6 - Serangan
Bab 6 – Serangan
"Selamat pagi, calon mantu Pak Direktur ...."
Sapaan itu membuat Edas menoleh saat hendak masuk ke lift. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Ali.
Edas langsung memelototi lelaki bertubuh ceking itu sambil menempelkan telunjuk di bibir.
"Jangan bikin masalah, deh. Kalau ada yang dengar gimana?"
"Sepanik itu. Kantor masih sepi gini juga." Ali mendekat dengan gaya selengean yang khas. Senyum jailnya merekah.
Edas berdecak sambil menggeleng samar.
"Eh, tapi kenapa mukamu kusut gitu?" tanya Ali setelah mereka masuk ke lift. "Yang habis ditraktir Pak Direktur harusnya nggak gini tampangnya."
Terdengar helaan napas tanpa jawaban. Mimpi buruk tadi malam masih tertinggal di benak Edas. Namun, cukup Ali yang menyadari kekusutan ini. Hari ini dia harus tetap tampil antusias selayaknya karyawan baru pada umumnya.
***
"Eh, cerita dong, kemarin ngobrol apa aja sama Pak Yudian?" Ali belum menyerah ternyata. Dia mencecar Edas hingga di jam istirahat. Saat ini, mereka tengah makan siang di kantin kantor. Bareng Firda juga.
"Yang pasti obrolannya nggak seperti yang kamu bayangkan," ujar Edas di sela-sela kunyahannya.
"Masa nggak ada topik yang menjurus ke soal perjodohan, naik jabatan, atau apa gitu."
"Kalau nggak percaya, coba tanya langsung ke Pak Yudian. Habis ini aku temani ke ruangan beliau."
"Gila!" Ali bergidik ngeri. "Kucingku mau dikasih makan apa kalau sampai aku dipecat."
"Makanya, kontrol kepomu itu." Firda tergelak.
"Kalau sama Bu Rania, masa nggak ngobrol sama sekali, sih?"
"Ya Tuhan ...." Edas menghela napas kesabaran. Baru kali ini dia berhadapan dengan orang sekepo Ali. Dia meraih botol kecap dan pura-pura ingin memukul kepala tetangga kubikelnya itu. Saat itulah tatapannya tidak sengaja mengarah ke Rania, yang duduk sendirian di meja agak pojok.
"Sssttt ... ada Bu Rania," desis Edas sambil meletakkan kembali botol kecapnya. Dagunya mengedik ke arah meja Rania.
Ali dan Firda kompak menoleh ke sana.
"Itu dia salah satu yang bikin aku salut. Di saat manajer-manajer lain makan siang di restoran-restoran mewah, dia malah lebih memilih membumi di sini." Ali mendramatisir kalimatnya, sambil curi-curi pandang ke Rania yang lagi fokus makan.
"Dia emang selalu makan sendiri, ya?" tanya Edas setelah mengedarkan pandangan. Dari sekian banyak meja yang terisi, cuma Rania yang duduk sendiri.
"Begitulah." Firda yang menjawab. "Atasan-atasan yang lain, kan, pada makan di luar sambil ini-itu. Pak Yudian sendiri selalunya ada ajakan makan siang dari relasinya."
Edas manggut-manggut sambil terus menatap Rania. Entah kenapa, dari sini dia bisa merasakan aura sepi yang memancar dari meja itu. Ingin rasanya menghampiri, menemani. Namun ... apakah pantas?
***
Rania lebih memilih makan siang di kantin kantor bukan karena ingin menghemat, bukan pula karena malas gabung dengan petinggi-petinggi lain di luar sana. Dia hanya ingin membaur dengan bawahan-bawahannya. Serendah apa pun posisinya, bagi Rania, seluruh karyawan di perusahaan milik papanya ini penting, karena mereka adalah kesatuan yang membersamai tumbuh kembangnya perusahaan.
Kadang Rania ingin bercengkerama dengan mereka di luar forum resmi. Berbagi cerita selain soal pekerjaan, atau sekadar menertawakan hal-hal receh. Namun, mereka seolah menghindari Rania, atau memendam rasa segan yang berlebihan.
Rania menyadari hal itu.
Dari dulu dia dididik untuk mandiri, tegas, dan taktis. Entah sejak kapan ajaran itu juga membentuk karakter wajahnya yang terkesan judes. Padahal aslinya tidak begitu. Hanya saja, mengubah tampilan karakter wajah tidak bisa instan, kan? Rania sedang mengusahakannya pelan-pelan.
Seperti biasa, Rania menikmati makan siangnya seorang diri. Cuma dia yang tidak punya teman ngobrol. Dari tadi dia diam-diam curi pandang ke meja tengah. Bagaimana tidak, di sana ada Edas, si jago berkelahi yang menolongnya kemarin. Padahal baru dua hari, tapi dia sudah sangat akrab dengan rekan sedivisinya. Sedari tadi mereka yang paling heboh. Sayang, dari sini Rania tidak bisa dengar apa-apa yang mereka obrolkan.
Rania salting bukan main sampai sendoknya terjatuh ketika tiba-tiba Edas juga melihat ke arahnya dan tatapan mereka terpaut sepersekian detik. Rania mengutuk kecerobohannya dalam hati.
Kenapa juga harus salting begini?
Dia terpaksa mengambil sendok baru, lalu lanjut makan dan bertingkah seolah-olah tidak mengetahui keberadaan Edas.
***
Berhubung akan ada event dadakan—yang Edas sendiri belum tahu pastinya—hari ini dia terpaksa pulang terlambat. Rapat dadakan pun digelar dan baru selesai setelah magrib. Edas bukan tipe orang yang betah duduk berjam-jam, dan ini benar-benar menyiksanya. Seketika dia teringat ucapan Ali, kerja di bagian promosi tak seindah yang orang-orang bayangkan. Ternyata memang benar.
Lagi capek-capeknya, di belokan terakhir menuju kontrakannya, Edas diadang rombongan orang tidak dikenal.
Siapa mereka ini?
Edas terpaksa menghentikan motornya dan berusaha tetap tenang. Dia selalu menyiapkan diri untuk situasi seperti ini, tapi rasanya cukup menjengkelkan saat datangnya pas punggungnya lagi merindukan kasur seperti saat ini.
Edas turun dari motornya, bersiap menerima segala serangan. Jumlah mereka belasan.
"Akhirnya kita ketemu lagi," ujar salah satu di antara mereka sambil menatap tajam ke arah Edas.
Edas paham sekarang. Tentu saja dia masih ingat dengan wajah memuakkan ini, lelaki yang mengganggu Rania di coffee shop. Dia masih penasaran rupanya.
"Kalau masih penasaran, harusnya jangan bawa pasukan, dong." Edas tertawa meremehkan. "Dasar pengecut!"
"Bangsat!" Dengan penuh percaya diri, lelaki itu mulai menyerang Edas.
Namun, Edas berhasil mengatasinya dengan mudah. Dia menggulingkan lelaki itu hanya dengan sekali tendangan.
Detik itu juga pasukannya langsung menyerang. Edas melayangkan tendangan dan pukulan secara membabi buta. Beberapa berhasil dilumpuhkan, tapi Edas juga mulai kewalahan. Segesit apa pun pergerakan Edas, situasinya tetap tidak akan seimbang.
Edas mengerang keras ketika sebuah balok kayu menghantam punggungnya. Dia terjeremab. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Sang lawan kembali mengarahkan baloknya ke kepala Edas, tapi Edas berhasil menghindar dengan berguling. Saat itulah dia punya celah untuk bangkit dan berusaha menemukan kembali keseimbangannya, meski punggungnya masih sangat sakit.
Edas kembali menyerang dan berhasil menyita balok kayu itu. Dia semakin beringas, mengibaskan balok kayu itu tanpa ampun.
DORRR ....!!!
Suara tembakan itu membuat Edas tersentak. Sial. Salah seorang dari mereka bersenjata. Edas gelagapan.
Untungnya tembakan lelaki itu meleset, malah mengenai temannya yang kebetulan sedang bergelut dengan Edas. Lelaki yang terkena tembakan itu langsung memegangi pahanya—tempat peluru bersarang—sambil menjerit kesakitan.
Edas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung membekuknya dan berlindung di balik tubuhnya, menjadikannya tameng.
Lelaki yang memegang pistol itu jadi kesulitan membidik Edas. Salah sedikit nyawa temannya melayang.
Mereka ingin kembali mengeroyok, tapi tiba-tiba terdengar raungan sirine mobil polisi. Mereka langsung kocar-kacir. Tidak semuanya berhasil kabur. Polisi berhasil meringkus beberapa di antaranya. Termasuk yang dibekuk Edas.
"Loh, saya cuma korban, Pak," protes Edas saat polisi juga membekuknya.
"Nanti saja Anda jelaskan di kantor," ucap salah seorang di antara mereka sambil memakaikan borgol.
Polisi-polisi itu hanya kebetulan lewat dan mendapati adanya keributan. Wajar jika mereka juga membekuk Edas, karena belum tahu pasti mana pihak salah dan benar.
Setibanya di kantor polisi, mereka diinterogasi satu per satu. Edas menceritakan apa adanya. Mau tidak mau, dia juga terpaksa mengungkapkan kejadian di coffee shop, karena memang berkesinambungan.
Selanjutnya, Edas bingung saat diminta menghubungi pihak keluarga untuk membantu menguatkan argumennya. Bayangan tentang keluarga sudah lama mengabur dalam benaknya, atau memang dia tidak pernah benar-benar memilikinya.
Siapa yang harus Edas hubungi?
***
[Bersambung]
Mau tahu, dong, sejauh ini, menurut kamu cerita ini gimana?
Apa yang bikin kamu masih pengen baca lanjutannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top