mau bicara dengannya? Apa yang harus dibicarakan dengan tukang tipu seperti dia? Setelah kejadian dulu, aku nggak akan bisa membedakan apakah dia bicara jujur atau sedang berbohong. Aku belum pernah bertemu pembohong selihai dia."
"Kamu nggak harus bertemu dia selama dia di situ, Na," Anira ikut mendesah. "Aku akan bicara dengan Dean. Mungkin saja dia mau pindah ke hotel di Makassar kalau Dean menawari."
Aku juga memang tidak berniat bertemu dengannya. Semoga saja dia juga merasa seperti itu sehingga memutuskan mempersingkat kunjungannya.
Ponselku berdering tidak lama setelah mengakhiri percakapan dengan Anira. Adam. Calon cinta masa depanku. Hanya saja, ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya, jadi aku memutuskan tidak mengangkat teleponnya. Aku benci saat masa lalu dan calon masa depan berbenturan di masa kini seperti ini. Karena aku mendadak tersadar kalau aku sebenarnya hanya menggunakan Adam sebagai tameng untuk melupakan masa lalu. Padahal aku belum beranjak dari sana. Melihat laki-laki itu masih menyakitkan hati. Kemarahanku belum sepenuhnya padam. Sakit hati dan marah adalah pertanda jika aku sebenarnya belum melepas masa lalu. Kalau masa lalu itu tidak berarti lagi, melihat laki-laki itu tidak akan membuatku emosional seperti tadi.
**
Tidurku tidak nyenyak. Pukul empat dini hari aku akhirnya duduk di depan meja sambil mempelajari laporan yang masuk. Aku mengelola usaha Agrowisata dan Resort milik Dean. Ini bisnis yang menguntungkan karena mulai banyak keluarga yang memilih liburan ke tempat seperti ini daripada di pusat kota.
Di tempat ini kami memiliki semua sarana untuk menjadikan liburan menyenangkan. Kami punya perkebunan teh, aneka buah, sayur, dan bunga. Ada juga pabrik jus dan teh kemasan yang dihasilkan perkebunan ini. Di akhir pekan atau liburan, wisata petik buah lumayan ramai. Selain waterpark berukuran besar, kami juga punya lapangan tenis, bulutangkis, dan arena memanah. Kami sebenarnya fokus pada perkebunan sehingga hanya memiliki 30 unit vila. Dean lebih suka menyebutnya bungalo. Diperuntukkan untuk keluarga yang menginap atau kantor yang mengadakan outing di sini.
Manajemen adalah keahlianku. Aku suka mengatur. Mungkin karena sudah terbiasa melakukannya sejak kecil. Aku kehilangan seluruh anggota keluarga saat berumur 6 tahun dalam kecelakaan kapal feri yang kami tumpangi. Oleh dinas sosial, aku kemudian ditempatkan di panti asuhan. Panti bukan tempat nyaman untuk anak yang suka bermalas-malasan, jadi aku sudah biasa bekerja membantu pengurus panti.
Pukul setengah enam aku akhirnya keluar vila yang menjadi rumahku selama beberapa tahun terakhir. Lebih baik berjalan-jalan di perkebunan daripada tidak bisa berkonsentrasi di rumah. Udara Malino masih sangat dingin di waktu seperti ini, jadi aku memakai jaket yang lumayan tebal.
Belum jauh meninggalkan teras, aku melihat mobil Adam melaju menuju tempat parkir setelah satpam membuka palang. Aku menghela napas panjang. Kelihatannya hariku dimulai terlalu pagi.
Adam berlari kecil mendekat setelah memarkir mobil.
"Teleponku nggak kamu angkat semalam," katanya.
"Maaf." Aku melanjutkan langkah, membiarkan Adam berjalan di sampingku. "Aku ada pekerjaan, jadi lupa mau menghubungi balik."
"Aku datang untuk jemput kamu." Adam sepertinya percaya alasanku. Dia memang selalu percaya pada apa pun yang aku katakan. Aku jadi sedikit tidak enak karena sudah membohonginya. "Kita ke Makassar pagi ini."
Itu sebenarnya ide bagus. Aku juga tidak mau tinggal di tempat ini sampai laki-laki itu pergi. Sayangnya aku tidak bisa main kabur seenaknya. "Kamu tahu kalau weekend gini kami malah sibuk karena banyak tamu." Aku punya sifat suka mengontrol yang parah. Aku tidak suka pegawaiku melakukan banyak kesalahan. Dan biasanya di akhir pekan saat padat pengunjung, ada saja keluhan. Aku lebih suka berada di tempat untuk menyelesaikan masalah.
"Padahal aku mau ngajak kamu ke opening cabang baru restoranku," Adam terdengar kecewa. "Buat ganti acara yang batal semalam."
Adam memiliki beberapa restoran. Aku mengenalnya karena sejak tahun lalu kami menjadi pemasok buah dan sayur untuk restorannya. Dean yang mengenalkan karena mereka memang berteman.
"Maaf banget ya. Dean juga mau ke sini karena ada meeting dengan koleganya. Nggak enak kalau dia ke sini aku malah pergi." Bukan berarti aku akan menemani Dean meeting. Tidak akan. Aku hanya tidak suka meninggalkan pekerjaan.
"Apa aku harus menghubungi Dean dan minta izin supaya kamu boleh ke Makassar?"
"Bukan soal izin Dean," kataku. "Dean pasti mengizinkan. Ini soal tanggung jawab pada pekerjaan. Kapan-kapan aku pasti akan mengunjungi restoran baru kamu kok."
Adam mengedik. "Mungkin opening-nya seharusnya di hari kerja saja, tapi weekendlebih ramai sih."
"Jangan menyesuaikan dengan jadwalku." Aku jadi semakin tidak enak. "Itu restoran kamu, nggak ada hubungannya denganku."
"Tapi—"
"Sebentar." Ponselku berdering. Aku termangu menatap layar. Nomornya tidak ada dalam daftar kontakku. "Halo?" aku mengangkatnya juga. Mungkin saja penting. Ini masih terlalu pagi untuk urusan basa-basi.
"Aku mau kopiku diantarkan sekarang."
Apa-apaan ini? Aku tahu itu suara siapa. "Di situ ada telepon. Bapak bisa menghubungi resepsionis. Permintaan Bapak akan segera diteruskan. Tunggu dulu, dari mana Bapak mendapatkan nomor saya?"
"Pak Dean memberikan nomor kamu kalau-kalau aku butuh sesuatu."
Menyebalkan. "Saya yakin sesuatu yang dimaksud Pak Dean itu adalah sesuatu yang lebih penting daripada secangkir kopi," sindirku meskipun masih dengan suara yang kubuat seramah mungkin.
"Kamu juga tahu aku nggak minum jus kemasan. Aku mau minuman itu dikeluarkan dari kulkas."
Mana aku tahu kalau tamu penting Dean itu dia? Kalau tahu, aku tidak akan menyambutnya. Lebih baik menyembunyikan diri di kolong tempat tidur sampai dia pergi. Aku akan tahan dengan risiko pegal dan kelaparan. "Itu juga bisa diselesaikan kalau Bapak mengangkat telepon yang ada di situ."
"Handuknya hanya dua. Semalam satu terjatuh dan basah. Kamu tahu aku nggak pakai handuk yang sama dua kali. Apalagi kalau sudah lembap."
Siapa yang suruh menjatuhkan handuk? Aku memejamkan mata. "Ada yang lain lagi, Pak?" Sabar... sabaarrr....
"Aku menunggu kopiku sekarang." Telepon ditutup.
Aku spontan menoleh ke arah vila yang ditempati laki-laki itu. Letaknya memang tidak jauh dari tempatku dan Adam berdiri. Dan aku melihatnya sedang duduk di teras. Dia jelas sengaja mengerjaiku. Mengapa orangtuanya yang sempurna bisa menghasilkan anak yang cacat moral seperti dia?
**
Semoga vomen-nya bagus, biar nulisnya semangat. Buat yang bellum follow, Ig-ku. Mampir ke @titisanaria ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top