Delapan Belas
Tanganku yang bebas punya dua pilihan, antara mengalungkannya di leher Yudistira sehingga bisa membalas ciumannya dengan posisi yang lebih baik, atau memukulnya supaya dia melepasku. Dan karena akal sehatku belum benar-benar ikut terbang, aku memilih opsi kedua. Aku memukul bagian tubuh Yudistira yang bisa kujangkau. Punggung. Namun, aku tetap tidak bisa melepaskan diri. Dia memelukku erat.
Aku tidak punya pilihan, jadi aku memilih menggigit bibir bawahnya sebelum benar-benar membalas ciumannya dan mempermalukan diri.
"Aduhhh...." Yudistira mundur beberapa langkah. Dia spontan memegang bibirnya dan menatapku tidak percaya.
"Kamu nggak boleh mencium orang seenaknya." Aku ikut mundur sehingga jarak kami menjadi lebih lebar. "Kalau tahu akan seperti ini, aku akan membiarkan kamu membeku di luar."
"Bibirku berdarah, Kay."
Benarkah? Aku tidak menggigitnya sekuat tenaga tadi. Hanya cukup untuk membuatnya menarik diri. Sekarang ide yang tadinya cemerlang tidak terasa bagus lagi. Kalau bibirnya benar-benar cedera, Ibu dan Mbak Yesti akan curiga. Astaga, kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan itu tadi? Alasan apa yang bisa membuat orang percaya bibir bawah cedera tanpa melibatkan ciuman dan gigitan? "Beneran luka?"
"Lihat sendiri kalau nggak percaya!" Yudistira masih menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Kamu tega banget sih, Kay."
"Itu nggak akan terjadi kalau bibir dan lidah kamu nggak piknik kemana-mana!" Aku membela diri. "Coba lepas tanganmu, aku mau lihat."
"Lihat dari situ?"
"Aku nggak akan dekat-dekat. Kamu nggak bisa dipercaya!"
"Sebentar lagi bengkaknya akan membesar."
"Jangan menakut-nakuti aku!" Aku memelotot kepadanya. "Lepas tanganmu, aku mau lihat beneran luka atau nggak. Kalau bengkak, bisa dikompres es, kan?"
"Sudah mulai bengkak nih. Cepat banget. Bibir memang sensitif."
Aku tidak punya pilihan kecuali mendekat. "Lepas tangan kamu. Berapa kali aku harus bilang sih?"
Yudistira melepas tangannya dan aku bisa melihat kalau bibirnya memang memang sedikit membengkak. Ada sedikit darah, dan yang mengerikan adalah cetakan yang dibuat gigiku. Itu jelas-jelas bekas gigitan. Memalukan. Satu-satunya orang yang bisa dijadikan tersangka untuk bekas seperti itu di tempat ini adalah aku. Ibu dan Mbak Yesti tidak perlu bertanya, mereka akan segera tahu. Ya Tuhan, mau ditaruh di mana mukaku?
Aku buru-buru berbalik mengambil es di kulkas dan membungkusnya. "Duduk di sofa!" Aku menjejalkan kantung es itu ke tangan Yudistira. "Tekan ini di bibir kamu."
"Kamu saja yang kompres. Kamu yang menggigitku." Yudistira mengulurkan kantung itu kembali padaku.
Aku menatapnya geram. Apa aku benar-benar pernah menikah dengan laki-laki kekanakan ini? Di mana otakku waktu itu? Aku merenggut kantung es itu kasar dan mulai menekannya ke bibir Yudistira.
"Aduh... pelan-pelan, Kay. Bukannya sembuh, ntar malah makin bengkak."
Aku mengembuskan napas sebal. Hidup kok cobaannya bisa aneh-aneh seperti ini sih?
"Aku nggak mungkin ke resepsi Nadine dengan bibir kayak gini." Artikulasi Yudistira tidak terlalu jelas karena sebagian bibirnya tertutup bungkusan es. "Kalau meradang, aku mungkin bisa demam. Mungkin aku harus istirahat saja di sini. Biar Ibu dan Mbak Yesti pulang duluan. Aduuuhh... jangan ditekan kuat-kuat gitu, Kay."
"Kamu pikir kamu bicara dengan anak umur 3 tahun?" Ada-ada saja. Demam karena bibir meradang akibat digigit? Itu pernyataan paling tolol yang pernah kudengar. Kalau tidak ada Ibu dan Mbak Yesti di sini, aku tidak akan peduli kalau luka di bibir Yudistira lebih besar. Aku bisa langsung mengusirnya dari tempatku. Namun, aku tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Aku benar-benar khawatir dengan apa yang ibu pikirkan tentang hubunganku dengan Yudistira. Bercerai tapi saling memakan bibir? Astaga, rasanya aku jadi ingin menghilang saja.
"Kay...." Nada Yudistira jauh lebih pelan sekarang.
"Apa?" jawabku jengkel.
"Aku beneran minta maaf."
Karena aku duduk di lengan sofa, posisiku jadi lebih tinggi daripada Yudistira. Aku menunduk menatapnya. Dia memang terlihat menyesal. Namun, apa itu penyesalan yang tulus? Aku dulu sudah salah menilai semua sikapnya. "Tapi jangan diulang lagi." Lebih baik tidak membicarakan ciuman. Aku tidak nyaman membahas kedekatan fisik seperti itu. Berdasarkan pengalamanku, keintiman itu lebih mudah dilakukan daripada dibahas. "Kamu benar, aku nggak mau punya hubungan yang rumit. Kita nggak akan bisa beneran berdamai kalau kamu berdiri di tengah-tengah, antara aku dan hubungan yang coba aku bangun dengan orang lain."
"Aku minta maaf untuk semua yang pernah aku ucapkan sama Ibu yang kamu dengar dulu, Kay, bukan untuk ciuman tadi." Yudistira menahan tanganku yang kuangkat beserta kantung es dari bibirnya.
"Kita sudah sepakat untuk nggak mengungkitnya lagi," aku mengingatkan.
"Tapi rasanya tetap mengganjal. Kamu belum sungguh-sungguh memaafkan aku."
Aku melepaskan genggaman Yudistira dan memilih duduk di tempat yang terpisah dengannya. "Kamu tahu apa yang paling membuatku sakit hati?" Aku terus menatap Yudistira, tidak mencoba menyembunyikan luka yang mungkin terpancar dari mataku. "Kamu orang pertama yang berhasil membuatku sadar kalau aku bisa tertipu. Hidup di panti itu nggak gampang. Memang ada orang-orang yang mengurus kami di sana, tapi karena penghuni panti banyak, hubungan kami nggak pernah benar-benar dekat. Aku harus melakukan semua hal sendiri, dan kemudian terbiasa memutuskan semua tanpa meminta pendapat orang lain. Aku belajar memahami karakter orang supaya tidak membuat keputusan yang salah saat berhubungan dengan orang lain, dan aku bisa melakukannya dengan baik. Aku bahkan sudah sampai pada tahap yakin bahwa aku nggak akan keliru menilai orang, tapi ternyata aku salah. Kamu berhasil membohongiku. Dan aku kehilangan kepercayaan diri. Aku kemudian meragukan semua penilaian yang sudah dan akan aku buat. Itu menyakitkan." Aku tersenyum getir. "Aku memang merasa janggal saat kamu mendekatiku, karena tahu aku bukan jenis perempuan yang akan kamu pilih sebagai pendamping hidup. Kita kenal cukup lama, jadi aku merasa sudah tahu karaktermu. Tapi kamu bisa meyakinkanku. Aku percaya." Atau mungkin, aku ingin percaya bahwa laki-laki yang aku cintai juga tertarik kepadaku. "Bayangkan bagaimana perasaanku saat tahu bahwa penilaianku salah."
Yudistira balas menatapku. "Aku menolak saat Ibu pertama kali mengusulkan untuk mendekatimu karena tahu kita beneran berbeda. Kamu sangat serius menjalani hidup, sedangkan aku jauh lebih santai. Aku merasa hubungan kita nggak akan berhasil dengan perbedaan seperti itu. Apa yang aku ucapkan pada Ibu yang kamu dengar adalah pandanganku tentang kamu sebelum kita dekat. Jujur saja, kamu adalah jenis orang yang bisa mengintimidasi hanya dengan menatap. Kamu mungkin nggak mengatakan apa-apa, tapi sorot matamu rasanya meremehkan. Aku merasa aku nggak akan mencapai level yang kamu inginkan sebagai pasangan. Tapi Ibu minta aku mencoba. Dan aku nggak menolak untuk membuatnya senang. Dan setelah kenal kamu lebih dalam, pandanganku berubah. Kamu memang serius, tetapi nggak sedingin yang selama ini aku pikir. Dan semakin sering kita bersama, aku merasa hubungan kita memang bisa berhasil. Karena itu aku melamarmu setelah beberapa bulan kita jalan bersama. Kalau merasa beneran nggak akan cocok, aku nggak akan memaksakan diri meskipun Ibu memohon, karena ujung-ujungnya kita nggak akan bisa bahagia. Aku nggak mau hubungan seperti itu. Kalau kita nggak bahagia, Ibu juga nggak akan bisa bahagia."
Aku tidak melepaskan pandangan dari Yudistira, menunggu dia melanjutkan.
"Waktu Ibu menelepon pagi itu, aku beneran masih ngantuk, Kay. Kamu tahu kalau aku selalu lebih gampang tidur dan akan nyenyak banget setelah kita bercinta. Dan Ibu membangunkan dengan dering telepon yang nggak putus-putus hanya untuk bilang bahwa aku nggak memperhatikan kamu karena keluar dengan teman-temanku tanpa ngajak kamu sebelum ke Bali, seolah aku keluar rumah nggak izin dulu. Ibu juga bilang bahwa menelantarkan kamu sama saja dengan nggak sayang sama dia. Dengar itu dalam kondisi ngantuk dan capek bikin aku jengkel. Dan aku lantas mengingatkan Ibu gimana kamu di mataku sebelum kita dekat. Bahwa aku nggak akan mendekati kamu kalau nggak sayang sama dia. Sialnya, kamu malah dengar itu dan marah besar tanpa mau mendengarkan aku. Aku tahu aku salah kalau dilihat dari sudut pandang kamu." Yudistira berdiri dan mendekat kepadaku. "Yang mau aku bilang, Kay, kamu nggak salah menilai karakter orang. Aku nggak pernah berpura-pura dan membohongi kamu selama pernikahan kita. Kamu pasti tahu kalau aku bohong. Ki--"
"Berhenti di situ, jangan mendekat!" Aku mengangkat tangan menghentikan Yudistira. "Kamu bisa bicara sambil duduk." Aku yakin dia tidak akan menciumku lagi dengan bibir seperti itu, tetapi aku lebih suka menjaga jarak.
Deringan telepon menyelamatkan aku. Aku buru-buru mengangkatnya. "Iya, Mbak?"
"Kok belum ke sini, Kay? Kita mau ke Makassar sekarang, kan?"
Astaga! "Aku akan ke situ sekarang, Mbak. Ibu sudah siap?"
"Sudah dari tadi. Oh ya, Mas Yudis ada di situ?"
Aku menatap Yudistira sebal. "Iya, dia ada di sini, Mbak."
"Ya, sudah, kalian ke sini sekarang."
Ibu menatap aku dan Yudistira bergantian saat kami sampai di vilanya. Dia menggeleng-geleng. "Bibir kamu kenapa?" pertanyaan menakutkan itu terlontar juga.
"Digigit Kay, Bu. Tadi aku mencoba menciumnya, tapi dia nggak mau."
Aku langsung mendelik. Aku benar-benar tidak percaya pernah jatuh bangun mencintai laki-laki tidak dewasa seperti itu. Ada banyak alasan lain yang bisa disebut, meskipun tidak masuk akal, dan dia memilih jujur untuk menjawab pertanyaan seperti itu? Sangat kekanakan.
Aku benar-benar malu saat mendengar tawa tertahan Mbak Yesti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top