4 - Insiden Ngopi Bareng

Bab 4 – Insiden Ngopi Bareng

"Udah mau pulang, ya?" tanya Yudian begitu tiba di depan Edas.

Sementara itu, yang lain hening. Ali yang masih berada di samping Edas, bahkan sampai menghentikan semua aktivitasnya. Tas yang tadinya ingin disampirkan ke pundak, dikembalikan ke atas meja.

"Iya, Pak." Edas merunduk sopan.

"Ada waktu bentar nggak? Ngopi, yuk."

Ali benar-benar melongo melihat gaya bicara Pak Direktur ke tetangga kubikelnya ini yang teramat santai.

Edas berpikir sejenak. Dia punya waktu, banyak malah. Namun, dia sungguh canggung menerima ajakan ini. Terlebih terang-terangan di depan rekan divisinya. Dia tidak ingin menimbulkan spekulasi macam-macam di benak mereka. Karena dipikir bagaimana pun, rasanya sungguh janggal seorang direktur capek-capek menghampiri staf biasa sepertinya hanya untuk ajakan ngopi.

Lebih dari itu, Edas tidak ingin nantinya hasil kerjanya tidak dihargai sebagaimana mestinya karena yang orang-orang lihat telanjur kedekatannya dengan pemilik perusahaan ini. Edas memang tidak bisa meramal akan seperti apa nasibnya di perusahaan makanan ini, tapi jika benar-benar bisa berkontribusi, tentunya lebih baik.

"Nggak bisa, ya? Udah ada janji lain?"

Pertanyaan susulan itu menyadarkan Edas, bahwa dia sudah terlalu lama berpikir. "Bisa, Pak," jawabnya buru-buru kemudian. Spontan.

"Ya udah, aku tunggu di lobi, ya."

"Baik, Pak."

Yudian pun pergi sambil tersenyum ke orang-orang yang dilaluinya.

Setelah Pak Direktur keluar, mereka menghela napas lega bersamaan.

"Bikin panik aja."

"Kirain kita ada salah."

"Emang boleh setumben itu?"

Mereka saling berkomentar sambil lanjut siap-siap untuk pulang.

"Serius, deh, kamu siapanya Pak Yudian, sih?" Kali ini Ali bertanya sambil merangkul leher Edas. Meski sampai harus berjingkat karena tinggi mereka cukup timpang. Dia benar-benar tidak mampu lagi membendung rasa penasarannya.

Akan tetapi, Edas malah mengedik. "Entahlah," katanya dengan raut bingung.

Ali melepas rangkulannya sambil berdecak. "Masa harus pakai rahasia-rahasiaan segala? Kayak hubungan terlarang aja."

"Beliau cuma ngaku sahabat almarhum ayahku."

"Cuma itu?" Ali menatap sangsi. Naluri keponya sudah di ubun-ubun.

Edas mengangguk.

"Atau jangan-jangan, kamu mau dijadiin mantu?" Mata Ali membesar.

Edas tersenyum geli sambil geleng-geleng. Tebakan Ali terlalu jauh. Namun, andai itu benar-benar terjadi, Edas akan menyambutnya dengan senang hati. Lelaki mana yang tidak ingin bersanding dengan Rania? Baru dua kali ketemu aja, perempuan itu mulai menjajah pikirannya.

Tidak!

Tidak!

Tidak!

Sejurus kemudian Edas menggeleng lebih kuat, menepis khayalan bodoh yang barusan melintas di benaknya. Dia harus sadar diri kalau tidak mau melukai diri sendiri. Sampai kapan pun dirinya tidak akan pantas untuk perempuan terhormat seperti Rania.

"Kalau bukan mantu ...." Ali masih lanjut menduga-duga. "Barangkali kamu mau dikasih saham." Matanya membesar lagi. "Bisa jadi beberapa bulan lagi kamu langsung naik jabatan."

"Sumpah, aku nggak mikir ke situ," tepis Edas sambil mencangklong tasnya.

"Tapi kalau ternyata beneran, walau ketikung, aku rela deh." Lalu Ali mencondongkan tubuhnya. "Asal jangan kayak Pak Galang pas udah naik," imbuhnya dengan nada rendah.

Mereka terkekeh.

"Ya udah, aku duluan, ya. Udah ditungguin Pak Yudian."

"Aku boleh gabung nggak, sih?" Muka mupeng Ali terlihat lucu.

Edas hanya mengedik.

"Candaaa ...."

Edas pun berlalu setelah menepuk pundak tetangga kubikelnya itu.

Di lobi, langkah Edas memelan setelah tahu Pak Yudian tidak sendiri menunggunya. Ada Rania bersamanya.

Duh, gimana, nih?

Edas mendadak gugup. Padahal di hidupnya yang dulu, tidak ada perempuan yang berhasil membuatnya begini. Kenapa yang satu ini berbeda?

Andai tahu Rania bakal ikut juga, Edas akan mempertimbangkan beberapa alasan untuk menolak. Namun, sudah terlambat. Pak Yudian sudah melihatnya. Lelaki paruh baya itu melambai riang seolah tak sabar.

"Maaf, jadi bikin Bapak nunggu."

"Nggak masalah," ujar Yudian sambil mengibaskan tangan.

Sementara Rania, mimiknya agak sulit dibaca. Namun, kalau boleh Edas tebak, agaknya dia kurang berkenan dengan acara dadakan ini.

***

Beberapa menit kemudian mereka sudah tiba di sebuah coffee shop yang lumayan besar dan nyaman, tapi tidak terlalu ramai di jam segini. Mereka juga sengaja memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari kantor untuk menghindari kemacetan jam pulang kerja.

Sedari tadi Rania memasang tampang tidak berselera. Dia masih tidak menyangka pada akhirnya akan terdampar di sini setelah merasa ditipu oleh papanya sendiri. Tadi, waktu papanya mengajak ngopi sebentar sebelum pulang, sama sekali tidak ada keterangan tambahan kalau si karyawan baru ini juga ikutan.

Demi apa coba?

Kalau saja Rania tahu dari awal, dia akan mencari seribu alasan untuk menolak. Dia bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktu luang di luar dengan orang lain seperti ini, terlebih orang yang belum benar-benar dikenalnya.

"Waktu di Meksiko, kamu suka nongkrong kayak gini nggak?"

Pertanyaan papanya sontak menarik perhatian Rania.

Gimana maksudnya?

Jadi, si karyawan baru ini sebelumnya tinggal di Meksiko?

Rania jadi penasaran.

"Saya di sana fokus kerja aja, Pak." Edas terdengar agak gugup, padahal dia sudah berusaha sesantai mungkin saat menjawab. Itu jenis pertanyaan yang sangat ringan. Hanya saja, apa-apa tentang masa lalunya di Meksiko selalu memicu gemuruh aneh di dadanya.

Kerja apa?

Ingin sekali Rania melontarkan pertanyaan itu. Namun, dia merasa belum di kapasitas yang cocok untuk membuka obrolan.

"Mau minum apa, Ran?" tanya Yudian sambil meraih buku menu di atas meja.

"Samain kayak Papa aja."

"Kamu, Das?"

"Samain juga, Pak."

"Loh, kenapa kalian mendadak kompak begini?"

Edas terkekeh, sementara Rania langsung memutar bola mata malas.

Papa apaan, sih?

Yudian pun memesan tiga es kopi gula aren dan roti panggang keju.

"Jadi, gimana hari pertamamu?"

Demi Tuhan, Rania sungguh malas menyimak basa-basi papanya dengan si karyawan baru ini. Akhirnya dia memilih ke toilet.

"Pa, Ran ke toilet dulu," pamitnya.

Yudian mengangguk. Namun, tanpa Rania sadari, papanya juga melempar kode ke Edas.

Sekembalinya dari toilet, Rania sengaja melangkah pelan-pelan agar tidak perlu cepat-cepat kembali ke meja itu.

"Hei, manis." Suara itu mengagetkannya. "Boleh kenalan?"

Dia masih di lorong yang sepi, ketika lelaki yang entah muncul dari mana ini tiba-tiba menyejajari langkahnya.

Karena takut, Rania pun mempercepat langkahnya. Namun, lelaki berjaket hitam itu malah menarik tangannya.

"Cantik-cantik, kok, sombong, sih?" Dia menyeringai.

"Lepasin!" Rania berontak, tapi cengkeraman lelaki ini malah terasa makin kuat. Dia baru mau teriak minta tolong ketika sebuah tendangan dengan cepat menghantam kepala lelaki itu.

Rania memekik kaget.

Lelaki itu terpental ke samping dan nyaris ambruk. Dia berusaha menemukan kembali keseimbangannya sambil memegangi kepalanya yang berdengung.

"Berani sentuh dia lagi, kupatahkan kesepuluh jarimu itu!"

Rania menoleh ke sumber suara lantang itu. Dia sungguh tidak menyangka, orang yang barusan menolongnya adalah Edas.

***

[Bersambung]

Apakah akan terjadi pertarungan sengit?
Atau nyali lelaki kurang ajar itu langsung menciut setelah merasakan tendangan pertama Edas?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top