Delapan
Buat yang pesen plot dan minta POV Yudistira, maaf banget, aku nggak melayani campur tangan pembaca untuk menyusun cerita. Aku punya plot sendiri dan itu nggak akan berubah sesuai permintaan pembaca. Baca aja ya. Yang nulis dan mikir biar aku aja. Hehehe... Dan mohon baca baik-baik biar nggak ketuker timeline karena bagian flashback akan aku tempatkan bercampur di dalam masa sekarang, nggak dibikin khusus. Dan masa lalu Kayana akan dibuka sangat pelan-pelan, nggak akan dibeber sekaligus. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
"Hai, kamu ada waktu?" Yudistira tiba-tiba sudah berada di depan mejaku. Seharusnya aku memang tidak membiarkan pintunya terbuka supaya bisa menyiapkan hati saat tahu dia akan masuk. "Saya mau bicara." Dia duduk di depanku tanpa menunggu aku mempersilakan.
Aku melirik pergelangan tangan. "Silakan, mau bicara tentang apa?" Masih ada waktu setengah jam sebelum jam kantor berakhir. Aku bisa menduga apa yang ingin dia bicarakan. Paling-paling dia akan menyodorkan CV salah seorang temannya supaya aku carikan tempat di perusahaan ini. Dia sudah beberapa kali melakukan hal itu sebelumnya. Ada yang aku terima dan ada yang aku tolak. Ini memang perusahaan ayahnya, tapi aku yang memegang kuasa HRD. Dia tidak bisa meloloskan orang seenaknya. Ini bukan yayasan yang akan menampung semua orang yang ingin bekerja di sini. Pertimbangan pertemanan dan rasa kasihan tidak termasuk dalam kriteria penerimaan pegawai. Kalau itu sampai terjadi, hanya masalah waktu, maka perusahaan ini akan tumbang. Selagi aku masih mengepalai bagian sumber daya manusia, kompetensi calon karyawan berada dalam urutan teratas syarat perekrutan.
"Bukan urusan kantor." Yudistira tersenyum sehingga membuatku waspada. "Kita bicara di luar sambil makan malam. Kamu nggak punya acara lain, kan?" Dia tidak pernah mengajakku keluar sebelumnya. Di awal-awal dia mulai bekerja –-aku lebih dulu bekerja daripada Yudistira karena sebelumnya dia bekerja di luar negeri setamat kuliah— dia memang terlihat ramah dan rajin menegurku, tetapi dia kemudian bersikap lebih cuek saat aku tidak terlalu meresponsnya. Kami akan bicara lumayan banyak saat menyangkut pekerjaan.
Kami memang pernah makan bersama beberapa kali, tetapi bukan berdua, melainkan bersama orangtuanya, di rumah mereka. Satu-satunya momen kami cukup dekat adalah beberapa bulan lalu, saat kami bersama selama beberapa minggu di Tokyo ketika ibunya menjalani operasi transplantasi hati.
"Bicara soal apa?" Aku tidak suka kejutan.
"Kita bicarakan nanti setelah makan. Kamu bawa mobil?"
Tentu saja aku bawa mobil. "Iya." Kenapa dia harus menanyakan hal seperti itu?
"Mobil kamu tinggal di sini saja. Kamu ikut saya."
Enak saja main perintah. Efek menjadi anak tunggal tidak terlalu bagus untuknya. "Bilang saja kita mau makan di mana, nanti kita bertemu di situ."
"Kamu ikut saya. Biar Maman yang bawa mobil kamu pulang ke apartemen kamu." Maman adalah sopir ibu Yudistira. Dia sudah sering datang ke apartemenku mengantar ibu Yudistira.
"Aku akan bawa mobil sendiri," aku berkeras. Berdua Yudistira dalam mobil pasti tidak nyaman.
"Susah ya mendebat kamu. Ya sudah, saya ikut kamu, biar Maman yang bawa mobil saya pulang."
Kalau begitu apa bedanya? Bukan masalah mobilnya, melainkan kebersamaan kami. "Kita beneran bisa ketemu di restoran. Kita mau makan di mana?"
"Saya akan beres-beres dulu di ruangan, tunggu saya. Jangan pulang duluan. Saya ikut kamu." Yudistira berdiri dan langsung keluar tanpa menunggu aku merespons.
Kami makan di fine dining restoran yang ternyata sudah dia reservasi. Kepercayaan dirinya yang besar sedikit membuatku kesal. Dia yakin sekali kalau aku memang bersedia diajak keluar.
Yudistira menunggu sampai kami menghabiskan makanan penutup sebelum mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak minumanku, "Bagaimana kalau kita menikah?"
"Apa?" Pertanyaan macam apa itu? Aku pasti salah dengar. Saat kita diam-diam jatuh cinta kepada seseorang, kita memang cenderung memiliki halusinasi manis tentang orang itu. Mungkin ini yang sedang kualami sekarang.
"Kenapa? Kamu nggak sedang dekat dengan seseorang, kan? Saya juga sekarang nggak punya pasangan."
Itu pasti pengaruh anggur putih yang dia minum. Untung saja aku tidak pernah menyentuh minuman beralkohol. Pengaruhnya ternyata bisa seburuk itu. Yudistira pasti sedang salah mengenali orang yang ingin diajaknya menikah.
"Kamu tahu sedang bicara dengan siapa?" tanyaku khawatir. Aku tidak akan mengizinkan dia menyetir. Kasihan orangtuanya kalau anak tunggal mereka kecelakaan karena mabuk. Apa oleh buat, aku harus mengantar Yudistira lebih dulu ke rumah orangtuanya sebelum pulang ke apartemenku sendiri. Dia punya apartemen sendiri, tetapi lebih aman membawanya ke rumah orangtuanya dalam kondisi seperti itu.
"Saya nggak mabuk kalau itu yang kamu pikir," Yudistira tertawa kecil. "Tentu saja saya tahu bicara dengan siapa. Kamu Kayana Adriana. Astaga, lihat reaksi kamu. Saya tahu kamu pasti akan terkejut saat saya mengatakan hal ini, tapi nggak menyangka kamu akan terlihat kayak gini. Jadi bagaimana?"
Aku menggeleng, masih syok.
"Kenapa nggak? Jangan bilang kalau saya bukan tipe kamu. Pikirkan lagi. Kamu orangnya cenderung serius, nggak cocok sama yang sama-sama serius juga. Saya pasti cocok untuk kamu," katanya percaya diri. "Serius dan santai itu kombinasi yang sempurna."
"Kamu disuruh Bapak dan Ibu untuk bilang ini?" Aku mengatakan hal pertama yang aku pikirkan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda jika Yudistira menyukaiku. Jadi kalau dia mengatakan ingin menikah denganku, itu pasti ada campur tangan kedua orangtuanya. Aku tahu mereka menyukaiku. Aku tidak akan berada di posisi sekarang kalau tidak ada campur tangan mereka, betapa pun pintarnya aku.
Yudistira kembali tertawa. "Menurut kamu saya bisa dipaksa-paksa untuk melakukan hal seperti ini? Ibu memang pernah bilang kalau saya mencari pasangan itu yang seperti kamu. Orang yang bisa membantah kalau nggak setuju dengan pendapat saya. Tapi dia nggak akan memaksa saya untuk menikah dengan kamu kalau saya nggak mau."
"Kamu nggak cinta sama saya!" kataku cepat.
"Saya tertarik sama kamu. Kamu cantik, pekerja keras, dan dekat dengan Ayah-Ibu. Nggak gampang menemukan perempuan yang memenuhi semua syarat itu. Cinta bisa menyusul. Memangnya bisa seberapa sulit jatuh cinta sama kamu?"
Aku masih menatapnya lekat.
"Begini saja, kita coba jalani dulu selama 3 bulan. Kalau kita cocok dan sama-sama jatuh cinta, kita akan menikah. Saya tahu kamu juga nggak cinta sama saya sekarang. Bagaimana?"
Bodohnya aku mengira Yudistira tulus dengan semua yang dia katakan.
"Mbak Kayana, ada Pak Adam ki," sapaan salah seorang petugas yang bekerja di waterpark membuyarkan lamunanku. Aku memang berada di kawasan itu untuk melihat-lihat. Hari ini pasti akan ramai pengunjung yang datang untuk menikmati wahana air.
"Dia di mana?" Adam tidak bilang mau ke sini. Tapi aku memang belum mengecek ponsel selama satu jam terakhir. Benda itu aku tinggalkan di vila.
"Tadi ada di lapangan tenis ki, Mbak."
Adam memang kerap bermain tenis di sini. Dia mantan atlet tenis Sulawesi Selatan. Katanya dulu pernah dapat medali perunggu saat mengikuti PON. Aku hanya tidak tahu kapan, karena tidak menganggap itu penting.
"Dia bawa teman main?" Culli, karyawan di bagian keuangan yang selalu menjadi lawan tanding Adam sedang libur.
"Kayaknya main sama Pak Yudistira, Mbak. Tadi dia cari teman buat main tenis, tapi ndak ada. Terus ketemu Pak Adam yang baru datang di lapangan. Mungkin jadi mi mereka main berdua."
Hah?
**
Oh ya, buat yang baca Key-Ian di storial, update-nya akan jadi 2x seminggu. Hanya saja, karena ceritanya masuk premium (ada royalti yang dibagi ke penulis), maka ada bagian yang berbayar supaya bisa dibaca. Harus beli koinnya. Jadi yang update 2X itu, 1 berbayar, dan 1 gratis. Kalau nggak mau bayar, tungguin yang gratis aja ya. Cuman itu, ketinggalan 1 part.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top